Ngangkek Kayu Terendam, Pertunjukan yang (Sayangnya) Gagal Menjadi Teater -->
close
Pojok Seni
18 December 2025, 12/18/2025 05:22:00 PM WIB
Terbaru 2025-12-18T11:34:26Z
teaterUlasan

Ngangkek Kayu Terendam, Pertunjukan yang (Sayangnya) Gagal Menjadi Teater

Advertisement
Pasca pertunjukan Ngangkek Kayu Terendam


Oleh: Adhyra Irianto


Secara prinsip, baik filsuf maupun ilmuwan nyaris sepakat dengan pernyataan ini "ontologis lebih dulu dari epistemologis". Meski kita harus mengecualikan pendapat para filsuf pascamodern yang mencairkan "mana yang lebih dulu" dari ontologis dan epistemologis. Jauh sebelum pascastruktural, Immanuel Kant juga secara tersirat lebih meyakini epistemologis bisa lebih dulu sebelum ontologis. Dia bilang, ontologi hanya bisa dipikirkan setelah kita memahami batas-batas pengetahuan.


Meski bukan kebenaran universal, namun dalam konteks praktik teater, prinsip ontologis lebih dulu daripada epistemologis adalah yang lebih sering digunakan. Yah, paragraf pembuka di atas hanya untuk menekankan satu kalimat pembuka ini, "mengerti apa itu monolog lebih dulu daripada bagaimana menampilkan monolog".


Rasanya di Pojok Seni saja, artikel yang membahas apa itu monolog (sebagai sebuah pertanyaan ontologi praktik) sudah sangat sering dituliskan. Mengerti apa itu monolog, tentu bukan cuma bisa menghafal, tahu definisi monolog, dan tahu teknik vokal tertentu. Pertanyaan mendasarnya adalah "apa yang sedang dihadirkan dalam bentuk keber-ada-an tertentu di panggung, sehingga bisa disebut monolog?"


Pertanyaan tentang metode latihan apa yang digunakan, pendekatan metode keaktoran seperti apa, teori apa yang digunakan, dan sebagainya itu muncul setelah itu. Karena pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan epistemologis. Ontologi yang keliru, akan menghasilkan epistemologi yang keliru. Ketika mengira monolog adalah dialog sendirian, maka yang hadir adalah aktor seakan akan menunggu reaksi imajiner untuk ber-aksi (act), ritme dialog menjadi tampak dipaksakan, dan yang fatal adalah semuanya menjadi klise. Energi panggung pun menjadi klise.


Intinya adalah, epistemologi monolog baru bisa punya makna tertentu, apabila didahului oleh klarifikasi ontologis tentang "apa itu monolog". Ketika ontologis tentang "monolog" tepat (dalam konteks seni teater), maka secara epistemologis pun jadi tepat. Karena, seni bekerja di level ontologis (untuk klasifikasi cara ber-'ada'), baru setelahnya, hasilnya akan mengganggu dan membatasi cara kita mengetahui dan melakukan sesuatu.


Monolog dalam konteks sejarah teater, awalnya adalah sebuah perangkat dramatik, bukan pertunjukan yang otonom. Dalam Poetika, Aristoteles menyebut aksi (act) hanya bisa terjadi lewat relasi antar tokoh. Maka monolog adalah "pelayan" bagi sebuah aksi (act). Era Shakespeare, lewat solilokui terkenal "To be or not to be", Shakespeare memberikan otonomi dan anatomi pada suara batin tokoh. Ini menjadi benih pemikiran bahwa satu suara (bahkan suara batin) bisa mengubah dan menopang dunia dramatik. 


Abad ke-19, Strindberg membuka jalan teater sebagai arus kesadaran, bahkan konflik utama muncul lewat sebuah monolog. Dialog justru jadi pemicu saja. Sampai sutradara dan penulis naskah yang selalu dikaitkan dengan "simbolisme Rusia" yakni Nikolai Evreinov mulai serius dengan drama seorang diri (kemudian di era itu disebut monodrama) dengan tujuan melihat panggung sebagai ruang batin subjektif, serta melihat dari dunia dari satu perspektif dan kesadaran. Evreinov meyakinkan dunia, bahwa satu subjek bisa menjadi satu semesta dramatik yang meyakinkan.


Meski tidak secara langsung, Evreinov membuka jalan bagi Artaud yang menjadikan tubuh sebagai monolog eksistensial. Pertunjukan adalah peristiwa kehadiran, bukan lagi tuturan teks berkepanjangan. Dilengkapi pula dengan Beckett yang menulis sejumlah nomor monolog seperti Rekaman Terakhir Krapp, Sepotong Monolog, Bukan Saya, Rockaby, dan seterusnya. Baru, legitimasi monolog sebagai sebuah pertunjukan otonom ada di Dictionary of the Theatre yang disusun oleh Patrice Pavis.


Pernyataan pembuka saya di atas, anggap saja sebagai bridging menuju pembahasan terperinci tentang monolog bertajuk Sublimasi Ngangkek Kayu Terendam yang dipentaskan oleh Nadi Hariyansah di Taman Budaya Provinsi Bengkulu, Selasa (16/12/2025). Pertunjukan ini didanai oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VII Bengkulu-Lampung dalam program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan. 


Pertunjukan inilah yang menurut saya, kurang berhasil mewujudkan sebuah pertunjukan monolog secara ontologis, malah justru mengarah ke "pidato performatif". 


Sinopsis cerita


Set dekorasi menggambarkan sebuah taman kota, dengan pepohonan dan sebuah kursi taman. Ada sebuah rumah dengan bunga Rafflesia di ujung kiri belakang panggung. Dua lampu fresnel mengarah ke area permainan, sedangkan lampu warna mengarah ke setiap pepohonan. Pertunjukan dimulai dengan alunan seruling dan musik perkusi dengan tempo cepat.


Ada seorang tokoh yang tidak terdefinisikan siapa, dan entah kenapa, tertidur di kursi taman. Diawali dengan kehadiran tiga orang penari, lalu tokoh itu terbangun. Melihat konsep pertunjukan ini adalah monolog, bisa disimpulkan bahwa ketiga penari itu adalah bagian dari visual atau dekorasi panggung. Kemudian, tokoh itu berpidato seolah-olah budaya kita sudah maju, dan didukung penuh oleh negara. Lalu, ia terbangun sekali lagi, dan menyadari bahwa ia dari tadi hanya bermimpi. Kemudian, si tokoh berharap ada pemajuan kebudayaan yang lebih serius. Salah satunya, ia berharap ada Dinas Kebudayaan berdiri di provinsi Bengkulu. Karena itu adalah cara, yang menurut tokoh, bisa memajukan kebudayaan dan para pelaku seni di provinsi tersebut. Tidak lupa, si tokoh membaca puisi yang berisi rasa kecewanya pada pemajuan kebudayaan di provinsi ini.


Premis pertunjukan ini adalah, Pemajuan kebudayaan yang dilakukan oleh daerah masih belum optimal. Perlu tindakan yang lebih serius, misalnya dengan pendirian Dinas Kebudayaan. Meski premis itu masih menyisahkan pertanyaan, siapa ASN yang akan mengisi dinas tersebut? Bagaimana agar tupoksi mereka tidak tumpang tindih dengan BPK Wilayah VII? Apa prosedur pemajuan kebudayaan yang tepat dengan lokalitas Bengkulu? dan sebagainya. Tapi, yah... ini adalah pertanyaan yang hadir pasca pertunjukan. Sedangkan peristiwa teater semestinya menghadirkan dialektika saat pertunjukan itu berlangsung (here and now).

 

Ulasan Monolog Sublimasi Ngangkek Kayu Terendam


Kembali ke awal paragraf pembuka tulisan ini, yang berisi pernyataan ontologis mendahului epistemologis, ditutup dengan sejarah monolog. Yah, analoginya seperti melihat kaca spion. Sebelum Anda ingin melaju, belok, atau mungkin berhenti, coba lihat dulu ke belakang lewat kaca spion. Melihat monolog secara historis, adalah cara yang aman dan tepat untuk memutuskan membuat sebuah pertunjukan monolog.


Secara ontologis, dalam bahasa yang lebih simpel kita bisa menyebut monolog adalah pertunjukan sendirian yang memiliki otonomi dramatik. Dengan demikian, ia tidak bergantung pada teks dari orang lain, dialog yang hilang balasan, serta mampu menghadirkan konflik, ritme, hingga relasi sendiri. Tanpa otonomi dramatik, maka ia menjadi monolog yang "lemah" meski dimainkan oleh aktor teater terkuat sekalipun. 


Meminjam terminologi Hans-thies Lehmann, monolog adalah "situasi kehadiran", bukan penyampai pesan. Itu cara membedakan monolog dengan pidato, storytelling, ceramah, dan setipenya. Tuturan dalam monolog juga mesti menciptakan ketegangan "here and now" (di sini dan saat ini). Bukan setelah pertunjukan selesai, baru menjadi ketegangan di diskusi pasca pertunjukan, misalnya.


Monolog Ngangkek Kayu Terendam (saya sengaja menghilangkan kata 'sublimasi' di depannya, akan saya jabarkan di tulisan ini bagian selanjutnya) bagi saya adalah "curhat" (kalau bukan disebut racauan) yang repetitif, namun tanpa eskalasi. Jadi, seandainya pertunjukan itu berhenti di tengah, maka penonton sudah tahu bagaimana ceritanya tanpa ada yang hilang atau gagal paham. Atau, seorang penonton pulang di tengah pertunjukan, juga tidak akan merasakan ada yang hilang dari pertunjukan tersebut. Hal ini menjadikan energi dari performer hanya mengambang di dalam panggung, tidak keluar ke para spektator  (saya tidak menyebut aktor, karena pertunjukan ini menurut saya masih gagal menjadi teater).


Struktur pertunjukan juga tidak dibangun dan direncanakan dengan baik. Kalaupun mungkin ada usaha untuk membangun struktur, hasilnya juga tidak presisi. Tidak harus naratif untuk membangun pondasi paling dasar: awal - aksi naik - konflik - aksi turun - akhir (atau kita simpelkan dengan awal - pergeseran - akhir). Struktur tersebut bisa dibangun dengan ritme vokal dan tubuh. Sayangnya, dalam pertunjukan tersebut, tubuh dan vokal tidak difungsikan secara dramaturgis. Hasilnya, tubuh tidak "hadir" sebagai sebuah kesadaran, tapi hadir sebagai dekorasi panggung. 


Cara paling gampang untuk mengetahui itu, tanyakan pada penonton, "siapa tokoh yang sedang dimainkan di atas panggung?", "apa cerita yang sedang berjalan di atas panggung?", "apa konflik utamanya?", "apa penyelesaiannya?" dan seterusnya. Kalau penonton juga tidak bisa menjawab, maka fix tubuh tersebut hadir sebagai dekorasi panggung.


Pertanyaan tersebut cukup menarik untuk ditelisik lebih lanjut. Saya mencoba untuk menjawab sendiri pertanyaan itu di dalam hati, siapa tokoh ini? Apa ceritanya? Saya hanya menemukan ada seseorang yang menggunakan pakaian tradisional mewah (seperti untuk acara seremonial pemerintah, atau mungkin acara kawinan), tapi tertidur di "taman" atau mungkin hutan. Tapi dari salah satu teks dialognya, bisa kita sebut bahwa ia tidur di "taman"... yah setidaknya bisa dibuktikan dengan ada kursi taman yang sangat tidak mungkin ada di hutan. 


Unikny adalah, pertunjukan ini menghasilkan sebuah cerita yang lompat-lompat alias sekonyong-konyong. Sekonyong-konyong tidur, sekonyong-konyong bangun, sekonyong-konyong menari, sekonyong-konyong baca puisi.


Tapi, nanti ada yang bilang... ah,... kamu terlalu teoritis dan terlalu "Barat" melihat pertunjukan ini.


Baik, mari kita ubah perspektif melihat monolog dalam perspektif tradisi. Teater tutur baru bisa disebut sebagai pertunjukan yang baik bila ritme tuturnya menjaga ketegangan, dan bahasa menjadi sebuah tindakan kolektif. Dengan kata lain, kekuatan teater tutur bukan di volume suara (yang diperbesar dengan clip on) atau mungkin diteriakkan. Juga bukan hanya dari ekspresi aktor yang tiba-tiba marah, tiba-tiba menangis. Tapi dari daya hidup tutur itu sendiri, sehingga bisa dinikmati sebagai sebuah peristiwa.


Monolog Ngangkek Kayu Terendam Secara Tekstual


Naskah drama adalah dimensi tekstual, sedangkan pertunjukan adalah dimensi performatif. Saya akan lewatkan dulu pembahasan tentang "dimensi performatif" dan sekarang kita menuju ke teksnya. Dari teksnya, saya sudah bilang di awal pada performer (saya tidak menyebut aktor), bahwa teks ini lemah secara struktur dramatik. Meski sedikit, saya memberi saran agar teks tersebut diubah, agar memiliki konflik, ritme, dan dramatik di level teks, tidak perlu ditambah-tambahin sendiri oleh aktor.


Pertanyaan tentang teks ini adalah, "apa yang sedang diusahakan si tokoh lewat kata-kata yang ditulisnya?" Maka jawabannya tentu tidak ditemukan. Kecuali kalau pertanyaannya diubah "apa yang sedang diusahakan si seniman lewat kata-kata yang ditulisnya?" Terlihat bedanya? Yah... yang pertama adalah naskah drama, yang kedua adalah curhatan seniman.


Teks ini dibuat dengan tidak membangun sebuah konflik kesadaran. Selain tidak memiliki ritme dramaturgis, secara pikiran tokoh pun, tidak ada semacam pergeseran posisi batin, pikiran yang selalu ribut dan tidak konsisten, tarik menarik antara ideologi dengan kehendak, dan sebagainya yang biasa menjadi bahan bakar untuk membangun konflik dalam pertunjukan monolog.


Dan tidak kalah penting juga, judulnya. Tadinya, sublimasi adalah istilah untuk menyebut perubahan wujud padat menjadi gas, semacam yang terjadi pada kapur barus. Kemudian, istilah itu dipinjam ke psikologi oleh Sigmund Freud, sebagai cara ia memperkenalkan eksplorasinya tentang struktur pikiran dan perilaku manusia. Freud menyebut bahwa sublimasi adalah mekanisme pertahanan ego diri, dengan cara dialihkan ke sesuatu yang bisa diterima secara sosial.


Dorongan agresi yang terlalu tinggi, ketimbang dihabiskan dengan berkelahi di jalan, tentu akan lebih baik bila dialihkan menjadi atlet bela diri misalnya. Dorongan berkhayal yang terlalu tinggi, bisa dialihkan menjadi karya seni yang memukau. Itu adalah sublimasi dalam konteks psikologis.


Dalam konteks kesenian, istilah sublimasi mengarah ke pengolahan pengalaman, emosi, konflik, dan realitas (mentah) menjadi bentuk artistik yang memiliki nilai estetis, reflektif, dan simbolik. Karya yang "menyublim" adalah karya yang mampu mengolah perasaan senimannya menjadi ruang tafsir baru bagi pemirsanya. Mungkin kesedihan personal, menjadi sebuah kisah teater yang membuka ruang dialektika.


Maka, istilah sublimasi yang awalnya adalah perubahan bentuk dari padat menjadi cair dalam konteks sains, berubah menjadi mekanisme pertahanan ego dalam konteks psikologi, dan berubah lagi menjadi proses penciptaan makna dalam konteks kesenian. Bila dalam psikologi, keberhasilan sublimasi terletak pada reduksi konflik batin, maka dalam kesenian terlihat dari resonansi, dampak, dan ruang tafsir yang dibuka oleh sebuah karya seni. 


Sekarang, apa yang bisa Anda dapatkan dari kata "Sublimasi Ngangkek Kayu Terendam?" Kata Sublimasi sangat problematis diletakkan di awal "Ngangkek Kayu Terendam". Ngangkek Kayu Terendam, sudah memiliki makna yang cukup baik, mencoba mengambil kembali sesuatu yang berharga namun tersembunyi di bawah air (terendam). Atau, "kayu" sebagai simbol dari (mungkin) kebudayaan, itu sebenarnya masih ada alias tidak sepenuhnya hilang, tapi yah tidak tampak karena berada di bawah air. Maka usaha untuk mengangkat kembali agar kayu tersebut muncul di permukaan, adalah langkah yang tepat untuk (mungkin) memajukan kebudayaan. Setidaknya itu premis dari naskah yang ditulis oleh performer. Tapi, sublimasi? Ada potensi salah baca loh di sini... bisa jadi bahwa ada seseorang yang sedang ngangkek kayu terendam, tapi disublimkan menjadi kegiatan lain. 


Tadinya, saya merasa cukup bingung untuk memaknai apa artinya "Sublimasi Ngangkek Kayu Terendam" ini. Saya mencoba positif, mungkin ini adalah kelemahan saya sebagai pembaca. Namun, melihat konsep yang abstrak semacam sublimasi, dikaitkan dengan praktik lokal "ngangkek kayu terendam" lalu dikaitkan dalam satu logika konseptual, saya pikir kebingungan saya adalah kebingungan yang masuk akal dan sah. 


Judul boleh saja mau menggunakan istilah puitik, sains, psikologis, dan istilah dari dunia perdukunan sekalipun. Tapi, tetap harus punya satu pegangan makna. Dalam dramaturgi monolog, tentu aktor tidak akan menyebutkan kata "sublimasi" kecuali kalau ia sedang memerankan guru atau dosen yang sedang mengajarkan teori. Maka, kata sublimasi tadi tidak hidup di mana-mana, kecuali di kepala penulisnya.


Judul "Sublimasi Ngangkek Kayu Terendam" akan mendorong kita mencari makna reflektif, perubahan teoritik dari sains ke psikologi ke seni akhinya ke "ngangkek kayu terendam", dan tentunya akan memaksa kita mencari proses konseptual dari ngangkek kayu terendam hingga bisa menyublim. Sayangnya, pertunjukan dan teksnya tidak menyediakan hal tersebut secara dramatik. Mungkin, judul ini bisa cocok-cocok saja kalau pertunjukan monolognya bersifat eseistik, dan meta-teatral. Atau mungkin pertunjukan monolog konseptual-performatif (seperti pidato performatif misalnya). 


Sedikit Saran dan Solusi


Meski secara historis monolog hadir karena keterceraiberaian komunikasi dan hubungan sosial antar manusia, tapi "teater" secara konsep (khususnya di Indonesia) adalah sebuah kerja kreatif kolaboratif. Aktor butuh sutradara, sutradara butuh aktor. Keduanya juga butuh penata musik, penata lampu, penata dekorasi, penata busana, penata kostum, dan sebagainya. Semuanya saling membutuhkan, dan harus bersatu dalam satu kesatuan agar bisa menghasilkan sebuah pertunjukan yang baik.


Sayangnya, dalam hal ini, Nadi Hariyansah bekerja dalam lima jobdesk sekaligus; penulis naskah, aktor, sutradara, dramaturg, dan penata artistik. Beruntungnya, beliau menyerahkan bagian penataan musik maupun bunyi (komposer dan sound designer), koreografer, desainer set pada orang lain.


Melihat naskahnya yang lemah secara dramatik dan performatif, mungkin ke depannya, Nadi bisa melibatkan penulis naskah dalam kerja kreatifnya. Kemudian, untuk monolog, sepertinya sangat berbahaya bila Nadi tidak memosisikan diri sebagai penonton, dan asyik sendiri. Alur menjadi flat, dan pertunjukan menjadi sebuah repetisi yang tidak ada eskalasi di sana. 


Menunjuk seseorang sebagai sutradara, juga menggaet seorang dramaturg akan menjadikan pertunjukan lebih kaya diskursus, dan reflektif, serta eksperimental secara bentuk. Sehingga pertunjukan teater di Bengkulu bisa menaikkan standar artistiknya.


Saran saya, judul Ngangkek Kayu Terendam bisa menjadi pilihan tepat. Sublimasi Ngangkek Kayu Terendam justru lebih cocok sebagai judul pembacaan terhadap monolog tersebut. 


Dan, untuk memudahkan kerja seniman BPK Wilayah VII Bengkulu - Lampung bisa merekrut profesional sebagai kurator dan melakukan pendampingan pada proses penciptaan karya yang mereka danai. Juga ada yang bekerja sebagai orang yang memberi evaluasi di pasca pertunjukan. Tentu, itu menjadi proses pemajuan kebudayaan yang tepat sasaran.

Ads