Sekilas Tentang Tata Cahaya Seni Pertunjukan di Indonesia -->
close
Adhyra Irianto
04 September 2021, 9/04/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-09-04T00:00:00Z
BeritaSeniUlasan

Sekilas Tentang Tata Cahaya Seni Pertunjukan di Indonesia

Advertisement
Tata cahaya seni pertunjukan



PojokSeni.com - Tata cahaya adalah istilah yang digunakan secara umum di seni pertunjukan Indonesia, merujuk pada istilah lighting design dari Bahasa Inggris. Tata cahaya adalah bentuk, model, pola, dan konstruksi penerangan yang digunakan pada seni pertunjukan. Pencahayaan tidak hanya ditujukan untuk panggung dan pertunjukan bisa dilihat dengan jelas. Lebih dari itu, sebagaimana ditulis oleh Mark Carpenter dalam Basic Stage Lighting (1988), bahwa cahaya juga juga ditujukan untuk membantu menciptakan suasana, juga menjadi elemen komposisi.

Dengan demikian, tugas penata cahaya tentunya berbeda dengan krunya. Bila krunya memasang lampu, maka penata cahaya bertugas untuk mendesain cahaya di atas panggung sesuai keinginan pertunjukan, naskah, dan suasana yang ingin dihadirkan. Selain cahaya alam seperti pertunjukan siang hari di tempat terbuka, tentunya pencahayaan panggung di era modern adalah pencahayaan buatan.

Untuk pertunjukan tradisional di Indonesia, urusan pencahayaan ini bukanlah hal yang penting. Hal itu seperti yang ditulis oleh I Gede Oka Subagia dan RM Soedarsono dalam jurnal berjudul Fungsi Tata Cahaya Pada Seni Pertunjukan di Indonesia. Sebab, di awalnya, pertunjukan tradisional lebih mementingkan unsur ritualnya, karena berkait dengan kepercayaan nenek moyang. Jadi, unsur ritual jauh lebih dipentingkan ketimbang hiburan.

Meski demikian, penerangan akhirnya mulai digunakan ketika pertunjukan digelar malam hari. Sebelumnya, pertunjukan seperti Jaran Kepang, Jathilan, Reog (baik Reog Ponorogo maupun Reog Tulungagung) dan sebagainya kebanyakan digelar pada siang hari. Berikutnya, muncul pertunjukan Kecak di Bali yang menggunakan sistem pencahayaan di tengah panggung dan diberi nama damar kecak.

Wayang Kulit juga menggunakan pencahayaan (lampu blencong) justru untuk menghadirkan bayangan yang menjadi unsur utama dalam pertunjukan. Penggunaan blencong di wayang kulit, damar kecak di kecak, dan obor di beberapa pertunjukan yang digelar malam hari menjadi penanda penggunaan tata cahaya di seni pertunjukan Indonesia.

Namun, tidak seperti di barat, penggunaan cahaya di seni pertunjukan Indonesia justru memegang peranan penting. Bila pertunjukan di barat, lampu akan tersembunyi dan hanya cahayanya yang masuk ke panggung atau area pertunjukan. 

Damar kecak berupa obor yang digunakan untuk menerangi pertunjukan kecak
Damar kecak berupa obor yang digunakan untuk menerangi pertunjukan kecak

Tapi, dalam pertunjukan Kecak misalnya, lampu (dalam hal ini obor) justru diletakkan di tempat yang terukur tepat. Ada satu obor yang terletak di tengah arena, dan para penari kecak mengelilingi lampu tersebut. Ternyata, obor di tengah itu lebih ditujukan sebagai "poros bumi" atau aksis mundi. Kemudian, ada sekitar 15 obor lainnya yang diletakkan dalam jarak yang tepat dan posisinya bersap. Itu berarti, sebagaimana ditulis oleh Jose dan Mirriam Arguelles dalam buku Mandala (1972), "lampu" dalam pertunjukan tersebut lebih ditujukan sebagai fungsi simbolik ketimbang untuk pencahayaan panggung.

Sedangkan untuk wayang kulit, fungsi cahaya justru untuk menghadirkan bayangan. Hal itu disebabkan karena yang ditonton oleh penonton adalah bayangan itu sendiri. Dunia bayangan yang ilusif tersebut digerakkan oleh seorang Dalang, yang memiliki nilai lebih di masyarakat. Dalang tidak hanya seorang yang menggerakkan wayang dan bercerita, tapi Dalang adalah seorang guru yang menjelaskan isi kitab suci dengan gamblang sehingga dimengerti oleh para penontonnya.

Penerangan di wayang dalah lampu blencong atau mungkin diganti dengan obor namun tetap saja fungsinya sama, yakni menghadirkan bayangan. Hanya saja, lampu blencong yang menggunakan api, lebih sering digunakan, atau malah digantikan dengan obor, ketimbang diganti dengan lampu yang lebih canggih. Sebab, api yang berkobar memberikan bayangan seakan bergerak dan terkesan lebih hidup di mata penontonnya.

Lampu blencong berbahan perunggu
Lampu blencong berbahan perunggu

Jadi, jelas fungsi lampu blencong sangat berbeda dengan lampu pada seni pertunjukan modern. Lampu blencong dengan kemuraman dan gerakan nyala apinya memberikan bayangan yang ekspresif serta seakan lebih hidup. Api juga menjadi simbol Dewa Siwa yang dalam keyakinan Hindu merupakan sumber kehidupan, sekaligus kemusnahan. 

Bagaimana dengan sistem pencahayaan modern? 


Maka dengan perbedaan fungsi yang sangat siginifikan tersebut, bagaimana pengaruh penggunaan sistem pencahayaan modern dengan seni pertunjukan tradisional di Indonesia?

Tentunya, cahaya listrik yang terang benderang di arena pertunjukan wayang, juga kecak tadi misalnya akan membuat daya hadir dari Blencong dan Damar Kecak akan berkurang. Berkurang yang dimaksud adalah berkurang sebagai kekuatan estetis, maupun kekuatan magisnya. 

Berbeda dengan seni pertunjukan Indonesia yang terpengaruh oleh barat, atau bahkan berasal dari barat. Seperti Teater Bangsawan misalnya, tentunya penggunaan tata cahaya "ala barat" akan menjadikan pertunjukannya justru menjadi semakin baik.

Tapi hal berbeda didapatkan ketika seni pertunjukan tersebut bukan berasal dari Barat. Mungkin berasal dari India, Tiongkok, atau wilayah Timur lainnya. Maka sebenarnya tata cahaya sangat jauh berbeda fungsi dan polanya. 

Ads