Advertisement
![]() |
| Caption: Gedung Kesenian Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. |
Oleh Zackir L Makmur*
Pembangunan daerah hari ini kerap diukur dengan angka-angka yang keras dan dingin: panjang jalan yang dibangun, gedung yang menjulang, stadion yang megah, dan pasar yang ramai oleh transaksi. Di tengah hiruk-pikuk itu, gedung kesenian sering terpinggirkan, seolah ia bukan kebutuhan mendesak.
Padahal, gedung kesenian bukan sekadar bangunan tambahan dalam lanskap kota atau pun kabupaten, melainkan ruang simbolik tempat ingatan kolektif suatu masyarakat bersemayam. Di sanalah nilai, rasa, dan makna hidup dirawat, dipertunjukkan, dan diwariskan. Tanpa ruang ini, pembangunan berjalan cepat, tetapi kehilangan arah batinnya.
Gedung kesenian sejatinya adalah infrastruktur kebudayaan —sebuah fondasi yang menopang keberlanjutan identitas daerah. Ia menampung denyut kreativitas, menjadi ruang dialog antara masa lalu dan masa kini, sekaligus panggung bagi masa depan. Dalam konteks kabupaten dan kota, keberadaan gedung kesenian menandai keseriusan pemerintah daerah dalam memandang kebudayaan bukan sebagai ornamen pelengkap pembangunan, melainkan sebagai porosnya. Pembangunan yang mengabaikan dimensi ini sesungguhnya sedang membangun tubuh daerah tanpa jiwa yang menghidupinya.
Contoh Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) sering dijadikan rujukan ideal bagaimana sebuah ruang pertunjukan mampu menjadi pusat gravitasi seni dan budaya. Namun, justru di daerah-daerahlah kebutuhan akan gedung kesenian menjadi jauh lebih mendesak. Kabupaten dan kota adalah tapak kelahiran kesenian tradisional, tempat sanggar-sanggar tumbuh dari kesunyian kampung dan semangat komunitas.
Di sanalah seniman lokal hidup, berlatih, dan mewariskan pengetahuan lintas generasi. Tanpa gedung kesenian yang layak, proses pembinaan dan regenerasi seni berjalan tertatih, bergantung pada ruang-ruang sementara yang rapuh secara teknis dan miskin makna simbolik. Bersamaan pula bahwa gedung kesenian adalah pernyataan politik kebudayaan. Ia menegaskan bahwa pembangunan tidak semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi dan akumulasi material, tetapi juga memelihara martabat manusia dan kebudayaannya.
Kehadiran gedung kesenian menunjukkan keberpihakan negara —dalam skala lokal—pada seni sebagai kerja peradaban. Ia menjadi ruang pendidikan kultural, tempat masyarakat belajar menghargai perbedaan ekspresi, merawat kepekaan, dan membangun kesadaran kolektif tentang siapa mereka dan dari mana mereka berasal.
Maka membangun gedung kesenian di daerah bukanlah soal romantisme masa lalu, melainkan investasi masa depan. Ia adalah upaya membangun manusia seutuhnya —manusia yang tidak tercerabut dari akar budayanya di tengah arus modernisasi. Daerah yang memiliki gedung kesenian sesungguhnya sedang menyiapkan panggung bagi dialog antara tradisi dan zaman, antara lokalitas dan dunia.
Tanpa panggung itu, pembangunan mungkin tetap berdiri tegak dalam beton dan baja, tetapi ia akan sunyi, kehilangan suara, dan perlahan menjauh dari jiwa masyarakat yang seharusnya dihidupinya.
Ruang Ekspresi Lokal
Salah satu fungsi paling mendasar dari gedung kesenian, adalah menyediakan ruang yang bermartabat bagi ekspresi kesenian lokal. Tari tradisi, musik daerah, teater rakyat, sastra lisan, hingga seni rupa komunitas membutuhkan lebih dari sekadar tempat tampil; mereka memerlukan panggung yang mengakui keberadaannya sebagai bagian sah dari peradaban.
Panggung, dalam pengertian ini, bukan semata persoalan estetika tata cahaya dan tata suara, melainkan soal pengakuan sosial dan psikologis. Ketika kesenian lokal hadir di ruang yang representatif, ia tidak lagi dipandang sebagai hiburan pinggiran, melainkan sebagai warisan yang layak dirawat dan dibanggakan.
Maka gedung kesenian memberi kepastian ruang bagi proses kreatif yang berkelanjutan. Ia memungkinkan seniman bekerja dengan tenang, publik menyaksikan dengan khidmat, dan tradisi diwariskan dengan kesadaran. Dalam ruang semacam ini, seni tidak sekadar dipertontonkan, tetapi juga dipelajari dan dimaknai.
Di tingkat kabupaten dan kota, kepastian ruang ini menjadi sangat penting karena di sanalah kesenian tumbuh dari kedekatannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Tanpa gedung kesenian, seni hidup dalam keterbatasan, sering berpindah-pindah, dan rawan terputus dari generasi berikutnya.
Akan tetapi gedung kesenian tidak boleh berhenti sebagai ruang yang menutup diri. Ia justru harus dibayangkan sebagai panggung pertemuan yang terbuka, tempat kesenian lokal bersua dengan ekspresi dari luar daerah, bahkan dari negara lain. Di titik inilah gedung kesenian menjelma sebagai medium diplomasi budaya dalam skala lokal.
Pertemuan antara kesenian lokal dan kesenian asing bukan ancaman bagi identitas, melainkan ruang dialog yang memungkinkan saling belajar, saling menguji, dan saling memperkaya. Dalam arus globalisasi yang sering menyeragamkan selera dan selintas pandang, daerah yang memiliki gedung kesenian sesungguhnya sedang membuka “jendela dunia” versinya sendiri.
Melalui panggung itu, identitas kultural diperkenalkan kepada tamu-tamu luar tanpa kehilangan kepercayaan diri. Pada saat yang sama, masyarakat lokal diajak memperluas cakrawala, menyadari bahwa kebudayaannya berdiri sejajar dengan kebudayaan lain di dunia. Gedung kesenian, dengan demikian, menjadi ruang perjumpaan yang setara, bukan etalase yang inferior.
Jadi, keberadaan gedung kesenian menegaskan bahwa lokalitas tidak harus tenggelam dalam gelombang global, tetapi justru dapat menemukan artikulasinya di hadapan dunia. Di atas panggung itulah kesenian lokal berbicara dengan bahasanya sendiri, berdialog tanpa rasa rendah diri, dan menegaskan eksistensinya sebagai bagian dari kebudayaan manusia yang majemuk. Tanpa ruang ini, globalisasi hanya akan menjadi arus satu arah; dengan gedung kesenian, ia berubah menjadi percakapan yang hidup dan bermakna.
Gedung Kesenian dan Ekosistem Pariwisata Seni
Pariwisata daerah selama ini kerap disandarkan hampir sepenuhnya pada bentang alam: pantai yang membentang, gunung yang menjulang, atau air terjun yang mengalirkan pesona. Lanskap alam memang memikat, tetapi ia juga rapuh dan musiman. Ketika pariwisata hanya bertumpu pada alam, ia mudah lelah dan kehilangan daya tahan.
Di titik itulah pariwisata berbasis kesenian dan budaya menawarkan napas yang lebih panjang —sebuah bentuk pariwisata yang tumbuh dari kreativitas manusia dan ingatan kolektifnya. Dari sini gedung kesenian memainkan peran kunci dalam membangun ekosistem pariwisata seni yang berkelanjutan. Ia menyediakan ruang yang memungkinkan pertunjukan rutin, festival budaya, dan agenda seni tahunan berlangsung secara konsisten.
Keberlanjutan inilah yang menciptakan magnet kunjungan, bukan sekadar ledakan sesaat. Dengan gedung kesenian, pariwisata tidak lagi bergantung pada musim, cuaca, atau tren, melainkan pada kontinuitas karya dan perjumpaan budaya yang terus diperbarui.
Pengalaman menyaksikan pertunjukan seni lokal di gedung kesenian yang representatif memberikan nilai yang tidak tergantikan. Wisatawan tidak sekadar datang untuk melihat, tetapi untuk mengalami —merasakan denyut budaya setempat dari dekat. Di ruang pertunjukan itu, cerita, ritme, dan simbol budaya bekerja menyentuh kesadaran. Pengalaman inilah yang membekas dan mendorong wisatawan kembali, sekaligus menjadi cerita yang mereka bawa pulang.
Dari pengalaman budaya tersebut, ekonomi kreatif bergerak dan berlapis. Seniman memperoleh ruang hidup, perajin menemukan pasar, UMKM tumbuh mengiringi arus pengunjung, dan sektor kuliner ikut merasakan getarannya. Gedung kesenian menjadi simpul yang mempertemukan seni, ekonomi, dan pariwisata dalam satu rantai nilai yang utuh. Ia membuktikan bahwa kebudayaan bukan beban anggaran, melainkan sumber daya pembangunan yang produktif dan bermartabat.
Maka ketika rencana hibah gedung kesenian di Kabupaten Subang, Jawa Barat, jelaslah ini menandai tumbuhnya kesadaran baru akan pentingnya infrastruktur kultural yang konkret. Gedung kesenian tidak berdiri sendiri, tetapi terintegrasi dengan destinasi wisata, festival daerah, dan partisipasi generasi muda. Ia menjadi ruang inkubasi gagasan sekaligus etalase kreativitas lokal yang siap bersaing di tingkat regional dan nasional. Melalui langkah ini, pariwisata daerah menemukan pijakan baru: tidak hanya indah dipandang, tetapi juga kaya makna dan berkelanjutan.
Ketika Gedung Kesenian Absen
Kisah Apresiasi Seni Probolinggo 2025, Jawa Timur, menghadirkan potret telanjang tentang apa yang terjadi ketika gedung kesenian absen dari peta pembangunan daerah. Para pegiat seni terpaksa menggelar pertunjukan di latar museum, “ngemper” di ruang terbuka setelah gedung kesenian yang dahulu menjadi rumah bersama dialihfungsikan menjadi lapangan tenis indoor.
Peristiwa tersebut bukan sekadar soal berpindahnya lokasi pementasan, melainkan cermin dari cara kebijakan membaca kebudayaan: apakah ia dipandang sebagai kebutuhan pokok atau sekadar sisa ruang yang mudah digeser. Maka absennya gedung kesenian mengungkap betapa rapuhnya posisi seni dalam hierarki pembangunan.
Ketika ruang formal dicabut, seni dipaksa bernegosiasi dengan keterbatasan—cuaca, teknis pertunjukan yang seadanya, dan ketidakpastian dukungan. Namun justru di titik rapuh itu, kita melihat watak dasar seni yang keras kepala: ia bertahan. Panggung darurat disulap, teras museum dijadikan ruang pertunjukan, dan halaman menjadi tempat berkumpul penonton. Seni menemukan jalannya sendiri untuk tetap hadir di hadapan publik.
Dari keterbatasan tersebut lahir pelajaran penting tentang daya hidup kebudayaan. Semangat para seniman, sanggar, dan Dewan Kesenian Kota Probolinggo membuktikan bahwa seni tidak mudah mati. Penonton tetap datang, karya tetap dipentaskan, dan ingatan budaya tetap bergerak. Namun, ketahanan ini tidak boleh dibaca sebagai alasan untuk mengabaikan tanggung jawab struktural. Semangat, betapapun heroiknya, tidak pernah cukup untuk menjamin keberlanjutan kesenian dalam jangka panjang.
Tanpa ruang yang layak dan permanen, seni akan terus berada dalam posisi rentan. Ia bergantung pada kebijakan sesaat, kemurahan hati pihak lain, dan kondisi yang serba tidak pasti. Regenerasi seniman pun terancam, karena ruang belajar dan tampil tidak tersedia secara konsisten. Dalam situasi semacam ini, kebudayaan mudah terjebak dalam siklus darurat: hidup dari satu acara ke acara lain, tanpa fondasi yang kokoh untuk tumbuh dan berkembang.
Kasus Probolinggo seharusnya menjadi cermin bagi banyak daerah. Ketika gedung kesenian dialihfungsikan atau diabaikan, yang hilang bukan hanya sebuah bangunan, tetapi simbol keberpihakan negara terhadap kebudayaan. Museum, gedung kesenian, dan ruang budaya lainnya seharusnya saling menopang dalam satu ekosistem, bukan dipisahkan apalagi dipertentangkan. Kebudayaan hidup dalam jejaring ruang, dan gedung kesenian adalah salah satu tiang penyangga utama yang menentukan apakah jejaring itu akan bertahan atau runtuh perlahan.
Tanpa Melupakan Jiwa Budaya
Pembangunan daerah yang berkelanjutan, selalu menuntut keseimbangan antara kemajuan material dan ketahanan kultural. Jalan, jembatan, dan gedung-gedung megah memang penting, tetapi tanpa fondasi kebudayaan, pembangunan mudah kehilangan arah dan makna. Dalam konteks inilah gedung kesenian di tingkat kabupaten dan kota hadir sebagai wujud konkret dari keseimbangan tersebut. Ia memastikan bahwa di tengah deru pembangunan fisik, jiwa budaya masyarakat tidak tercerabut dari akarnya, tetap hidup, dan terus diwariskan.
Gedung kesenian bukan semata ruang pertunjukan, melainkan ruang pembelajaran kultural. Di sanalah generasi muda berjumpa dengan identitasnya sendiri —belajar tentang disiplin berlatih, keberanian berekspresi, kreativitas tanpa batas, dan kerja kolektif yang menghargai perbedaan. Proses-proses ini sering kali berlangsung di luar kurikulum formal, tetapi justru membentuk karakter sosial dan kepekaan estetik yang tidak tergantikan. Dengan demikian, gedung kesenian berfungsi sebagai ruang pendidikan nonformal yang memperkaya kualitas sumber daya manusia daerah.
Pengelolaan gedung kesenian oleh pemerintah daerah melalui dinas kebudayaan atau pariwisata, seharusnya dipandang sebagai investasi jangka panjang, bukan beban anggaran. Infrastruktur kultural membutuhkan visi yang melampaui siklus tahunan anggaran dan pergantian kepemimpinan. Dengan tata kelola yang partisipatif —melibatkan seniman, komunitas, akademisi, dan masyarakat luas—gedung kesenian dapat hidup, relevan, dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Ia tidak harus eksklusif atau elitis, tetapi justru inklusif, terbuka bagi ragam ekspresi dan lapisan sosial.
Keberhasilan gedung kesenian tidak hanya diukur dari kemegahan bangunannya, tetapi dari intensitas kehidupan yang berlangsung di dalamnya. Ruang yang sering dipakai, diperdebatkan, dan dirayakan akan jauh lebih bermakna daripada bangunan megah yang sepi. Di titik ini, kebijakan kebudayaan dituntut untuk berpihak pada proses, bukan semata hasil fisik. Gedung kesenian harus dipastikan menjadi rumah bersama yang hidup, bukan monumen yang membeku.
Lalu pertanyaan mendasarnya bukan apakah daerah mampu membangun gedung kesenian, melainkan apakah daerah bersedia mengakui bahwa kebudayaan adalah fondasi pembangunan. Gedung kesenian menjadi penanda bahwa pembangunan tidak kehilangan arah kemanusiaannya. Di sanalah seni lokal tumbuh, dunia datang berkunjung, wisata bergerak, dan identitas daerah dipelihara dengan penuh kesadaran. Tanpa gedung kesenian, pembangunan mungkin tetap berjalan, tetapi ia akan berjalan tanpa jiwa—cepat, keras, dan hampa makna.***
* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).





