Membicarakan Gula (dalam perspektif seni), tapi Bukan Tentang Gula, Apalagi Tom Lembong -->
close
Pojok Seni
30 July 2025, 7/30/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-07-30T01:00:00Z
SejarahUlasan

Membicarakan Gula (dalam perspektif seni), tapi Bukan Tentang Gula, Apalagi Tom Lembong

Advertisement
Lukisan berjudul Shipping Sugar karya William Clark abad ke-19
Lukisan berjudul Shipping Sugar karya William Clark abad ke-19

Lukisan ini adalah lukisan karya William Clark, seorang pelukis asal Inggris. Lukisan ini dibuat pada abad ke-19, berjudul Shipping Sugar (mengirim gula). Yah, karena aktivitas tersebut adalah pengiriman gula menuju Eropa. Awalnya, saya mengira bahwa lukisan tersebut adalah lukisan pesisir pantai Nusantara. Sebab, Semarang dulunya dikenal sebagai daerah penghasil gula, meski sialnya pabrik gula dikelola dengan sistem tanam paksa (cultuurstelsel).


Sebelumnya, disclaimer dulu yah, saya tidak mencoba menganalisis atau membicarakan tentang lukisan, dan siapa pelukisnya. Cuma, ada hal menarik di balik lukisan tersebut yang mesti dibicarakan di sini. Pertama, setting tempat di lukisan tersebut adalah Saint-Domingue, berada di bawah jajahan Prancis, dan setelah merdeka, tempat itu bernama Haiti.


Kenapa William Clark mau jauh-jauh menempuh jarak 8000 km perjalanan laut dari Inggris ke Haiti, demi mengabadikan pulau tersebut lewat lukisan? Jawabannya adalah, karena ketika abad ke-19, surga gula adalah Haiti. Gula yang ada di Eropa, 60% di antaranya berasal dari Haiti. Tapi, Prancis yang menjadi negara kaya raya karena gula Haiti. Bisa dibilang, Haiti adalah ATM-nya Prancis saat itu.


Yah, dulu gula... sekarang kelapa sawit. Haiti dulu pada abad ke-18 adalah tanah yang subur, berada di iklim tropis, dan sangat mudah menanam tebu sebagai bahan baku gula. Kurang lebih, Haiti (yang juga kepulauan itu) miriplah dengan sebuah negara yang kaya, subur, dan iklimnya ramah bernama... ehm.. Konoha kalau nggak salah.


Pokoknya dulu penanaman tebu di Haiti tidak tanggung-tanggung. Raja Prancis saat itu Louis XVI (sampai abad ke-18, Prancis masih kerajaan) memberi izin untuk membuka 8.000-an perkebunan tebu, yang masing-masing perkebunan luasnya berhektar-hektar. Yah, mungkin karena merasa tebu juga punya batang, daun, dan berakar, jadi bisa dianggap pohon juga. Mirip-mirip sama negara yang tadi, ehm... konoha kalau tidak salah. Demi alasan pertumbuhan ekonomi, ditanam tebu sebanyak-banyaknya, hutan menjadi gundul semua. Dan, yah... Prancis benar-benar kaya raya dari gula Haiti.


Bagaimana dengan sekarang? Setelah berabad-abad berlalu, tanah Haiti kehilangan magis dan kesuburannya. Tanah longsor dan badai kerap menghancurkan lahan pertanian yang juga sudah tidak menghasilkan maksimal seperti dulu. Ditambah lagi negara ini rawan gempa. Paling sialnya, korupsi di negara ini sangat tinggi. Ehm... yah mirip dengan negara yang bernama Konoha kalau nggak salah.


Hasilnya, Haiti adalah negara termiskin di benua Amerika dan nomor 10 termiskin di dunia. Belum cukup sampai di situ, politik di negara tersebut masih sangat terkait dengan sang mantan, Prancis. Ditambah, Amerika Serikat juga ikut-ikutan intervensi politik di negara malang ini.


Kalau William Clark datang lagi ke "Saint-Domingue" ini sekarang, maka pemandangan yang akan dilukisnya adalah foto di bawah ini:


Pemukiman warga miskin di Haiti
Pemukiman warga miskin di Haiti

Kondisi jalanan di pinggiran kota, di Haiti
Kondisi jalanan di pinggiran kota, di Haiti

Sisa perkebunan tebu di masa lalu, yang dulunya hutan, sekarang menjadi lahan petanian warga di Haiti
Sisa perkebunan tebu di masa lalu, yang dulunya hutan, sekarang menjadi lahan petanian warga di Haiti

Bisa kita simpulkan, bahwa negara yang mirip Haiti abad ke-18 itu (hanya saja wilayahnya jauh lebih luas) akan menjadi seperti Haiti di beberapa abad kemudian, bila hutan-hutannya terus dibuka untuk membangun perkebunan "gula abad modern" alias kelapa sawit.

Ads