Mimesis & Aransemen Kolintang -->
close
Pojok Seni
29 July 2025, 7/29/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-07-29T01:00:00Z
Artikel

Mimesis & Aransemen Kolintang

Advertisement
Mimesis dan aransemen kolintang


Oleh: Ambrosius M. Loho, S. Fils., M. Fil. (Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado, Pegiat Seni & Seniman Kolintang)


Tulisan ini akan mengetengahkan dua poin utama, mimesis dan aransemen kolintang. Untuk memulai jelajah poin utama di atas, penulis mengawalinya dengan pandangan Plato ttg seni, secara khusus pandangannya tentang mimesis. 


Apa itu seni menurut Plato? Pandangan Plato tentang seni terutama diungkapkan melalui dialog-dialognya, terutama dalam karya fenomenalnya "Republik". Ia sering mengkritik seni, terutama puisi dan drama, yang menurutnya dapat menyesatkan orang dan menyebarkan kebohongan. Lebih jelasnya berikut ini pandangan Plato tentang seni.


Pertama, imitasi (mimesis) : Plato berpendapat bahwa seni adalah tiruan dari realitas (mimesis). Ia membedakan antara dunia forma (esensi sejati segala sesuatu) dan dunia material. Menurutnya, seni hanyalah meniru dunia fisik, yang merupakan refleksi tidak sempurna dari forma. Dengan ini maka seni dipandang sebagai langkah yang menjauh dari kebenaran. Selanjutnya, Plato juga memandang bahwa segala sesuatu yang berbentuk seni adalah tiruan dari apa yang sudah ada, atau tepatnya tiruan dari alam.  


Kedua, kendati dia mengatakan bahwa seni atau karya seni sejatinya adalah tiruan dari alam, namun dia juga menegaskan bahwa seni memiliki fungsi filosofis. Dia menyatakan bahwa: Terlepas dari kritik terhadap seni itu, tapi seni dapat memiliki fungsi filosofis. Fungsi filosofisnya adalah tampak lewat fakta bahwa nilai dalam seni, mengarahkan sang subjek atau individu untuk merenungkan kebenaran yang lebih dalam, yang menyentuh hakikat realitas. Gagasan ini sejalan dengan keyakinannya bahwa tujuan akhir hidup adalah mencari pengetahuan dan pemahaman. 


Dari dua pandangan di atas ini, kita harus mengakui bahwa sudut pandang Plato tentang seni itu kompleks dan cenderung kritis, kendati begitu pandangannya serentak menekankan potensi yang mampu memberi inspirasi dan mendidik dalam teori seninya (Sumber: Quora).


Dalam bingkai yang melampaui pandangan Plato tentang seni ini, di Yunani Kuno, seni sangat terkait erat dengan tatanan budaya dan intelektual masyarakat di zaman itu. Bangsa Yunani berusaha menangkap proporsi tubuh manusia yang sempurna sekaligus memperjuangkan bentuk keindahan ideal, yang selaras dengan keyakinan filosofis. Demikian juga, persepsi seni di Yunani Kuno didasarkan pada pencarian kebenaran dan keindahan. Konon hal ini menjadi cita-cita yang terus bergema dan berkembang, juga karena konsep-konsep Yunani kuno ini menyoroti keabadian seni, yang menjadi pengingat bahwa pencarian pemahaman estetika dan filosofis melampaui waktu dan tak terbatas oleh waktu. Dengan demikian, seni Yunani kuno bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan pengaruh hidup yang membentuk cara kita memandang dan menciptakan seni saat ini. (sumber: Edenart).


Sejalan dengan, dalam konteks aransemen musik kolintang, Ferdinand A. Soputan dalam karyanya “Musik Kolintang & Aransemen Musik Populer” mengetengahkan bahwa: dalam meng-aransemen musik kolintang, terdapat apa yang biasa disebut sebagai aransemen standar. Aransemen standar dipahami sebagai seleksi atau adaptasi bagian-bagian komposisi, agar sesuai pertunjukan dengan suara atau instrumen yang dirancang di bagian awal. Selanjutnya, terdapat pula apa yang disebut dengan aransemen progresif yang merupakan aransemen yang mengabdi kepada progresif akor, seperti akor major 7, tetapi dalam lingkup nada dasar yang dimainkan (Sumber: Pojokseni).


Berdasarkan paparan di atas, penulis meyakini bahwa aransemen kolintang atau aransemen dalam musik kolintang pada akhirnya mengalami sebuah proses yang dinamakan Plato sebagai imitasi atau mimesis, untuk menamakannya tiruan. Jadi aransemen kolintang dalam memainkan sebuah lagu, meniru apa yang sudah ada, kendati aransemen yang sudah ada itu adalah aransemen yang baku, atau yang dikatakan tadi sebagai aransemen standar. Demikian juga, tampak jelas bahwa aransemen yang baru, dirasa tidak akan bisa ditemukan dalam garapan-garapan musik kolintang, karena sejatinya, tanpa menciptakan sebuah komposisi musik yang baru, kita tidak bisa menggolongakan sebuah permainan musik kolintang tertentu dalam sebuah pentas, adalah sesuatu yang baru. 


Oleh karena fakta ini, maka gagasan kritisnya adalah bahwa dalam garapan aransemen musik kolintang, terdapat tiruan-tiruan dari aransemen yang ada dalam berbagai musik yang telah ada sampai saat ini. Namun demikian, aransemen-aransemen itu akan menjadi sebuah pemicu bagi lahirnya aransemen-aransemen baru dalam komposisi musik kolintang. 


Akhirnya sebagai sebuah pelengkap agar aransemen musik kolintang tidak meniru-niru gaya modern atau kontemporer dalam musik kolintang, para arranger musik kolintang hingga saat ini terus berusaha untuk mempopulerkan musik kolintang itu, dengan keadaan sebagaimana mestinya saat ini, yakni menampilkan aransemen yang masih bernuansa aransemen musik modern. Hal positifnya adalah nilai penting dari aransemen yang masih merupakan tiruan yang dilakukan oleh para arranger musik kolintang itu, yakni mereka tetap mengaransemen kolintang dan sumber bunyi yang dihasilkan adalah tetap musik kolintang itu

Ads