Advertisement
![]() |
| Pendek Festival (sumber foto: Instagram Pendek Festival) |
Oleh: Hanadia Mumtaz*
Tren “Today I Walked” sempat ramai di Twitter beberapa saat lalu. Unggahan tren itu berisi catatan langkah harian: seberapa jauh mereka melangkah dan apa saja yang mereka temukan di jalan. Saat ramai untuk pertama kalinya, dari dunia yang lebih mapan, tentu saja yang muncul adalah foto-foto pegunungan, rumput hijau, bunga-bunga cantik, dan akses jalan yang sangat baik. “Today I Walked” mendapat komentar yang berbeda saat seorang pengguna Twitter dari Jakarta mengikutinya. Pemandangan indah berganti menjadi akar pohon yang mencuat, kabel semrawut, jalan berlubang, dan risiko lain yang membuat melangkah tidak pernah sederhana.
Fenomena
internet itu yang saya rasakan menjadi benang merah dari pengalaman menonton
rangkaian Pendek Festival 2025 di Teater Utan Kayu, Jakarta, dengan tema
kuratorial “melangkah” atau “step by step”. Dalam dua hari, delapan pertunjukan
pendek menunjukkan bahwa melangkah adalah persoalan politis baik dari sisi
praktek berteater maupun keseharian para senimannya yang melahirkan gagasan.
Sehingga festival ini menjadi tawaran cara untuk menegosiasi keduanya: tentang
akses ruang, ekonomi seni yang minim, tubuh yang rentan, dan keberanian untuk
memulai langkah di tengah ketidakpastian.
Pertunjukan
“Tanya Bagi Cilincing” yang dibawakan oleh Insani Teater Cilincing (ITACI)
barangkali mengeja hal tersebut secara harfiah. Lewat sebuah pertunjukan teater
arena, ITACI menggemakan suara anak-anak yang sehari-hari “berjalan” di Jakarta
Utara dengan segala persoalannya.
“Tanya Bagi
Cilincing” lahir dari arsip tubuh anak-anak, suatu agensi yang seringkali
diabaikan. Di dalam arena itu, seorang anak yang tubuhnya paling kecil berlari
mengitari lintasan. Tali-tali kertas di tangannya membentuk sayap dan terangkat
terbawa angin setiap ia berlari, seolah akan membawanya terbang. Setiap satu
lintasan, ia akan berhenti sejenak, memastikan jalurnya aman. Seiring
berjalannya waktu, tubuh anak-anak lain menjelma menjadi kota: abu rokok, air
limbah, “transformer”, debu jalanan, dan rintangan lainnya yang lekat dengan
Jakarta Utara.
Pertunjukan ini
meneriakkan rasa frustasi akan kota yang tak mampu membuat ruang untuk anak
berjalan, bermain, dan bertumbuh dengan aman. “Merangkak” perlahan berubah
menjadi langkah tertatih penuh luka karena pendewasaan yang dipaksakan. Fragmen
orasi tumpang tindih soal kecelakaan lalu lintas, kemiskinan, dan penggusuran
adalah kemelut yang tak berkesudahan.
Meski begitu,
ITACI tetap menunjukkan bagaimana anak selalu mampu menciptakan ruang harapan
bagi dirinya sendiri. Saat musik jedag-jedug dimulai, anak-anak itu mengajak
penonton untuk turut menari di arena bersama mereka. Semangat untuk terus
bermain, terus melangkah, terus diciptakan meski kota tak pernah memihak.
“Disuruh diam,
disuruh sabar, disuruh ngertiin keadaan. Tapi siapa yang ngertiin kita?”
teriakan itu terus menggema bahkan setelah pertunjukannya usai.
Langkah yang
tidak bebas kembali menghantui pertunjukan kedua, “WKWK” oleh Pungo Teater.
Sulit untuk
menebak apa yang lucu dari “WKWK” sebagaimana judulnya. Setelah layar proyektor
menunjukkan video tanya-jawab terkait arti kebebasan, tubuh-tubuh dalam
panggung menegasi jawaban-jawaban itu. Lampu nyala-mati dengan cepat. Dalam
gelap, penonton dipaksa untuk menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Potongan aksi muncul singkat setiap kali lampu menyala. Dalam salah satu
potongan adegan, aktor seolah hendak melemparkan kursi ke arah penonton,
membuat penonton terus siap siaga.
Kengerian terus
dijaga oleh tubuh-tubuh aktor yang seolah mengikat dirinya sendiri. Setiap
gerak menyiksa, mengungkung, jauh dari kata membebaskan. Tubuh-tubuh gemetaran
dan menggelinjang dalam panggung, tertatih, berusaha untuk kabur.
Menonton
“penyiksaan” dari jarak yang sangat dekat, turut mengganggu tubuh penonton.
Ketakutan itu saya rasakan bukan cuma hadir dari perasaan ngeri atau iba,
tetapi juga kekhawatiran mengalami hal yang sama. Ketika tubuh aktor mendekat,
saya dan penonton lain akan berusaha mundur dan menghindar, sambil berharap
agar tidak didekati.
Pertanyaan “apa
beda bebas dan tidak bebas?” yang diulang seperti mantra menghipnotis penonton.
Dalam panggung, “kebebasan” perlahan kehilangan maknanya dan berakhir
ditertawakan.
Di akhir
pertunjukan, para aktor seolah melepaskan beban definitif tentang “kebebasan” kepada penonton. Setelah berganti
ke kostum serba putih, mereka menyatakan bahwa penontonlah yang sebenarnya
menjadi aktor dalam pertunjukan ini.
Ketika saya
pikir sesi pementasan sudah berakhir, sebuah pertunjukan kejutan “Under 5” dari
Teater Kedai menahan penonton untuk keluar. Pertunjukan sederhana itu mengubah
pintu ruang teater menjadi lift di mana beberapa orang berebutan untuk masuk.
Sekilas, “Lift”
terlihat seperti public stunt atau usaha membuat invisible theatre. Namun ia
tak malu-malu mengumumkan dirinya sebagai teater utuh dengan durasi
ekstra-pendek.
Dalam
pertunjukan sekejap itu, “Lift” dengan lugas memotret lanskap masyarakat urban
hari ini. Influencer ngesok, pekerja korporat yang selalu buru-buru, ibu-bapak
rempong, dan figur agama yang selalu tampil dengan amanatnya. Semuanya
berlomba-lomba jadi yang paling sibuk dan paling pantas untuk masuk ke lift
duluan dengan segala alasan yang dibuat-buat. Gempa yang membuat semua aktor
terjatuh, mengakhiri pertunjukan itu dengan banal selayaknya kehidupan
sehari-hari di negara ini.
“Lift” terasa
begitu dekat dengan keseharian. Teater sebagaimana koreografi sosial selalu ada
di setiap langkah yang kita jejakkan. Pertunjukan di bawah lima menit ini
barangkali tawaran baru tentang teater utuh yang bisa dipertunjukan di sela
langkah, dengan panggung imajinatif, dan cerita yang sederhana.
Keluar dari
ruang teater, saya dan teman lainnya menjawab formulir berisi pertanyaan
seputar pertunjukan “WKWK” lewat QR yang diberikan oleh Pungo Teater.
Pertanyaan terakhir “Menurutmu apa kamu sudah bebas?” membuat saya merenung
sejenak. Entah kapan terakhir kali saya mempertanyakan hal tersebut. Hari-hari
ini, merespons berita genosida, represi, dan penangkapan membuat saya percaya
kalimat yang kerap beredar di internet, “No one is free until everyone is
free!”. Barangkali “kebebasan” hilang dalam tubuh yang terotomatisasi dan
berhenti bertanya.
Malam harinya,
pertunjukan ketiga “Hold On I’m Coping” karya Afkar Malik digelar. Kota yang
selalu sibuk, kerap memaksa kita untuk terus melangkah. Mungkin benar bahwa
kebebasan adalah hal yang semu. Maka ketika kota terus memaksa kita untuk
bekerja dan melangkah, yang tersisa hanyalah perlawanan-perlawanan kecil untuk
menjaga kewarasan.
“Hold On I’m
Coping” tampil sebagai pertunjukan musikal yang manis dan hangat. Berlatar di
sebuah support therapy group, kelima aktor memuntahkan keluhan-keluhan mereka
beserta cara untuk “cope” atau mewaraskan diri. Tentang keinginan untuk
menyendiri, side jobs demi menopang gairah berkesenian, kesepian yang membuat
ketergantungan pada internet, juga
prokastinasi dan ketakutan untuk menghadapi realita. Di salah satu adegan,
mereka maju satu per satu layaknya layar Tiktok yang sedang digulir, penuh
banjir informasi dengan nada konten yang bermacam-macam.
Saat hidup
terlalu melelahkan, cara-cara seperti curhat ke Chat GPT, doom scrolling, dan
membangun hubungan parasosial menjadi perlawanan kecil setiap harinya. Meski
sekilas tampak jauh dari kata “sehat”, barangkali cara tersebut merupakan norma
kewarasan yang baru di tengah kegilaan dunia hari ini. Elemen-elemen yang
sangat dekat dengan kehidupan urban itu mengundang banyak tawa dari penonton.
Saya meyakini itu terjadi karena kami bisa menemukan diri kami pada aktor-aktor
di panggung.
Di akhir
pertunjukan, para aktor mengajak pemusik dan sutradara Afkar Malik untuk ikut
bercerita di atas panggung. Momen itu terasa begitu hangat dan cair. Berbeda
dengan panggung musikal yang biasa menciptakan tembok dingin antara panggung
dan pemusik, “Hold On I’m Coping” justru menunjukkan kerja afektif dari semua
yang terlibat dalam pertunjukan. Afkar Malik yang duduk bersebelahan dengan
penonton dan suara live vocal yang bisa didengarkan tanpa bantuan pengeras
suara, membuat pertunjukannya jadi begitu dekat.
Sebelum
benar-benar menutup rangkaian pertunjukan malam itu, penonton diajak untuk
bersama-sama menyanyikan lirik “Hold on I’m hoping”. Pengalaman ini begitu
hangat dan berarti. Dalam pertunjukan yang pendek, ada perayaan panjang untuk
menghargai jeda dan istirahat.
-
Hari kedua
Pendek Festival 2025 dimulai dengan Diskusi Kecap “Langkah Pendek dan Teater di
Sekitarnya”. Diskusi ini menghadirkan kawan-kawan yang mengelola platform atau
festival seperti Bandung Playfest, Jejak Lakon, B-PART, dan Kalam Puan. Praktek
dan rintangan yang mereka alami menjadi topik utama dalam diskusi ini.
I. B. Uttarayana
dari Bandung Playfest mengungkap bahwa festival-festival alternatif seperti
yang diinisiasi olehnya lebih mengandalkan modal sosial daripada ekonomi.
Ungkapan tersebut bersambut dengan Raymond Y. Patty yang bercerita tentang
bagaimana pertunjukan Jejak Lakon kebanyakan diinisiasi dan dimodali oleh
senimannya sendiri. Shinta Febriany dari Kalam Puan dan Wayan Sumahardika dari
B-PART juga menegaskan upaya mereka dalam memberi akses terkoneksi untuk
seniman perempuan dan ekosistem kesenian di Bali.
Diskusi ini
mengetuk kembali refleksi saya tentang melangkah sebagai praktek kesenian di
tengah kondisi politik dan ekonomi yang serba tidak pasti. Hari ini, rangkaian
kebutuhan teater maupun festival sulit menyentuh konvensi lama yang lekat
dengan besar dan utuh. Akses ruang dan pendanaan memerlukan strategi baru untuk
menjaga keberlangsungan kerja-kerja kesenian itu. Semangat kerja kolektif-lah
yang memungkinkan ekosistem festival-festival muda ini terus melangkah dan
bertahan.
-
Menonton “Piksel
dan Paradoks” rasanya seperti nostalgia ke tugas-tugas drama semasa sekolah.
Dengan seragam SMA yang dipadu kaus rumahan, Teater Joepat dari SMAN 74 Jakarta
membawakan pertunjukan sederhana tentang deadline tugas kelompok.
Layaknya kerja kelompok
pada umumnya, kelompok beranggotakan lima siswa itu membagi tugas
masing-masing. Keributan kecil mulai muncul ketika sebagian anggota hanya mau
mengambil bagian yang mudah, seperti mencari template Power Point atau
ilustrasi pendukung. Seiring waktu, gangguan-gangguan seperti TikTok dan doom
scrolling menghambat kerja mereka. Apa yang awalnya hanya satu–dua rekaman
TikTok berubah menjadi pelarian yang melahap fokus dan waktu. Ketakutan
menghadapi soal yang sulit justru mendorong mereka semakin tenggelam dalam
distraksi.
Kepanikan itu
divisualkan lewat lampu yang menyala–padam dengan cepat. Dalam setiap kilatan
singkat keluhan tentang soal yang mustahil, frustrasi atas jawaban yang salah,
hingga satu anggota yang sibuk nge-live sendiri menunjukkan hilangnya
kesadaran.
Saya ingat
bagaimana momen dikejar deadline tugas kelompok rasanya persis seperti itu. Di
tengah kesadaran bahwa waktunya tidak akan cukup, eskapisme dibutuhkan untuk
meredakan panik. Saat-saat seperti itu, bagi saya yang dulu hanya tau sekolah
dan menganggap nilai adalah hidup dan mati, sangat menakutkan.
Lampu kemudian
mati seutuhnya, menyisakan titik-titik hijau di tubuh para siswa yang membuat
mereka tampak seperti galaksi. Musik ambience yang menenangkan tubuh terayun
pelan. Monolog menyusul: “Di kelelahan, kami menemukan jeda. Sebuah ruang
untuk bernafas.”
Dalam Diskusi
Bertumbuh yang diadakan malamnya, Pak Arief, sutradara dan penulis sekaligus
walikelas, mengungkap bagaimana pertunjukan tersebut merupakan kolaborasi antar
guru dan siswa. Pertunjukan tidak menghakimi fenomena generasi muda yang mudah
terdistraksi internet. Ia justru dengan lembut berusaha menunjukkan keterikatan
yang berakar pada problem kehidupan muda-mudi hari ini: pencarian jati diri,
keinginan untuk eksis, algoritma yang mengganggu, sementara beban sekolah
terkadang tak memikirkan kebutuhan ruang-ruang refleksi itu. “Piksel dan
Paradoks” seperti pertunjukan sebelumnya, lagi-lagi menekankan jeda sebagai
kebutuhan sebelum kembali melangkah jauh. Tubuh perlu berhenti sejenak agar
bisa terus bergerak maju tanpa kehilangan dirinya.
Melangkah pada
pertunjukan berikutnya, saya dengan tidak sengaja melewatkan pertunjukan “Under
5” karya Hendri Setiawan dengan judul “BOOM”. Ketika mengantre menuju ruang
teater, saya kira teater memang belum dibuka. Setelah pertunjukan selesai hari
itu, baru saya sadari bahwa antrean panjang tersebut disebabkan pertunjukan
kejutan yang dihadirkan di depan pintu teater. Meski begitu, lewat potongan
story Instagram dan tambahan cerita dari Kak Lintang, saya ingin tetap mencoba
sedikit merangkai dan membaca pertunjukan ini.
Dari
potongan-potongan video dan foto, saya melihat Hendra Setiawan menulis di pintu
teater menggunakan kapur. Guratan-guratan itu tercipta dari tangan yang
menghentak. Seiring waktu, intensitasnya semakin tinggi.
Ada satu guratan
yang paling jelas: “6-08-1945”. Hari jatuhnya bom atom di Hiroshima, Jepang.
Gumaman Hendra Setiawan dan suara kecil dari speaker mengeluarkan kata kunci
yang sama. Saya bayangkan, ia sedang berusaha menceritakan lagi sejarah kelam
itu lewat tubuhnya. Tubuh dalam peristiwa, yang dalam deskripsi pertunjukan,
ditulis sebagai “menimbulkan keruntuhan dan kebangkitan setelahnya”.
Ketika akhirnya
masuk ke ruang teater, “21 Menit” karya Kala Teater menyuguhkan latar sebuah
pekarangan rumah sederhana: bangku, kursi, dan pot-pot tanaman. Ketiga tokoh,
Poha, Nisu, dan Zore bercakap-cakap santai. Percakapan menjadi sedikit lebih
pelik ketika dialog filosofis tentang harapan di lempar di tengah ketiganya.
Apa itu harapan? Apakah ia selalu berorientasi pada masa depan? Seperti apa
bentuk masa depan yang dianggap “cerah”?
Naskah yang
ditulis pada masa pandemi ini memotret ketidakpastian yang menjadi keseharian
masyarakat urban. Di tengah kondisi yang tidak menentu, kita tetap dipaksa
melangkah mengikuti standar hidup normatif: tumbuh dewasa, bekerja, menikah,
memiliki aset, dan hidup sampai tua. Namun ketika masa depan sendiri tak lagi
bisa dijanjikan, untuk apa mempertahankan harapan? Untuk apa hidup lama jika
akhirnya hanya menjadi beban dari ketidakpastian?
“Aku tak
tertarik hidup sampai tua, itu merepotkan.”
“Merepotkan
siapa?”
“Ya siapapun
yang iba padaku!”
Dialog-dialog
getir mewarnai pertunjukan ini. “Doping” vitamin dan doktrin spiritualitas yang
memaksa kelas pekerja “tetap semangat hidup” mengundang tawa penonton. Tawa
yang mungkin datang dari realita pahit yang familiar. “21 Menit” menyentil
harapan-harapan semu itu: kerja keras yang tidak selalu memberi hasil dan
tuntutan optimisme di saat tubuh sebetulnya ingin berhenti.
Pertunjukan
ditutup dengan absurditas tak kalah menggelitik, saat seorang karakter
tersandung, yang lain menyahuti, “Ini mungkin klimaks teaternya!”
-
Atmosfer ruang
berubah drastis saat memasuki pertunjukan terakhir hari itu. Instalasi penis
dan vagina mendominasi panggung Puncak Phallus karya Lintang Dyah Paramitha. Di
pojok kiri ruangan terdapat instalasi lukisan-lukisan abstrak. Sementara di pojok kanan atribut-atribut
ritual diletakkan di atas meja kecil. Wangi dupa tercium begitu penonton
memasuki ruangan.
Tubuh Lintang
tidak hadir, yang hadir adalah kisahnya, disampaikan melalui rekaman suara.
Trauma diceritakan ulang kemudian dipararelkan dengan tradisi sunat Sifon suku
Atoni Meto yang mengorbankan perempuan untuk disetubuhi oleh laki-laki yang
baru disunat—dua pengalaman yang terpisah ruang dan budaya, terpaut jarak,
tetapi menemukan resonansi kuat dalam tubuh perempuan. Cerita-cerita tentang
kekerasan rumah tangga, kekerasan seksual, alienasi tubuh, ritual yang
melimpahkan sakit pada perempuan, semuanya seolah saling bersahutan dan
mengulurkan tangan untuk saling menguatkan.
Seorang narator
lain memandu partisipan mengikuti langkah-langkah ritual Sifon: melempar batu,
mengasah pisau, hingga mengoles cat pada tubuh dan patung-patung. Satu hal yang
ditekankan oleh sang narator, keenam partisipan diminta turut “merasakan”
dengan melihat instalasi dan mendengar cerita yang terus dibacakan.
Ritual
“sungguhan” dimulai ketika karimbing dimainkan. Namun, kali ini ritual
dilakukan bukan untuk melanggengkan kekerasan pada perempuan. Instalasi penis
dibaringkan di sebelah seorang partisipan. Partisipan lain mengitari instalasi
vagina. Merapal harapan untuk seluruh korban kekerasan yang ada.
Dalam
berkesenian, “jarak” tampak selalu menjadi suatu hal yang harus terus
dipangkas. Didekatkan. Namun, Lintang justru mengambil posisi sebaliknya dengan
menghadirkan tubuh yang tak bersangkutan langsung dengan cerita di atas
panggung. Terkadang, melangkah tak selalu maju ke depan. Kadang ia bisa jadi
sebuah sikap untuk mundur dan mengambil jarak. Dalam hal ini, trauma sebagai
dasar pertunjukan diperlakukan dengan etika perawatan yang lebih mendahulukan
tubuh yang trauma.
Menonton
pertunjukan ini, saya menyadari bahwa tubuh saya mungkin memilih strategi
serupa. Ketika panggung mencoba menenggelamkan saya ke dalam emosi, saya secara
naluriah menahan diri. Bukan karena saya menolak mengalami pertunjukannya
secara utuh. Saya hanya memilih merasakan pengalaman estetika yang memberi
ruang perlindungan.
-
“Today I Walked”
saya rasakan sebagai oase dari riuhnya hiruk-pikuk sosial media. Saat tren itu
mampir di linimasa, rasanya seperti ada pengingat untuk kembali menjejakkan
langkah, touching the grass, dan menemukan keindahan dalam tempuhan jarak yang
telah diusahakan hari itu. Meski realita jalanan yang saya temui mungkin tak
semenyenangkan itu.
Pendek Festival
saya rasakan menawarkan kerja kolektif yang serupa. “Melangkah” menjadi
perebutan kecil dan resiliensi di setiap eksperimentasi berteater di tengah
ekosistem dan tubuh para senimannya yang terus bergeliat meski dihimpit ruang,
waktu, dan risiko. Gagasan yang hadir dalam delapan pertunjukan pun seolah
mengatakan hal yang serupa. Bahwa setiap langkah berarti begitu pula dengan
pilihan untuk berhenti sejenak.
Pendek Festival mencatat jejak kolektif langkah para seniman. Ia menjadi ruang jeda untuk mengilas balik dan merayakan sejauh mana para senimannya melangkah. Hari itu saya berjalan ke Pendek Festival, menemukan bahwa seni terus hidup selama ada tubuh dan kolektif yang bersedia melangkah, berhenti sejenak, lalu mencoba lagi, sedikit demi sedikit.
*Penulis adalah akademisi di jurusan Sastra Indonesia, FIB Universitas Indonesia





