Today I Walked… To Pendek Festival -->
close
Pojok Seni
21 December 2025, 12/21/2025 11:32:00 PM WIB
Terbaru 2025-12-21T16:41:17Z
Ulasan

Today I Walked… To Pendek Festival

Advertisement

Pendek Festival (sumber foto: Instagram Pendek Festival)


Oleh: Hanadia Mumtaz*

Tren “Today I Walked” sempat ramai di Twitter beberapa saat lalu. Unggahan tren itu berisi catatan langkah harian: seberapa jauh mereka melangkah dan apa saja yang mereka temukan di jalan. Saat ramai untuk pertama kalinya, dari dunia yang lebih mapan, tentu saja yang muncul adalah foto-foto pegunungan, rumput hijau, bunga-bunga cantik, dan akses jalan yang sangat baik. “Today I Walked” mendapat komentar yang berbeda saat seorang pengguna Twitter dari Jakarta mengikutinya. Pemandangan indah berganti menjadi akar pohon yang mencuat, kabel semrawut, jalan berlubang, dan risiko lain yang membuat melangkah tidak pernah sederhana.


Fenomena internet itu yang saya rasakan menjadi benang merah dari pengalaman menonton rangkaian Pendek Festival 2025 di Teater Utan Kayu, Jakarta, dengan tema kuratorial “melangkah” atau “step by step”. Dalam dua hari, delapan pertunjukan pendek menunjukkan bahwa melangkah adalah persoalan politis baik dari sisi praktek berteater maupun keseharian para senimannya yang melahirkan gagasan. Sehingga festival ini menjadi tawaran cara untuk menegosiasi keduanya: tentang akses ruang, ekonomi seni yang minim, tubuh yang rentan, dan keberanian untuk memulai langkah di tengah ketidakpastian.

 

Pertunjukan “Tanya Bagi Cilincing” yang dibawakan oleh Insani Teater Cilincing (ITACI) barangkali mengeja hal tersebut secara harfiah. Lewat sebuah pertunjukan teater arena, ITACI menggemakan suara anak-anak yang sehari-hari “berjalan” di Jakarta Utara dengan segala persoalannya.

 

“Tanya Bagi Cilincing” lahir dari arsip tubuh anak-anak, suatu agensi yang seringkali diabaikan. Di dalam arena itu, seorang anak yang tubuhnya paling kecil berlari mengitari lintasan. Tali-tali kertas di tangannya membentuk sayap dan terangkat terbawa angin setiap ia berlari, seolah akan membawanya terbang. Setiap satu lintasan, ia akan berhenti sejenak, memastikan jalurnya aman. Seiring berjalannya waktu, tubuh anak-anak lain menjelma menjadi kota: abu rokok, air limbah, “transformer”, debu jalanan, dan rintangan lainnya yang lekat dengan Jakarta Utara.

 

Pertunjukan ini meneriakkan rasa frustasi akan kota yang tak mampu membuat ruang untuk anak berjalan, bermain, dan bertumbuh dengan aman. “Merangkak” perlahan berubah menjadi langkah tertatih penuh luka karena pendewasaan yang dipaksakan. Fragmen orasi tumpang tindih soal kecelakaan lalu lintas, kemiskinan, dan penggusuran adalah kemelut yang tak berkesudahan.

 

Meski begitu, ITACI tetap menunjukkan bagaimana anak selalu mampu menciptakan ruang harapan bagi dirinya sendiri. Saat musik jedag-jedug dimulai, anak-anak itu mengajak penonton untuk turut menari di arena bersama mereka. Semangat untuk terus bermain, terus melangkah, terus diciptakan meski kota tak pernah memihak.

 

“Disuruh diam, disuruh sabar, disuruh ngertiin keadaan. Tapi siapa yang ngertiin kita?” teriakan itu terus menggema bahkan setelah pertunjukannya usai.

 

Langkah yang tidak bebas kembali menghantui pertunjukan kedua, “WKWK” oleh Pungo Teater.

 

Sulit untuk menebak apa yang lucu dari “WKWK” sebagaimana judulnya. Setelah layar proyektor menunjukkan video tanya-jawab terkait arti kebebasan, tubuh-tubuh dalam panggung menegasi jawaban-jawaban itu. Lampu nyala-mati dengan cepat. Dalam gelap, penonton dipaksa untuk menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Potongan aksi muncul singkat setiap kali lampu menyala. Dalam salah satu potongan adegan, aktor seolah hendak melemparkan kursi ke arah penonton, membuat penonton terus siap siaga.

 

Kengerian terus dijaga oleh tubuh-tubuh aktor yang seolah mengikat dirinya sendiri. Setiap gerak menyiksa, mengungkung, jauh dari kata membebaskan. Tubuh-tubuh gemetaran dan menggelinjang dalam panggung, tertatih, berusaha untuk kabur.

 

Menonton “penyiksaan” dari jarak yang sangat dekat, turut mengganggu tubuh penonton. Ketakutan itu saya rasakan bukan cuma hadir dari perasaan ngeri atau iba, tetapi juga kekhawatiran mengalami hal yang sama. Ketika tubuh aktor mendekat, saya dan penonton lain akan berusaha mundur dan menghindar, sambil berharap agar tidak didekati.

 

Pertanyaan “apa beda bebas dan tidak bebas?” yang diulang seperti mantra menghipnotis penonton. Dalam panggung, “kebebasan” perlahan kehilangan maknanya dan berakhir ditertawakan.

 

Di akhir pertunjukan, para aktor seolah melepaskan beban definitif tentang  “kebebasan” kepada penonton. Setelah berganti ke kostum serba putih, mereka menyatakan bahwa penontonlah yang sebenarnya menjadi aktor dalam pertunjukan ini.

 

Ketika saya pikir sesi pementasan sudah berakhir, sebuah pertunjukan kejutan “Under 5” dari Teater Kedai menahan penonton untuk keluar. Pertunjukan sederhana itu mengubah pintu ruang teater menjadi lift di mana beberapa orang berebutan untuk masuk.

 

Sekilas, “Lift” terlihat seperti public stunt atau usaha membuat invisible theatre. Namun ia tak malu-malu mengumumkan dirinya sebagai teater utuh dengan durasi ekstra-pendek.

 

Dalam pertunjukan sekejap itu, “Lift” dengan lugas memotret lanskap masyarakat urban hari ini. Influencer ngesok, pekerja korporat yang selalu buru-buru, ibu-bapak rempong, dan figur agama yang selalu tampil dengan amanatnya. Semuanya berlomba-lomba jadi yang paling sibuk dan paling pantas untuk masuk ke lift duluan dengan segala alasan yang dibuat-buat. Gempa yang membuat semua aktor terjatuh, mengakhiri pertunjukan itu dengan banal selayaknya kehidupan sehari-hari di negara ini.

 

“Lift” terasa begitu dekat dengan keseharian. Teater sebagaimana koreografi sosial selalu ada di setiap langkah yang kita jejakkan. Pertunjukan di bawah lima menit ini barangkali tawaran baru tentang teater utuh yang bisa dipertunjukan di sela langkah, dengan panggung imajinatif, dan cerita yang sederhana.

 

Keluar dari ruang teater, saya dan teman lainnya menjawab formulir berisi pertanyaan seputar pertunjukan “WKWK” lewat QR yang diberikan oleh Pungo Teater. Pertanyaan terakhir “Menurutmu apa kamu sudah bebas?” membuat saya merenung sejenak. Entah kapan terakhir kali saya mempertanyakan hal tersebut. Hari-hari ini, merespons berita genosida, represi, dan penangkapan membuat saya percaya kalimat yang kerap beredar di internet, “No one is free until everyone is free!”. Barangkali “kebebasan” hilang dalam tubuh yang terotomatisasi dan berhenti bertanya.

 

Malam harinya, pertunjukan ketiga “Hold On I’m Coping” karya Afkar Malik digelar. Kota yang selalu sibuk, kerap memaksa kita untuk terus melangkah. Mungkin benar bahwa kebebasan adalah hal yang semu. Maka ketika kota terus memaksa kita untuk bekerja dan melangkah, yang tersisa hanyalah perlawanan-perlawanan kecil untuk menjaga kewarasan.

 

“Hold On I’m Coping” tampil sebagai pertunjukan musikal yang manis dan hangat. Berlatar di sebuah support therapy group, kelima aktor memuntahkan keluhan-keluhan mereka beserta cara untuk “cope” atau mewaraskan diri. Tentang keinginan untuk menyendiri, side jobs demi menopang gairah berkesenian, kesepian yang membuat ketergantungan pada internet,  juga prokastinasi dan ketakutan untuk menghadapi realita. Di salah satu adegan, mereka maju satu per satu layaknya layar Tiktok yang sedang digulir, penuh banjir informasi dengan nada konten yang bermacam-macam.

 

Saat hidup terlalu melelahkan, cara-cara seperti curhat ke Chat GPT, doom scrolling, dan membangun hubungan parasosial menjadi perlawanan kecil setiap harinya. Meski sekilas tampak jauh dari kata “sehat”, barangkali cara tersebut merupakan norma kewarasan yang baru di tengah kegilaan dunia hari ini. Elemen-elemen yang sangat dekat dengan kehidupan urban itu mengundang banyak tawa dari penonton. Saya meyakini itu terjadi karena kami bisa menemukan diri kami pada aktor-aktor di panggung.

 

Di akhir pertunjukan, para aktor mengajak pemusik dan sutradara Afkar Malik untuk ikut bercerita di atas panggung. Momen itu terasa begitu hangat dan cair. Berbeda dengan panggung musikal yang biasa menciptakan tembok dingin antara panggung dan pemusik, “Hold On I’m Coping” justru menunjukkan kerja afektif dari semua yang terlibat dalam pertunjukan. Afkar Malik yang duduk bersebelahan dengan penonton dan suara live vocal yang bisa didengarkan tanpa bantuan pengeras suara, membuat pertunjukannya jadi begitu dekat.

 

Sebelum benar-benar menutup rangkaian pertunjukan malam itu, penonton diajak untuk bersama-sama menyanyikan lirik “Hold on I’m hoping”. Pengalaman ini begitu hangat dan berarti. Dalam pertunjukan yang pendek, ada perayaan panjang untuk menghargai jeda dan istirahat.

 

-

 

Hari kedua Pendek Festival 2025 dimulai dengan Diskusi Kecap “Langkah Pendek dan Teater di Sekitarnya”. Diskusi ini menghadirkan kawan-kawan yang mengelola platform atau festival seperti Bandung Playfest, Jejak Lakon, B-PART, dan Kalam Puan. Praktek dan rintangan yang mereka alami menjadi topik utama dalam diskusi ini.

 

I. B. Uttarayana dari Bandung Playfest mengungkap bahwa festival-festival alternatif seperti yang diinisiasi olehnya lebih mengandalkan modal sosial daripada ekonomi. Ungkapan tersebut bersambut dengan Raymond Y. Patty yang bercerita tentang bagaimana pertunjukan Jejak Lakon kebanyakan diinisiasi dan dimodali oleh senimannya sendiri. Shinta Febriany dari Kalam Puan dan Wayan Sumahardika dari B-PART juga menegaskan upaya mereka dalam memberi akses terkoneksi untuk seniman perempuan dan ekosistem kesenian di Bali.

 

Diskusi ini mengetuk kembali refleksi saya tentang melangkah sebagai praktek kesenian di tengah kondisi politik dan ekonomi yang serba tidak pasti. Hari ini, rangkaian kebutuhan teater maupun festival sulit menyentuh konvensi lama yang lekat dengan besar dan utuh. Akses ruang dan pendanaan memerlukan strategi baru untuk menjaga keberlangsungan kerja-kerja kesenian itu. Semangat kerja kolektif-lah yang memungkinkan ekosistem festival-festival muda ini terus melangkah dan bertahan.

 

-

 

Menonton “Piksel dan Paradoks” rasanya seperti nostalgia ke tugas-tugas drama semasa sekolah. Dengan seragam SMA yang dipadu kaus rumahan, Teater Joepat dari SMAN 74 Jakarta membawakan pertunjukan sederhana tentang deadline tugas kelompok.

 

Layaknya kerja kelompok pada umumnya, kelompok beranggotakan lima siswa itu membagi tugas masing-masing. Keributan kecil mulai muncul ketika sebagian anggota hanya mau mengambil bagian yang mudah, seperti mencari template Power Point atau ilustrasi pendukung. Seiring waktu, gangguan-gangguan seperti TikTok dan doom scrolling menghambat kerja mereka. Apa yang awalnya hanya satu–dua rekaman TikTok berubah menjadi pelarian yang melahap fokus dan waktu. Ketakutan menghadapi soal yang sulit justru mendorong mereka semakin tenggelam dalam distraksi.

 

Kepanikan itu divisualkan lewat lampu yang menyala–padam dengan cepat. Dalam setiap kilatan singkat keluhan tentang soal yang mustahil, frustrasi atas jawaban yang salah, hingga satu anggota yang sibuk nge-live sendiri menunjukkan hilangnya kesadaran.

 

Saya ingat bagaimana momen dikejar deadline tugas kelompok rasanya persis seperti itu. Di tengah kesadaran bahwa waktunya tidak akan cukup, eskapisme dibutuhkan untuk meredakan panik. Saat-saat seperti itu, bagi saya yang dulu hanya tau sekolah dan menganggap nilai adalah hidup dan mati, sangat menakutkan.

 

Lampu kemudian mati seutuhnya, menyisakan titik-titik hijau di tubuh para siswa yang membuat mereka tampak seperti galaksi. Musik ambience yang menenangkan tubuh terayun pelan. Monolog menyusul: “Di kelelahan, kami menemukan jeda. Sebuah ruang untuk bernafas.

 

Dalam Diskusi Bertumbuh yang diadakan malamnya, Pak Arief, sutradara dan penulis sekaligus walikelas, mengungkap bagaimana pertunjukan tersebut merupakan kolaborasi antar guru dan siswa. Pertunjukan tidak menghakimi fenomena generasi muda yang mudah terdistraksi internet. Ia justru dengan lembut berusaha menunjukkan keterikatan yang berakar pada problem kehidupan muda-mudi hari ini: pencarian jati diri, keinginan untuk eksis, algoritma yang mengganggu, sementara beban sekolah terkadang tak memikirkan kebutuhan ruang-ruang refleksi itu. “Piksel dan Paradoks” seperti pertunjukan sebelumnya, lagi-lagi menekankan jeda sebagai kebutuhan sebelum kembali melangkah jauh. Tubuh perlu berhenti sejenak agar bisa terus bergerak maju tanpa kehilangan dirinya.

 

Melangkah pada pertunjukan berikutnya, saya dengan tidak sengaja melewatkan pertunjukan “Under 5” karya Hendri Setiawan dengan judul “BOOM”. Ketika mengantre menuju ruang teater, saya kira teater memang belum dibuka. Setelah pertunjukan selesai hari itu, baru saya sadari bahwa antrean panjang tersebut disebabkan pertunjukan kejutan yang dihadirkan di depan pintu teater. Meski begitu, lewat potongan story Instagram dan tambahan cerita dari Kak Lintang, saya ingin tetap mencoba sedikit merangkai dan membaca pertunjukan ini.

 

Dari potongan-potongan video dan foto, saya melihat Hendra Setiawan menulis di pintu teater menggunakan kapur. Guratan-guratan itu tercipta dari tangan yang menghentak. Seiring waktu, intensitasnya semakin tinggi.

 

Ada satu guratan yang paling jelas: “6-08-1945”. Hari jatuhnya bom atom di Hiroshima, Jepang. Gumaman Hendra Setiawan dan suara kecil dari speaker mengeluarkan kata kunci yang sama. Saya bayangkan, ia sedang berusaha menceritakan lagi sejarah kelam itu lewat tubuhnya. Tubuh dalam peristiwa, yang dalam deskripsi pertunjukan, ditulis sebagai “menimbulkan keruntuhan dan kebangkitan setelahnya”.

 

Ketika akhirnya masuk ke ruang teater, “21 Menit” karya Kala Teater menyuguhkan latar sebuah pekarangan rumah sederhana: bangku, kursi, dan pot-pot tanaman. Ketiga tokoh, Poha, Nisu, dan Zore bercakap-cakap santai. Percakapan menjadi sedikit lebih pelik ketika dialog filosofis tentang harapan di lempar di tengah ketiganya. Apa itu harapan? Apakah ia selalu berorientasi pada masa depan? Seperti apa bentuk masa depan yang dianggap “cerah”?

 

Naskah yang ditulis pada masa pandemi ini memotret ketidakpastian yang menjadi keseharian masyarakat urban. Di tengah kondisi yang tidak menentu, kita tetap dipaksa melangkah mengikuti standar hidup normatif: tumbuh dewasa, bekerja, menikah, memiliki aset, dan hidup sampai tua. Namun ketika masa depan sendiri tak lagi bisa dijanjikan, untuk apa mempertahankan harapan? Untuk apa hidup lama jika akhirnya hanya menjadi beban dari ketidakpastian?

 

“Aku tak tertarik hidup sampai tua, itu merepotkan.”

“Merepotkan siapa?”

“Ya siapapun yang iba padaku!”

 

Dialog-dialog getir mewarnai pertunjukan ini. “Doping” vitamin dan doktrin spiritualitas yang memaksa kelas pekerja “tetap semangat hidup” mengundang tawa penonton. Tawa yang mungkin datang dari realita pahit yang familiar. “21 Menit” menyentil harapan-harapan semu itu: kerja keras yang tidak selalu memberi hasil dan tuntutan optimisme di saat tubuh sebetulnya ingin berhenti.

 

Pertunjukan ditutup dengan absurditas tak kalah menggelitik, saat seorang karakter tersandung, yang lain menyahuti, “Ini mungkin klimaks teaternya!”

 

-

 

Atmosfer ruang berubah drastis saat memasuki pertunjukan terakhir hari itu. Instalasi penis dan vagina mendominasi panggung Puncak Phallus karya Lintang Dyah Paramitha. Di pojok kiri ruangan terdapat instalasi lukisan-lukisan abstrak.  Sementara di pojok kanan atribut-atribut ritual diletakkan di atas meja kecil. Wangi dupa tercium begitu penonton memasuki ruangan.

 

Tubuh Lintang tidak hadir, yang hadir adalah kisahnya, disampaikan melalui rekaman suara. Trauma diceritakan ulang kemudian dipararelkan dengan tradisi sunat Sifon suku Atoni Meto yang mengorbankan perempuan untuk disetubuhi oleh laki-laki yang baru disunat—dua pengalaman yang terpisah ruang dan budaya, terpaut jarak, tetapi menemukan resonansi kuat dalam tubuh perempuan. Cerita-cerita tentang kekerasan rumah tangga, kekerasan seksual, alienasi tubuh, ritual yang melimpahkan sakit pada perempuan, semuanya seolah saling bersahutan dan mengulurkan tangan untuk saling menguatkan.

 

Seorang narator lain memandu partisipan mengikuti langkah-langkah ritual Sifon: melempar batu, mengasah pisau, hingga mengoles cat pada tubuh dan patung-patung. Satu hal yang ditekankan oleh sang narator, keenam partisipan diminta turut “merasakan” dengan melihat instalasi dan mendengar cerita yang terus dibacakan.

 

Ritual “sungguhan” dimulai ketika karimbing dimainkan. Namun, kali ini ritual dilakukan bukan untuk melanggengkan kekerasan pada perempuan. Instalasi penis dibaringkan di sebelah seorang partisipan. Partisipan lain mengitari instalasi vagina. Merapal harapan untuk seluruh korban kekerasan yang ada.

 

Dalam berkesenian, “jarak” tampak selalu menjadi suatu hal yang harus terus dipangkas. Didekatkan. Namun, Lintang justru mengambil posisi sebaliknya dengan menghadirkan tubuh yang tak bersangkutan langsung dengan cerita di atas panggung. Terkadang, melangkah tak selalu maju ke depan. Kadang ia bisa jadi sebuah sikap untuk mundur dan mengambil jarak. Dalam hal ini, trauma sebagai dasar pertunjukan diperlakukan dengan etika perawatan yang lebih mendahulukan tubuh yang trauma.

 

Menonton pertunjukan ini, saya menyadari bahwa tubuh saya mungkin memilih strategi serupa. Ketika panggung mencoba menenggelamkan saya ke dalam emosi, saya secara naluriah menahan diri. Bukan karena saya menolak mengalami pertunjukannya secara utuh. Saya hanya memilih merasakan pengalaman estetika yang memberi ruang perlindungan.

 

-

 

“Today I Walked” saya rasakan sebagai oase dari riuhnya hiruk-pikuk sosial media. Saat tren itu mampir di linimasa, rasanya seperti ada pengingat untuk kembali menjejakkan langkah, touching the grass, dan menemukan keindahan dalam tempuhan jarak yang telah diusahakan hari itu. Meski realita jalanan yang saya temui mungkin tak semenyenangkan itu.

 

Pendek Festival saya rasakan menawarkan kerja kolektif yang serupa. “Melangkah” menjadi perebutan kecil dan resiliensi di setiap eksperimentasi berteater di tengah ekosistem dan tubuh para senimannya yang terus bergeliat meski dihimpit ruang, waktu, dan risiko. Gagasan yang hadir dalam delapan pertunjukan pun seolah mengatakan hal yang serupa. Bahwa setiap langkah berarti begitu pula dengan pilihan untuk berhenti sejenak.

 

Pendek Festival mencatat jejak kolektif langkah para seniman. Ia menjadi ruang jeda untuk mengilas balik dan merayakan sejauh mana para senimannya melangkah. Hari itu saya berjalan ke Pendek Festival, menemukan bahwa seni terus hidup selama ada tubuh dan kolektif yang bersedia melangkah, berhenti sejenak, lalu mencoba lagi, sedikit demi sedikit.


*Penulis adalah akademisi di jurusan Sastra Indonesia, FIB Universitas Indonesia

Ads