Empat Tahap Perkembangan Karya Eugene Ionesco -->
close
Pojok Seni
23 January 2023, 1/23/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-01-23T01:00:00Z
Materi Teaterteater

Empat Tahap Perkembangan Karya Eugene Ionesco

Advertisement
Eugene Ionesco
Eugene Ionesco

PojokSeni.com - Eugène Ionèsco merupakan salah satu dramawan Perancis yang melakukan perubahan mendasar pada teknik penulisan naskah drama. Ia ingin membebaskan teater dari dominasi kata-kata yang sarat dengan muatan filosofis. Kata-kata ternyata sering menunjukkan ideologi-ideologi tertentu yang tidak dapat dikomunikasikan secara mudah di atas panggung pertumjukan Ketika dihadirkan di hadapan penonton. Ionèsco mengatakan bahwa sebuah karya seni seharusnya berada di luar kekuasaan ideologi. Artinya bahwa seni tidak dapat dikuasai oleh ideologi, bahkan sebaliknya karya seni mampu memperkaya dan menyuburkan ideologi. Maka karya seni mampu menjadi sumber dan landas tumpu berkembangnya ideologi dan gagasan-gagasan filosofis.  


Sebagai sutradara, Eugene Ionèsco menunjukkan kekuatan karya seni melalui penggunaan elemen-elemen teater yang dilekatkan ke dalam naskah, misalnya, suasana pertunjukan, gerak-gerik aktor, bunyi dan suara, serta simbolisasi kata-kata yang bertolak dari sesuatu yang abstrak. Bentuk drama semacam ini disebut sebagai teater anti teater  atau teater anti plot. Karya Ionèsco tersebut sering dianggap merusak konvensi seni yang sudah mapan atau seni konvensional. Pemikiran Ionèsco dipahami dengan jelas di antaranya  melalui karya-karya La Cantatrice Chauve/ Biduanita Botak (1950), Les Chaises (1951), dan Rhinocèros (1963).


Ionèsco merupakan pengarang produktif dengan lebih dari tiga puluh judul karya yang berbentuk drama, esei, dan cerita-cerita pendek.  Karya-karya Ionèsco memiliki karakteristik sebagai berikut. Pertama, pertemuan antara suasana tragis dan komik di mana pertemuan keduanya mengungkapkan kesadaran manusia bahwa sistem kekuasaan ternyata menyebabkannya tidak berdaya. Manusia menghadapi hambatan untuk mengembangkan dirinya. Keadaan tersebut dialami oleh tokoh Bèrenger dalam naskah Rhinocèros, dan tokoh kakek nenek dalam karya Les Chaises.  Kedua, peningkatan objek cerita yang membesar dan menyebar. Objek tersebut dapat berbentuk benda, bagian tubuh manusia, bahkan kata-kata. 


Peningkatan tersebut menunjukkan adanya pembatasan kehadiran manusia oleh benda-benda, dan pemusnahan kebebasan manusia yang menyebabkan manusia hidup terkekang serasa di dalam penjara. Kekuasaan kata-kata menyebabkan kata-kata menjadi klise dan manusia hidup dalam suasana rutinitas. Keadaan ini dapat disaksikan dengan bertambahnya jumlah badak dalam karya Rhinocèros, dan jumlah kursi dalam Les Chaises, serta bertambahnya korban pembunuhan dalam La Leçon. Ketiga, perubahan fisik seseorang menjadi bentuk lain yang menyebabkan perubahan pada mentalitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada mental manusia yang tidak berkembang. Perkembangan tersebut mengikuti pula perkembangan zaman. Manusia berubah menjadi binatang badak dalam Rhinocèros, dan polisi berubah menjadi seorang pembunuh bahkan menjadi istri dan ibunya sendiri dalam Victimes du Devoir.     


Teater Anti Plot Ionèsco  memiliki tiga keistimewaan, yaitu abstrak, unik, dan istimewa. Ketiganya digunakan untuk menghilangkan konsep tentang kelampauan, kemapanan, dan keakraban, yang kesemuanya itu berarti pemutusan total terhadap tradisi. Tema-tema abstrak  berguna untuk mencari kemurnian dan inti permasalahan yang terbebas dari asesoris yang menutupinya. Pencarian sifat-sifat istimewa tampak melalui penjelajahan batin dan perasaan yang mampu mengutarakan pikiran dan perasaan manusia. Melalui bahasa rasa yang muncul melalui gerak dan wujud fisik, teater menghadirkan simbol-simbol yang bergerak, dan objek yang memiliki jiwa. Pencarian peristiwa-peristiwa unik mengacu pada bentuk struktur yang berbicara tentang mimpi, kesamaran, dan visi. Pengembaraan mimpi di atas pentas melahirkan suatu bentuk komposisi puitik di mana pentas tidak memiliki kerangka bentuk yang konkret, tetapi bebas dan mengikuti “mengalirnya” imajinasi.


Empat Tahap Perkembangan Karya Ionesco


Biduanita Botak karya Eugene Ionesco
Biduanita Botak karya Eugene Ionesco

Selama dua puluh tahun, karya-karya Ionèsco mengalami empat tahap perkembangan. Tahap pertama, karya-karyanya berbentuk drama-drama pendek, penuh sindiran, lawak dan banyolan yang berfungsi menjadi pengungkap gambaran hidup manusia. Bentuk drama tersebut ditampilkan di atas panggung melalui gerak pantomim, gerak tari, dan seni suara. 


Karya yang dianggap mewakili tahapan ini di antaranya adalah Le Cantatrice Chauve (1950) yang menceritakan tentang hilangnya komunikasi antar manusia, La Leçon (1950), yang menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan seorang guru terhadap 40 orang muridnya, Jacques ou la Soumission  (1950) bercerita tentang ketidakberdayaan seseorang di hadapan kekuasaan keluarganya, Le Salon de l’Automobile (1952 tentang seseorang yang menyamakan perempuan dengan mobilnya, dan beberapa karya seperti La Jeune Fille à Marier (1953), Le Nouveau Locataire (1953), Délire à Deux (1962). 

 

Tahap kedua merupakan tahapan di mana karya simbolik yang tercipta  berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan kenyataan kehidupan masyarakat di keseharian. Karya-karya yang termasuk di dalam tahapan ini di antaranya  Les Chaises (1951) yang bercerita tentang dua orang tua berumur ratusan tahun  yang hidup di suatu pulau dan merencanakan untuk mengundang tamu. Namun tamu tidak datang, justru kursi-kursi yang bertambah banyak, sehingga mengurung mereka berdua. Victimes du Devoir (1953) bercerita tentang hilangnya kepribadiaan seseorang menjadi pribadi lain. Amedée ou Comment S’en Débarrases (1954) menceritakan tentang mayat cinta sepasang suami istri yang membesar dan mengganggu keberadaan mereka berdua. Mayat itu adalah hasil dari perbuatan mereka sendiri. Rhinocèros (1957) yaitu seseorang yang berusaha untuk tidak mengikuti teman-temannya menjadi badak, namun gagal. 


Tahap ketiga berisikan karya-karya yang berstruktur konvensional dengan Bèrenger sebagai tokoh utama. Karya tersebut adalah Tueur Sans Gages, Rhinocèros, Le Piéton de l”Air, dan Le Roi Se Meurt. Bèrenger adalah tokoh utama penentang dominasi sosial dan politik. Perbedaan tokoh Bèrenger di keempat drama tersebut terletak di akhir cerita. Bèrenger dalam Tueur Sans Gages menyerah pada keputusan keluarganya. Bèrenger dalam Le Piéton de l’Air menyerah pada kekuasaan masyarakat. Bèrenger dalam Le Roi Se Meurt menerima takdir kematiannya, sedangkan Bèrenger dalam Rhinocèros  melawan kekuasaan negara dan lingkungannya, tetapi ia menemui kegagalan. 


Tahap keempat, tercermin melalui karya Le Soif at La Faim (1966) merupakan karya yang mengungkapkan kesabaran manusia menanti kedatangan seseorang, atau menunggu terciptanya lingkungan yang baik.     


Melalui keempat tahapan perkembangan karya-karyanya, diketahui bagaimana perkembangan gagasan dan spiritual Ionèsco. Hidup merupakan cerminan dari situasi yang aneh dan absurd. Terkadang makna yang dihadirkannya terasa klise dan penuh retorika basa-basi. Manusia menghadapi situasi tersebut dengan berbagai perasaan: cinta, takut, gelisah, bahkan amarah yang terpendam dalam bawah sadar.


Kematian dalam bentuk apa saja—kematian fisik atau metafisik—adalah kenyataan yang tidak dapat dihindarkan dan manusia harus siap menerimanya. Penantian menunggu kematian menjadi situasi yang tidak pasti dan terkadang tidak menyenangkan. Manusia pun mengalami perubahan-perubahan dalam penantiannya tersebut. 

Ads