Retak Etika di Tubuh Dewan Kesenian Jakarta -->
close
Pojok Seni
24 December 2025, 12/24/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-12-24T01:00:00Z
ArtikelOpini

Retak Etika di Tubuh Dewan Kesenian Jakarta

Advertisement
Caption: Wajah-wajah penuh kebahagiaan para anggota Dewan Kesenian Jakarta. Pj Gubernur Provinsi DKI Jakarta Heru Budi Hartono resmi mengukuhkan anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 2023-2026 di Balairung Balaikota DKI Jakarta, pada Jumat (22/9/2023). (foto: detik.com)

Oleh   Zackir L Makmur*


Katakanlah bahwa sesungguhnya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak awal kelahirannya tidak pernah diniatkan sebagai sekadar bangunan administratif yang mengatur jadwal, anggaran, dan program. Ia adalah ruang batin kebudayaan: sebuah majelis etik tempat kejujuran, kebebasan berekspresi, dan tanggung jawab publik saling mengikat dalam satu kesadaran kolektif. 


Di sanalah seni tidak hanya diproduksi, tetapi juga dipertanggungjawabkan. Maka setiap keputusan yang diambil DKJ —terutama yang menyentuh martabat manusia dan keanggotaan— selalu membawa beban moral yang melampaui teks peraturan. Keputusan itu bukan hanya soal sah atau tidak sah, melainkan tentang kepercayaan yang dipelihara antara lembaga, seniman, dan publik yang menitipkan harapan pada dunia kebudayaan.


Dalam bingkai itulah pengumuman resmi DKJ, bertanggal 19 Desember 2025, menjadi peristiwa yang menggugah tanda tanya. Dua nama—Jati Rekso Wibowo dari Komite Musik dan Anton Kurnia dari Komite Sastra—dinyatakan telah diberhentikan, namun dengan keterangan bahwa pemberhentian itu efektif sejak tahun 2024. Waktu seketika saja menjadi masalah etis. Mengapa keputusan yang menyangkut integritas lembaga dan individu baru disampaikan setahun kemudian? 


Dalam dunia seni, yang hidup dari kejujuran proses dan keterbukaan makna, penundaan bukanlah ruang hampa. Ia menyimpan gema, memupuk tafsir, dan perlahan menggerogoti makna “dewan” sebagai ruang perundingan yang jujur dan setara. Maka bahasa pengumuman itu sendiri terasa kering dan tertutup. Disebutkan adanya “perbuatan masing-masing dalam kasus terpisah” yang “terbukti setelah diperiksa secara internal”, namun publik tidak diajak memahami apa substansi pelanggaran tersebut. 


Rujukan pada Pergub Nomor 4 Tahun 2020, persetujuan Akademi Jakarta, serta pengetahuan Gubernur DKI Jakarta mungkin cukup secara administratif, tetapi belum tentu cukup secara etik. Dalam etika publik, prosedur tidak pernah berdiri sendiri; ia selalu membutuhkan narasi penjelas agar keadilan tidak hanya dijalankan, tetapi juga terlihat dijalankan. Tanpa narasi itu, keputusan berubah menjadi teks dingin yang kehilangan jiwa. Ketertutupan semacam ini, disadari atau tidak, membuka ruang spekulasi. 


Di kalangan seniman, beredar dugaan bahwa perkara ini berkaitan dengan uang—isu paling sensitif dalam setiap lembaga kebudayaan yang bersinggungan dengan anggaran publik. Dugaan tersebut belum tentu benar, namun ia tumbuh subur justru karena ketiadaan penjelasan. Di titik ini, masalahnya bukan lagi apakah isu itu faktual, melainkan mengapa lembaga sekelas DKJ membiarkan ruang kosong komunikasi diisi oleh prasangka. Ketika lembaga memilih diam demi menjaga wibawa, yang sering terjadi justru sebaliknya: wibawa itu terkikis oleh kecurigaan. 


Maka persoalan ini mengajak kita merenungkan kembali makna “dewan” itu sendiri. Dewan adalah majelis, tempat perbedaan diolah dengan kebijaksanaan, dan kekuasaan dibatasi oleh akuntabilitas moral. Transparansi bukanlah ancaman bagi martabat lembaga, melainkan syarat untuk merawatnya. DKJ, sebagai simbol otoritas kebudayaan Jakarta, memikul tanggung jawab lebih dari sekadar mematuhi aturan; ia bertanggung jawab menjaga kepercayaan. 


Harusnya Dikomunikasikan Segera


Waktu tidak pernah benar-benar netral dalam kehidupan lembaga. Ia bukan sekadar deret tanggal yang berlalu, melainkan medan makna tempat kekuasaan bekerja secara halus. Kapan sebuah keputusan diumumkan sering kali sama menentukan dengan apa keputusan itu sendiri. Maka ketika Dewan Kesenian Jakarta menyatakan bahwa dua anggotanya telah diberhentikan sejak tahun 2024, tetapi baru mengumumkannya kepada publik pada Desember 2025, pertanyaan pun mengemuka dengan sendirinya: apa yang sesungguhnya berlangsung dalam jeda panjang itu, dan kepentingan apa yang dijaga oleh keheningan tersebut?


Dalam tata kelola yang sehat, keputusan yang menyentuh integritas lembaga seharusnya dikomunikasikan segera setelah ia mencapai kepastian. Keterbukaan waktu adalah bagian dari keadilan prosedural. Penundaan yang berkepanjangan justru memberi kesan bahwa keputusan itu tidak berdiri di atas kejernihan moral, melainkan ditimbang dalam kalkulasi kenyamanan institusional. Di titik inilah politik waktu bekerja —ketika diam dipilih sebagai strategi untuk meredam gelombang, menghindari sorotan, atau menunggu saat yang dianggap paling aman untuk berbicara.


Bagi komunitas seni, penundaan ini bukan sekadar soal administrasi, melainkan isyarat tentang cara lembaga memandang publiknya. Keterlambatan pengumuman memunculkan dugaan bahwa krisis tidak dikelola dengan keterbukaan, tetapi dengan pengendapan. Padahal, seni hidup dari keberanian untuk menyatakan, bukan dari kecakapan menyembunyikan. Ketika lembaga memilih strategi diam, relasi dialogis antara dewan dan komunitas perlahan berubah menjadi relasi curiga yang dingin.


Ironisnya, diam dalam ruang publik kebudayaan hampir tidak pernah benar-benar sunyi. Ia justru berisik dalam bentuk bisik-bisik, tafsir, dan spekulasi yang tumbuh tanpa kendali. Publik akan mengisi ruang kosong informasi dengan imajinasinya sendiri —sering kali lebih liar, lebih tajam, dan lebih merusak daripada kenyataan yang mungkin jauh lebih sederhana. Dalam kondisi demikian, ketertutupan bukan lagi pelindung martabat lembaga, melainkan sumber erosi kepercayaan yang pelan namun pasti.


Maka politik waktu adalah cermin dari etika kekuasaan. Lembaga yang percaya diri pada integritasnya tidak takut pada keterbukaan, bahkan ketika kebenaran terasa tidak nyaman. Dewan Kesenian Jakarta, sebagai simbol otoritas kebudayaan, dihadapkan pada pilihan mendasar: menjadikan waktu sebagai alat penundaan, atau sebagai ruang kejujuran. Sebab dalam dunia seni, kepercayaan publik tidak dibangun dari keputusan yang benar semata, tetapi dari keberanian untuk menyampaikannya tepat waktu dan dengan bahasa yang jujur.


Spekulasi Tumbuh Sebagai Reaksi


Ketika Dewan Kesenian Jakarta memilih tidak menjelaskan kepada publik apa substansi kasus yang melatarbelakangi pemecatan anggotanya, ruang sunyi pun terbuka lebar. Dalam ruang itulah spekulasi tumbuh sebagai reaksi yang hampir alamiah. Sejumlah kalangan seniman menduga persoalan ini berkaitan dengan uang —entah menyangkut pengelolaan, distribusi, atau konflik kepentingan finansial lainnya. Dugaan ini penting ditempatkan secara jernih: ia bukan fakta hukum, melainkan pantulan dari minimnya transparansi. Tapi, justru karena ia bukan fakta, keberadaannya menjadi cermin yang memperlihatkan bagaimana komunikasi lembaga gagal membendung prasangka.


Persoalan utamanya bukan terletak pada benar atau tidaknya dugaan tersebut, melainkan pada pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa dugaan itu begitu mudah dipercaya? Dalam sejarah panjang lembaga kebudayaan yang bersentuhan dengan anggaran publik, uang selalu menjadi simpul paling sensitif, sekaligus paling rawan disalahpahami. 


Ketika sebuah lembaga memilih menutup perkara dengan alasan “pemeriksaan internal”, publik kerap membacanya bukan sebagai kehati-hatian etis, melainkan sebagai upaya menyelamatkan citra. Di titik ini, ketertutupan tidak lagi dibaca sebagai kebijaksanaan, tetapi sebagai pertahanan diri. Maka bahasa “internal” sering kali menjadi tembok simbolik yang memisahkan lembaga dari publiknya sendiri. 


Padahal, lembaga kebudayaan hidup bukan dari eksklusivitas, melainkan dari kepercayaan yang dibangun melalui keterbukaan. Ketika isu keuangan disembunyikan —jika memang ada— maka yang mengemuka bukanlah rasa aman, melainkan kecurigaan kolektif. Publik tidak menuntut sensasi, melainkan kejelasan etik: prinsip apa yang dilanggar, dan bagaimana lembaga memastikan bahwa pelanggaran itu tidak berulang.


Jika benar persoalan ini menyangkut uang, maka menutupinya demi menghindari rasa malu justru menjadi kesalahan lanjutan, bahkan bisa lebih serius daripada kesalahan awal itu sendiri. Sebab pada tahap tersebut, yang dipertaruhkan bukan lagi integritas individu semata, melainkan legitimasi moral DKJ sebagai pengelola kepercayaan publik. Uang mungkin dapat dipertanggungjawabkan melalui laporan, tetapi kepercayaan hanya dapat dipulihkan melalui kejujuran. Tanpa itu, lembaga akan terus dibayang-bayangi kecurigaan yang tak pernah selesai.


Seni tidak tumbuh di ruang yang penuh bisik-bisik dan intrik. Ia hidup dari keyakinan bahwa ruangnya bersih, bahwa keputusan diambil bukan untuk melindungi wajah, melainkan menjaga nilai. DKJ, sebagai simbol otoritas kebudayaan, memikul tanggung jawab untuk memastikan bahwa kepercayaan itu tidak retak oleh keheningan yang tak perlu. Sebab ketika transparansi absen, spekulasi akan mengambil alih —dan seni, yang seharusnya menjadi suara kejernihan, justru terjebak dalam kabut ketidakpastian yang diciptakan oleh diamnya lembaga sendiri.


Proses Pemeriksaan Internal


Pertanyaan yang tak bisa dihindari dalam setiap keputusan pemecatan, adalah tentang motif yang bekerja di baliknya. Apakah ia sungguh lahir dari pelanggaran etika dan aturan yang terukur, ataukah disusupi oleh kebencian personal dan konflik internal yang tak terselesaikan? 


Dalam organisasi kolektif —terlebih di ruang seni yang dihuni individu-individu dengan ego kreatif kuat— gesekan personal adalah keniscayaan. Seni tumbuh dari perbedaan tafsir, tetapi justru di situlah potensi konflik menemukan tanah suburnya. Kesadaran akan potensi konflik inilah yang semestinya membuat mekanisme kelembagaan bekerja lebih ketat dan lebih jernih. 


Proses pemeriksaan internal tidak cukup hanya adil secara niat, tetapi juga harus tampak adil di mata publik. Keadilan yang tak dapat dibaca dan dipahami akan selalu menyisakan ruang kecurigaan. Ketika hasil pemeriksaan diumumkan tanpa penjelasan substansial, publik kehilangan pijakan untuk menilai apakah keputusan tersebut murni berdasar prinsip, atau justru terkontaminasi oleh relasi personal, fraksi kekuasaan, dan tarik-menarik kepentingan di dalam tubuh lembaga.


Di titik itulah keputusan kelembagaan berisiko berubah menjadi kekuasaan simbolik. Ia sah secara prosedural, namun rapuh secara moral. Prosedur dapat dipenuhi, tanda tangan dapat lengkap, tetapi tanpa narasi akuntabilitas, keadilan kehilangan wajah manusianya. Publik tidak sedang menuntut pembongkaran konflik privat, melainkan kejelasan etik: prinsip apa yang dilanggar, dan bagaimana proses memastikan bahwa keputusan diambil tanpa prasangka personal.


Keadilan yang berlangsung sepenuhnya di ruang tertutup mudah menjelma menjadi dominasi yang senyap. Ketertutupan memberi kesan bahwa lembaga lebih sibuk menjaga harmoni internal, ketimbang menegakkan nilai yang menjadi dasar keberadaannya. Dalam konteks ini, pertanyaan tentang kebencian personal bukanlah tuduhan, melainkan alarm struktural. Ia mengingatkan bahwa setiap lembaga seni harus terus-menerus menjaga jarak antara otoritas dan afeksi, antara kewenangan formal dan perasaan subjektif yang tak terucapkan.


Integritas lembaga seni diukur bukan dari ketiadaan konflik, melainkan dari cara konflik itu diolah. Lembaga yang matang, adalah yang berani membuka prosesnya sejauh diperlukan untuk menjaga kepercayaan, tanpa mengorbankan martabat individu. Seni, pada hakikatnya, adalah latihan kejujuran. Dan lembaga seni, jika ingin tetap relevan secara moral, harus menjadikan kejujuran itu bukan hanya nilai estetis, tetapi juga prinsip kelembagaan yang hidup dan bekerja.


Berani Menjelaskan Dirinya


Kasus ini membawa kita kembali pada makna paling dasar dari kata dewan: sebuah majelis, tempat orang-orang berkumpul untuk berunding, saling menasihati, dan mengambil keputusan demi kepentingan bersama. Dewan, dalam pengertian itu, bukanlah ruang rahasia yang tertutup rapat, melainkan ruang pertanggungjawaban moral. 


Dari itu ia hidup dari dialog dan kepercayaan, bukan dari keheningan yang diselimuti prosedur. Ketika Dewan Kesenian Jakarta memilih berbicara setengah-setengah, makna dewan itu sendiri dipertaruhkan —seolah kewenangan lebih penting daripada keterbukaan.


Berbicara setengah-setengah, adalah bentuk komunikasi yang paling berisiko. Ia tidak sepenuhnya diam, tetapi juga tidak sungguh-sungguh menjelaskan. Dalam konteks pemecatan anggota, sikap ini membuat keputusan terbaca bukan sebagai upaya menjaga etika, melainkan sebagai gestur kekuasaan administratif. Dewan tampak hadir sebagai penguasa keputusan, bukan sebagai penjaga nilai. Di sinilah jarak antara prosedur dan etika melebar, dan publik dibiarkan menebak-nebak apa yang sebenarnya sedang dipertahankan.


Transparansi, tentu saja, tidak identik dengan membuka seluruh detail privat atau menyeret persoalan ke ruang sensasi. Namun transparansi menuntut penjelasan etik yang memadai: jenis pelanggaran apa yang terjadi, prinsip apa yang dilanggar, serta bagaimana lembaga memastikan bahwa proses pengambilan keputusan berlangsung adil dan bebas dari kepentingan tersembunyi. 


Tanpa kerangka penjelasan semacam itu, pengumuman pemecatan akan selalu terdengar dingin —bahkan arogan—karena ia menutup ruang dialog yang seharusnya menjadi roh sebuah dewan. Sehingga ketiadaan penjelasan bukan hanya soal komunikasi, tetapi soal kepercayaan. Dalam ekosistem kebudayaan, kepercayaan adalah modal yang paling mahal dan paling rapuh. Ia dibangun perlahan melalui konsistensi sikap dan keberanian moral, namun dapat runtuh seketika oleh kesan menutup-nutupi. Diam, penundaan, dan ketertutupan mungkin terasa aman dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang justru melemahkan legitimasi lembaga di mata komunitas seni dan publik luas.


Dari itu ke depan, DKJ dan lembaga-lembaga kesenian lainnya dihadapkan pada pilihan etis yang menentukan. Seni yang besar lahir dari keberanian untuk berkata jujur, untuk menyingkap proses, dan untuk mengakui keterbatasan. Lembaga seni yang dewasa adalah yang berani menjelaskan dirinya sendiri, bahkan ketika penjelasan itu tidak sepenuhnya nyaman. Sebab hanya dengan cara itulah makna “dewan” dapat dipulihkan—sebagai ruang bersama yang hidup, terbuka, dan layak dipercaya.***


* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads