Advertisement
![]() |
| Ka Ga Nga Etnik Musik rilis album Svara Bumei (foto: Panitia) |
Oleh: Adhyra Irianto
Setiap genre musik punya ideologi tertentu. Ideologi ini yang ditanamkan oleh para musisi genre tersebut secara turun temurun. Meski bisa dikatakan stereotype, tapi setiap genre musik mengarah ke satu premis yang sama. Bila ingin meromantisasi sesuatu, maka musik dibuat dalam genre pop. Bila ingin menunjukkan perlawanan, maka musik dibuat dalam genre rock. Bila ingin menunjukkan ekstase sesaat yang memabukkan sekaligus bikin "enjoy", maka musik dibuat dalam genre EDM.
Dalam perspektif ideologi tertentu, maka menyaksikan pertunjukan musik dari Ka Ga Nga Etnik dalam rilis album bertajuk Svara Bumei, saya (secara pribadi dan subjektif) akan terarahkan ke rencana grup ini untuk melakukan dekonstruksi musik. Kenapa demikian?
Ritme ganjil ditemukan di nyaris seluruh lagu (mungkin nomor Inok pengecualian). Anda bisa mendengar lagu dengan time signature 7/8, 5/8, dan "angka ganjil" lainnya yang menjadikan lagu-lagu tersebut penuh sinkopasi seperti pada nomor Svara Bumei, Enigma Enggano, Trilogy, dan Bejogi. Jadi, ketika leader grup musik ini, Riyan Israq aka Ari Kantuk mengajak penonton bertepuk tangan mengiringi lagu mereka, saya langsung melihat sekeliling. Yah, siapa yang dengan keren bisa bertepuk tangan di sepanjang lagu dengan ketukan yang berubah drastis, serta ritme ganjil ini?
Kembali pada "stereotype" ideologi dari setiap genre, maka aliran progresif secara historis memiliki "visi" untuk membongkar pakem yang sudah paten dari musik, dan menciptakan sebuah musik yang lebih kompleks sekaligus ambisius. Tentu, mendengar "progresif" pikiran kita akan langsung terbang ke nama Pink Floyd, Genesis, dan tentunya Dream Theater.
Tapi, ketika mendengar musik Ka Ga Nga Etnik, arsip ingatan musikal saya seketika melayang ke Discus band. Khususnya nomor Breathe dan System Manipulation dari album tot Licht (terbitlah terang, sama dengan dua kata terakhir surat RA Kartini, Door Duisternis tot Licht). Dalam Breathe, misalnya ada bunyi Calung yang menjadi "alas" dari permainan unison gitar, bass, saxophone dan biola dalam ketukan ganjil. Begitu juga dalam System Manipulation. Karena itulah, ketika Ka Ga Nga memainkan bunyi kulintang sebagai alas dari permainan unison alat lainnya dalam ketukan ganjil, pikiran saya melayang ke Discus.
Tentu saja, hal ini adalah lumrah dalam mendengarkan musik, mengingat kerja ingatan musikal itu adalah relasional. Ditambah mekanisme otak yang selalu ingin "menyempurnakan pola" sebagai salah satu cara bertahan hidup spesies manusia. Maka, wajarlah ketika mendengar suatu melodi, ritme, progresi harmoni, timbre, dan sebagainya, otak akan langsung menyambungkannya ke pola musikal yang pernah dikenali.
Maka ketika menulis ketikan ini, saya biarkan saja album tot Licht dari Discus menjadi teman menulis, sambil sesekali berganti ke penampilan Ka Ga Nga Etnik yang direkam istri saya di ponselnya (karena kebetulan lagu-lagu mereka belum ada di Spotify). Intinya, musik seperti ini langka, mahal, dan sedang sepi di Indonesia.
Ka Ga Nga Etnik bisa berbicara banyak lewat karyanya, selama mereka setia pada ideologi bermusik mereka. Bila musik progresif itu lahir dari jiwa mereka, berarti Ari dkk sudah terlebih dulu mempertanyakan "apakah musik selamanya harus punya struktur seperti pakem yang sudah ada? Bagaimana bila kami membongkarnya?"
Secara filosofis, genre progresif memiliki visi untuk menghancurkan batas-batas yang dibuat oleh mass culture (budaya massa), dengan cara menciptakan musik jenis baru yang menantang para pendengarnya untuk mengalami sebuah "pengalaman auditif" yang baru. Dan, Ari dkk menambahkan lagi dengan sejumlah bumbu dalam racikannya: bunyi kulintang Rejang, accordion, rentak kaki dan harmonisasi suara.
Intinya, menonton pertunjukan ini membahagiakan. Bagi saya, yang kebetulan penyuka musik progresif rock, tentu menonton pertunjukan musik dari Ka Ga Nga Etnik seperti mendapatkan segelas air di gurun. Menyegarkan dan menyenangkan.
Oh iya, sebelum terlupa, pertunjukan mereka didukung (dan dibiayai) oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VII Bengkulu - Lampung. Di belakang, acara rilis album mereka di-back-up dengan sempurna oleh teman-teman dari Yayasan Svara Bumei Betuah. Acara launching mini album ini digelar di Taman Wisata Mangrove Bhadrika Jenggalu Kota Bengkulu, sabtu (20/12/2025). Grup musik etnik Ka Ga Nga ini digawangi oleh Riyan Israq Hari Saputra sebagai gitar dan komposer. Didukung oleh Pangeran "Duke" Arsola pada akordion, Yolanda "Kai" Reliansyah pada perkusi, Vraga pada keyboard, Chandra pada Saxophone, M Zaki pada drum dan Cecep pada bass.
Pertunjukan mereka didukung alam dengan latar bunyi hujan pantai yang penuh angin. Dalam suasana yang mengharu tersebut, ada satu nomor yang sukses memancing tangis penonton. Lagu tersebut berjudul Inok, yang menjadi semacam reinterpretasi (dan rekomposisi) dari lagu berjudul In'ok (menggunakan apostrof) yang diciptakan oleh seniman legendaris asal Rejang Lebong, Edi Musa. Gitar tunggal dalam melodi yang didesain untuk memberikan "emosi" khas pengiring Rejung (syair berbentuk pantun diiringi gitar tunggal) yang divariasikan dengan notasi modern, dilapisi dengan string dari keyboard, serta ornamen dari suara seruling, dan dentuman bass menjadikan lagu Inok menjadi sangat menyayat hati.
Saya berani bertaruh, lagu Inok tersebut adalah lagu favorit para penonton malam itu. Lagu lain dinikmati, tapi lagu Inok, itu diresapi. Kenapa bisa begitu? Saya berasumsi, karena secara bunyi (svara) dan tekstual (sabda), lagu Inok itu benar-benar "kawin".
Selain lagu-lagu di atas, ada satu lagi single dalam album ini yang berjudul Syhmpony of Muharam. Yah, lagu ini berisi sholawat pada nabi. Karya ini disebut oleh pengkarya sebagai penafsiran sinematik dari prosesi ritual tabot, yang diparafrasekan menjadi bahasa musik. Saya tidak bisa berbicara banyak, mungkin karena sayanya yang cukup berjarak dengan prosesi tabot itu. Sebab, telinga saya menangkap lagu ini ini sebagai satu-satunya lagu "Sabda langit", sehingga sedikit beda dimensi dengan "Svara bumei".
Album Svara Bumei dalam Tafsir Musikal Filosofis
![]() |
| Riyan Israq HS aka Ari Kantuk, komposer Svarabumei. |
Sebagai orang Rejang yang menghabiskan nyaris seumur hidup saya di Tanah Rejang, saya mencoba fokus pada lagu yang mencoba mengangkat budaya Rejang. Ada dua nomor, yakni Svara Bumei (yang entah kenapa menggabungkan kata dalam bahasa Sansakerta dan bahasa Rejang dalam satu kerangka konseptual, tapi saya tidak akan bahas itu. Termasuk juga dalam tradisi Hindu ada istilah "sabda" untuk penyampaian lewat teks, dan svara untuk penyampaian lewat auditif. Tapi, lagi-lagi saya tak akan coba bahas itu.)
Nomor kedua adalah Inok, yang saya yakini sebagai lagu yang paling dinikmati penonton di malam konser mereka.
Sekarang, kita kembali ke "svara bumei". Bila benar membicarakan "bumei" alias bumi, tanah Rejang adalah "dunia" dengan pandangan budaya agraris. Secara geografis, luas lahan yang menjadi lahan perkebunan (hanya untuk 11 komoditas utama) adalah 38.272 hektare (menurut BPS Rejang Lebong). Sedangkan lahan pertanian, baik lahan kering maupun pertanian irigasi, totalnya adalah 10.400 hektare. Ditambah lagi dengan wilayah hutan, baik itu hutan lindung maupun hutan produksi dan hutan kota, totalnya adalah 53.448 hektare. Total, wilayah Rejang Lebong yang berupa hutan, sawah dan kebun adalah hampir 100 ribu hektare.
Berapa luas wilayah Rejang Lebong? Yah, hanya 155 ribu hektare. Berarti, hanya 55 ribu hektare saja untuk pemukiman dan kota, sedangkan 100 ribu hektarenya adalah hutan, sawah, dan kebun. Itu berarti 65% wilayah Rejang Lebong itu berwarna hijau.
Maka, ketika ingin mendengar suara dari bumi Rejang, suara yang terdengar adalah suara agrarian. Suara yang tidak terdengar di daerah urban seperti Kota Bengkulu. Suara agrarian adalah suara harmoni yang teratur, karena berkaitan dengan waktu pengerjaan sawah dan kebun. Ada musim hujan, ada musim kemarau dan ada pancaroba. Suara agrarian adalah suara yang serupa siklus, rutin berputar dalam keteraturan. Setiap tahapan dalam siklus, akan dijaga dengan sebuah ritus. Entah itu masa panen, masa tanam, dan tahapan lainnya, punya upacara yang ketat dengan perasaan relijius. Kosmologi ini yang mengendap dalam kepercayaan masyarakatnya. (Baca juga Etnomusikologi dalam Perspektif Alan P. Merriam: Antara Musikologi dan Antropologi)
Sedangkan musik progresif itu tidak lahir dari budaya agrarian. Ia lahir dari budaya urban. Budaya yang terkait dengan modernisasi dan ekonomisasi. Perbedaan tradisi dan kosmologi paling kentara adalah, budaya agrarian itu harmonis dan teratur, sedangkan budaya urban itu cepat, penuh ketidak pastian, keterasingan. Budaya agrarian itu identik dengan sosial, sedangkan urban identik dengan personal. Dalam budaya agrarian, waktu diatur oleh alam. Dalam budaya urban, waktu diatur oleh jadwal yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Karena itu, agrarian akan harmoni dengan alam, sedangkan urban akan berusaha memanfaatkan semua yang ada di alam demi keperluan manusia (anthroposentris).
Maka, lagu Svara Bumei yang penuh kejutan, time signature yang ganjil, tempo yang berubah, dan "membahagiakan" ini, sayangnya dengan berat hati saya harus katakan, agak kurang mencerminkan "suara" dari tanah yang dua pertiga wilayahnya adalah hutan, sawah, dan perkebunan. Musik yang datang dari daerah ini adalah musik yang seperti lagu Inok. Subkultur musik yang "enak buat goyang" semacam orkes Melayu, dangdut, dan sebagainya, justru datang dari daerah pesisir, bukan daerah gunung.
Namun nomor Svara Bumei ini, mungkin akan lebih cocok bila judulnya adalah "Aroba Temot Kileak" atau semacam itu. Sebab, lagu ini, mengajak kita untuk duduk sebentar dan berdiskusi. Lagu ini tidak menawarkan makna, tapi menunggu kita menafsirkan. Repetisi motif dalam lagu ini seakan menegasi logika. Saie Jang Keme (lirik awal), juga diulang dengan melodi yang disengaja mengingatkan kita pada lagu Lalan Belek. Lalu di tengah-tengah, lirik "nirmakna" yang biasanya untuk permainan anak-anak, yakni Cuk orong orong, tecucuk buntut mosong (secara harfiah bisa diartikan, menusuk lobang sarang orong-orong di tanah dengan jari, malah tertusuk buntut musang). Pencampuran tersebut tidak koheren, dan menurut saya, ini adalah perspektif urban memandang tanah Rejang. Yah, dalam bahasa yang lebih moderat, Svara Bumei adalah "suara bumi Rejang" yang sudah direduksi oleh kesadaran urban.
Apa itu salah? Jelas tidak, itu adalah persepsi subjektif dari pengkarya. Tapi, apakah ini suara bumi dari Rejang? Juga jelas tidak. Musik progresif datang sebagai sesuatu yang menentang kemapanan, dan sebuah bentuk pencarian. Sedangkan suara khas budaya agraris dari tanah Rejang adalah tanah yang harmoni dan diatur oleh alam.
Nomor "Inok" jauh lebih menggambarkan suara bumei Rejang, meski ditujukan untuk In'ok (Ibu). Yah, sebagai catatan, budaya agrarian juga menganggap bumi sebagai ibu, karena itu kita menyebut tanah air kita sebagai ibu pertiwi. Ketika mendengarkan lagu Inok, suara-suara dari taneak Jang seakan merasuk dalam diri dan membuat pendengar tidak membiarkan suara hanya lewat di telinga. Tapi diresapi setiap melodinya.
Lagu lain, seperti Bejogi, Enigma Enggano, dan Trilogi, yah saya nikmati tanpa mencoba mengerti apa lirik dan proposisi karyanya. Saya menikmati pengalaman mendengarkannya saja, dan membiarkan otak saya yang tak seberapa ini menafsirkannya sendiri. Setiap lagu seakan akan menyiapkan ruang kosong untuk dimasuki, menjadi ruang bunyi yang menunggu kami (para pendengar) mencoba menafsirkannya. Itu yang membedakan pengalaman "sonik" saya dengan lagu Svara Bumei. Svara Bumei saya dengarkan dengan lirik yang saya mengerti, dan proposisi karya yang sudah saya baca dan dengarkan dari komposernya. Sedangkan lagu lain, saya nikmati tanpa pengalaman apriori. Justru ketika pesan itu disampaikan oleh Ka Ga Nga Etnik secara auditif, jelas lebih terasa ketimbang secara tekstual entah itu dari lirik maupun dari proposisinya.
(Terkait ini, saya pernah menulis Pemberontakan Seni Terhadap "Penjajahan Sastra" sebagai "reaksi" setelah membaca Toward a Newer Laocoon. Intinya adalah, beberapa karya seni harusnya dibebaskan dari penjara "tekstual", seperti lukisan dan karya musik.)
Hanya saja, sedikit catatan saya untuk lagu Enigma Enggano. Lagu ini begitu memukau baik secara pertunjukan maupun musikal. Liriknya sangat asing, tapi terdengar seperti rapalan mantra yang menggetarkan. Seakan-akan lahir dari laut, terumbu karang, dan gunung-gunung di Enggano. Saya suka lagu ini, tapi ketika melihat judulnya "enigma", saya seketika bertanya, kenapa? Enigma itu berbeda dengan teka-teki, atau rahasia. Kalau rahasia, itu dengan sengaja disembunyikan, kalau teka-teki itu butuh metode tertentu untuk mendapatkan jawabannya. Tapi enigma? Itu adalah sesuatu yang sudah sangat jelas, terang, tapi tidak dimengerti sama sekali. Karena itu, Alan Turing menciptakan mesin yang diberinama Enigma untuk memecahkan kode yang digunakan pasukan Jerman untuk berkomunikasi. Padahal, lagu ini tidak menawarkan teka-teki, atau misteri, atau rahasia tertentu. Tapi, seperti menceritakan pengalaman empiris pengkarya ketika menikmati atmosfer dan budaya Enggano. Jadi, kenapa judulnya enigma? Tapi, yah... siapa tahu mereka punya metafora tertentu, atau saya yang terlampau rasional membaca pilihan puitiknya.
Menjaga Ideologi Komposer, Jangan Tunduk Pada Selera Pasar
Dalam diskusi setelah pertunjukan, ada saran dari para pendengar agar Ka Ga Nga Etnik ini mau menghilangkan bagian sinkopasi, time signature yang ganjil, serta tempo yang berubah-ubah drastis. Penciri Ka Ga Nga Etnik yang progresif itu, direduksi menjadi yang "lempeng-lempeng" saja, agar penonton bisa ikut berjoget. Juga, agar bisa viral dan dikenal di seluruh dunia.
Gara-gara "enigma" tadi, saya jadi teringat dengan Jerman, dan teringat dengan Mazhab Frankfurt yang terkenal dengan teori kritis Marxisnya.
Pandangan estetis dari Theodore Adorno (1903-1969), yang menolak mass culture (budaya masa), membela sepenuhnya ideologi dan "pilihan" dari seorang individu dalam berkarya. Seni, itu dilihat dari struktur internal karya, bukan dari efeknya. Jadi, kualitas sebuah karya tidak diukur dengan seberapa banyak pendengarnya, seberapa terkenal dan banyak follower senimannya, atau seberapa viral karya tersebut. Bahkan, Adorno melakukan dikotomi "seni serius" dengan "seni populer". Seni serius disebutnya sebagai seni tinggi, sedangkan seni populer disebutnya sebagai budaya massa.
Tapi, bukan berarti "seni tinggi" tidak boleh populer. Adorno pun tidak mempermasalahkan selera individu pada budaya populer. Tapi, ia menolak industri budaya yang memproduksi karya seni dalam jumlah massal, ditujukan untuk keuntungan semata.
Popularitas suatu karya itu adalah efek distribusi, timing, akses, dan konteks sosial. Sedangkan karya seni dibuat dengan kejujuran estetik. Bisa jadi karya serius dan popularitas itu bertemu, semacam karya-karya dari Bach atau mungkin Shakespeare. Yah, kualitas dan keterjangkauan itu bukanlah musuh. Bisa saja bertemu, asalkan segmentasinya tepat.
Jadi, bukan seniman yang mengubah ideologi bermusiknya mengikuti apa yang sedang trend, disukai lebih banyak orang, dan tunduk pada standar pasar. Seniman, menurut saya, haram hukumnya mengulang formula yang "terbukti" laku dan menghindari bentuk-bentuk yang "berisiko". Itu akan membuat ada banyak reproduksi karya yang terasa mirip-mirip, tidak ada kejutan estetik, dan struktur semakin klise.
Karena itu, saya ingin berpesan pada adikku, Ari dan kawan-kawan di Ka Ga Nga Etnik Musik, jangan pernah pangkas kompleksitas musik kalian hanya karena pasar. Tetap resisten, bila perlu lakukan lagi pendalaman ide, dan terus lakukan penyempurnaan bentuk. Karyamu adalah sebuah karya yang reflektif, dan gunakan industri musik sebagai sarana tanpa harus menyerah pada standar pasar. Ingat, pada hakikatnya seniman adalah perancang struktur karya, bukan audiens.
Terakhir, selamat atas rilisnya 6 single dari album Svara Bumei.


.jpg)
.jpg)
.png)


