Apa Benar, Seluruh Sinetron Indonesia itu Sampah? -->
close
Pojok Seni
30 May 2018, 5/30/2018 04:24:00 AM WIB
Terbaru 2018-05-29T21:31:09Z
Artikel

Apa Benar, Seluruh Sinetron Indonesia itu Sampah?

Advertisement

Pernyataan tersebut sedikit membingungkan. Seakan-akan, semua yang dihadirkan di televisi tanah air, khususnya sinema elektronik (sinetron) adalah sampah dan tak berguna.

Tidak mau terlalu percaya pada penilaian orang lain, saya memilih untuk menyaksikannya sendiri. Hasilnya, okelah tidak seluruhnya adalah sampah. Tapi sayangnya, saya terpaksa mengamini bila ada yang berkata sebagian besar sinetron Indonesia adalah sampah. Atau, untuk lebih halusnya, tidak memberi banyak manfaat positif. Sebaliknya, justru memberi banyak hal negatif.

Bila Anda mengira "tuduhan" saya tidak berdasar, maka Anda perlu melihat survey yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada tahun 2016 silam. Survey yang dilakukan KPI terkait tontonan berkualitas, menunjukkan bahwa kualitas sinetron Indonesia berada di titik terendah. Hanya satu tingkat di atas infotainment. Jadi, dua siaran yang dianggap paling tidak berkualitas adalah; sinetron dan infotainment.

Setahun sebelumnya, tahun 2015, KPI sempat merilis 10 tontonan paling berkualitas di Indonesia. Kualitas yang dimaksudkan berasal dari hasil survey. Dan hasilnya? Tidak ada satupun judul sinetron ada di jejeran 10 tontonan berkualitas tersebut. (Lebih lengkapnya, baca di sini: Sepuluh Program TV Paling Berkualitas, Acara Favorit Anda Termasuk di Dalamnya?)

Acara Anak-Anak Dianggap Lebih Berkualitas


Percaya atau tidak, bicara masalah kualitas, bahkan sinetron Indonesia dianggap KPI kualitasnya jauh di bawah acara anak-anak. Masuknya acara Laptop Si Unyil dalam 10 tontonan paling berkualitas misalnya, menjadi jawaban yang sahih atas klaim tersebut. Ditambah lagi, dari rilis hasil survey yang dilakukan KPI, acara anak-anak memiliki nilai indeks kualitas program mencapai 3,79. Jauh di atas poin yang diberikan pada sinetron yakni 2,70.

Ditambah lagi, muncul petisi pada tahun 2015, warganet banyak meminta acara anak-anak terutama kartun di hari Minggu kembali dihadirkan. Hal itu disebabkan penilaian bahwa film kartun anak-anak dianggap jauh lebih berkualitas dari sinetron Indonesia. Anda mungkin tidak heran bila anak SMA dan mahasiswa lebih memilih menonton film kartun seperti Sponge Bob sampai Naruto. Sedangkan anak-anak SD dan ibu rumah tangga memilih sinetron.

Baca juga: Warganet Desak TV Swasta "Kembalikan Masa Kecil 90'an" 

Tidak hanya itu, sejumlah sinetron berkali-kali "disemprit" KPI. Sinetron berjudul "Ganteng-Ganteng Srigala", "Anak Jalanan" dan sejumlah sinetron lainnya yang melibatkan anak muda sebagai pemainnya menjadi judul sinetron yang diketahui pernah disemprot KPI. Alasannya, terlalu banyak menawarkan adegan perkelahian, kekerasan dan kebut-kebutan di jalanan (tanpa helm) yang dianggap akan mempengaruhi anak muda. (Kebut-Kebutan dan Berkelahi, Sinetron Anak Jalanan "Disemprit" KPI)

Lantas, kalau memang seperti itu keadaannya, kenapa sinetron di Indonesia tidak mau berubah?

Warganet Bandingkan dengan Drama Korea



Indonesia, disebut-sebut oleh banyak warganet, musti belajar buat sinetron pada Korea Selatan. Drama dari negeri Ginseng ini juga mengetengahkan kisah cinta yang romantis, namun tidak lebay. Tidak hanya itu, demi tontonan yang menarik, drama asal Korea dinilai lebih siap untuk segi cerita dan artistik, juga kualitas akting para aktor dan aktrisnya.

Beberapa lain menyebutkan Indonesia juga musti belajar ke Eropa dan Amerika untuk membuat film dan sinetron yang bagus. Daripada menghabiskan uang untuk membuat ribuan bahkan puluhribuan episode yang ujung-ujungnya malah tidak jelas. Lebih baik, uang yang banyak itu dihabiskan untuk membuat sebuah sinetron dengan jumlah episode yang lebih sedikit, namun jalan cerita yang memukau, kemampuan aktor dan aktris yang mumpuni, setting dan artistik yang juga sempurna.

Dari beberapa masukan warganet tersebut, ada beberapa hal yang semestinya dirubah oleh sinetron Indonesia agar dapat menjadi sinetron berkualitas. Berikut daftarnya:

1. Potong Episode


Episode yang terlalu panjang, malah menjadi garing. Penulis naskah/skenerio malah tidak bisa membuat jalan cerita yang masuk akal lagi. Alhasil, apa yang sedang viral di masyarakat, dinaikkan dengan sembrono ke dalam adegan. Pemeran utamanya bahkan sudah meninggal, muncul pemeran-pemeran lain yang entah kenapa "menggantikan" peran utama dalam satu film, yang menjadikan arah cerita film berputar-putar dan itu-itu saja.

2. Jangan Setiap Hari


Sinetron Indonesia diputar setiap hari, dari hari Senin sampai Minggu, dengan jadwal siar mencapai 2 hingga 3 jam. Hasilnya, dalam waktu 1 bulan saja sudah masuk dalam episode ke 60-an. Sebab, satu kali siaran, adalah 2 episode yang digabungkan. Jadinya, dalam beberapa bulan saja sudah masuk episode ke 100-an. Dan dalam 1 tahun sudah masuk episode ke 1000. Wajar saja kalau alur ceritanya mulai berulang-ulang, konflik yang dipaksakan dan akhirnya berujung ke cerita yang membosankan. Bila setiap sinetron diputar dalam waktu satu hingga dua kali seminggu dengan episode yang terbatas, tentu akan menjadikan naskah yang lebih matang, dan persiapan juga lebih mantap.

3. Obeservasi setting, karakter dan artistik


Sinetron Indonesia juga mengulang kesalahan yang sama, setting yang tidak realistik, dan nyaris sama di semua judul sinetron. Rumah sakit yang Anda temui di sinetron A akan sama dengan rumah sakit di sinetron B. Sejumlah ahli medis bahkan menyebut setting ruangan dalam rumah sakit di sinetron, lebih mirip dengan Puskesmas.

4. Kurangi lipsync


Ada banyak adegan bernyanyi di sinetron. Tapi, entah kenapa, para pemainnya selalu lipsync. Apakah hal itu menandakan bahwa si aktor atau aktris tersebut sebenarnya tidak bisa bernyanyi, atau tidak bersuara merdu? Di sini diperlukan kejelian sutradara dalam memilih aktor. Bila perannya sebagai musisi, tentu tidak ada salahnya mencari aktor yang benar-benar bisa bermain musik atau bernyanyi, bukan? Apalagi, kalau konsepnya adalah drama musikal.

5. Konflik jangan lebay


Awalnya, konflik di sinetron episode-episode awal sangat menjanjikan. Keluarga yang jahat, terus menyengsarakan salah seorang anggota keluarganya sendiri. Atau, saling menjatuhkan hingga saling membunuh hanya karena berebutan warisan. Salah satu konflik yang paling sering adalah rebutan pacar. Tapi, setelah episode yang di atas 500, maka konfliknya mulai terkesan dipaksakan. Air segelas jatuh berujung keributan dan pengusiran dari rumah, suami yang diduga selingkuh karena terlihat duduk bersama di warung makan, mertua yang berulang-ulang menjahati menantunya sampai puas, meletakkan racun pada makanan, memotong tali rem di mobil dan sebagainya. Apa itu harus terus berulang sampai episode ke 10 ribu?

6. Kekuatan akting


Mau tidak mau, kekuatan akting adalah inti dari sebuah sajian drama. Bila Anda melihat sejumlah aktor dari Holywood dipanaskan dulu di panggung teater bertahun-tahun, maka kurang lebih itulah yang terjadi di Korea. Tapi, tidak demikian halnya pada Indonesia. Aktor yang berasal dari model hanya 1 sampai 3 bulan belajar akting, kemudian main sinetron. Kemudian dipertontonkan pada khalayak.

7. Boleh keren, tapi lihat situasi


Sinetron sebisanya menghadirkan aktor sebagai orang yang keren, apalagi aktor utama. Sayangnya, tidak melihat situasi dan kondisi. Dalam satu film yang setting-nya di tengah hutan dan pedalaman, namun aktornya menggunakan pakaian branded, rasanya tidak masuk akal. Balap motor liar tapi di sekolah selalu ranking 1, rasanya mengecilkan fungsi belajar. Masa anak yang belajar tidak pernah lebih baik daripada anak yang setiap malam ikut balap liar? Apakah satu kelas punya IQ yang rendah, dan hanya si "pembalap" itu saja yang punya IQ tinggi?

8. Berhenti stereotype


Bila anak seorang yang miskin, maka ke sekolah dengan pakaian yang benar-benar lusuh, serta kotor. Padahal, ia bersekolah di sekolah swasta yang dihuni anak-anak orang kaya. Seorang wanita yang culun akan digambarkan dengan kacamata besar. Seorang anak yang nakal akan ditandai dengan kalung rantai, meski di sekolah. Tentu saja itu stereotype yang buruk

Nah, bila kekurangan yang sering dikritisi tersebut bisa diperbaiki dan dihilangkan, mungkin kualitas sinetron Indonesia akan berubah menjadi lebih baik. Ingat bagaimana video viral asal negeri jiran Malaysia yang menyindir sinetron Indonesia, bukan?

Apakah sinetron Indonesia akan menjadi lebih baik ke depannya? Entahlah. Berdoa saja, bahwa sinetron Indonesia ke depannya bisa menjadi tontonan sekaligus tuntunan bagi remaja dan dewasa di Indonesia. Tidak cuma konflik tak jelas, berkelahi, kebut-kebutan, melanggar aturan, pacaran melulu, dan nirmakna serta nirmanfaat.


Penulis : Adhy Pratama Irianto


Artikel ini ditulis untuk mengikuti kompetisi oleh C2Live

Ads