Ionesco: Bahasa yang Hancur Karena Tak Sanggup Menanggung Maknanya (I) -->
close
Pojok Seni
27 August 2019, 8/27/2019 08:25:00 PM WIB
Terbaru 2019-08-27T13:25:46Z
Artikelteater

Ionesco: Bahasa yang Hancur Karena Tak Sanggup Menanggung Maknanya (I)

Advertisement

pojokseni.com - Ionesco dikenal sebagai penulis naskah drama yang produktif, intuitif sekaligus mengandalkan spontanitas. Bagi Ionesco, spontanitas adalah unsur kreatif terpenting. Bahkan, ia tidak mendapatkan ide saat berencana sedang menulis, tapi malah mendapatkannya saat sedang tidak menulis sama sekali. Meski demikian, spontanitas tersebut menuntut sebuah proses yang kognitif, dan eksploratif agar dapat menyingkap imajinasi dengan baik, beserta lapisan realitas psikologis di dalamnya. Ionesco menyebutnya dengan spontanitas visi kreatif.

Meski mengandalkan spontanitas, tapi Ionesco justru tidak pernah mengabaikan aspek formal penulisan naskah. Hal itu, menurutnya, karena sebagaimana penari balet yang sudah mahir menari, maka ketika mendengarkan musik, ia bisa saja menari lagi secara spontan.

Kalau dianalogikan ke kondisi saat ini, persis sebagaimana Anda mengendarai sepeda motor, bagi yang sudah ahli. Anda tidak merasa telah tahu di luar kepala semua "teori" mengendarai motor, seperti di mana rem, kapan waktunya menekan kopling, kapan waktunya lampu sign, kapan waktunya menekan klakson, kapan waktunya pindah gigi, dan lain sebagainya. Karena tanpa sadar Anda sudah mengulanginya berjam-jam dalam sehari, berhari-hari dalam seminggu, setiap saat dan setiap waktu. Lalu, tanpa harus mengingat lagi teori-teori dasar tersebut, Anda tinggal ambil kunci dan mengendarai motor ke manapun Anda ingin pergi.

Seperti itu juga Ionesco, dengan spontanitasnya. Ia sudah dianggap maestro dalam hal menulis naskah, sehingga ketika ide atau imajinasi itu muncul, ia langsung saja secara spontan menulis naskah-naskah yang kemudian menjadi mahakarya, seperti Kursi-Kursi, Kereta Kencana, Biduanita Botak dan lain-lain.

Ionesco membenci "klise" dan mencoba menghentikan klise sekaligus tradisionalisme picik dalam naskah drama. Menurutnya, seorang dramawan harus kembali menemukan sebuah tradisi yang hidup dan sejati. Karena itu, lewat metodenya, ia mencoba untuk menemukan apa itu yang dia sebut sebagai "mekanisme teater dalam keadaan yang paling murni". Ada beberapa prinsip yang dia gunakan, seperti prinsip akselerasi, assimil, dan sebagainya.

Eugene Ionesco

Ionesco menambahkan, bahwa intensifikasi, akumulasi, progresi dalam naskah drama tidak boleh dikacaukan atau dicampurbaurkan dengan usaha seorang pendongeng untuk mencapai sebuah klimkas. Bagi Ionesco, naskah dongeng yang tersusun rapi sangat tidak bisa diterima.

Progresi yang dihadirkan Ionesco tidak (selalu) melalui teks. Baginya, teks hanya sebuah pengantar alasan untuk memerankan satu peran, dari komikal sampai ke puncak yang progresif. Dengan kata lain, teks hanyalah sebuah alat, suatu alasan atas intensifikasi.

Upaya Ionesco menjadikan bahasa tereduksi kegunaan dan fungsinya. Bisa dikatakan fungsi bahasa dalam teks-teks Ionesco menjadi lebih kecil. Ionesco menolak bahasa dalam teater hanya sebagai "dialog, kata-kata dalam perseteruan, konflik dan sebagainya." Bahasa, menurut Ionesco, hanyalah salah satu dari beberapa instrumen yang dimiliki naskah. Bahasa juga bisa dibawa ke arah paroksisme, sehingga bisa saja meledak atau hancur lebur karena tak mampu "menanggung maknanya". (ai/pojokseni.com)

Ads