Mengapa Selera Estetis Setiap Manusia Berbeda? Apakah Semua Evaluasi Estetis "Berhak Didengar"? -->
close
Adhyra Irianto
03 June 2021, 6/03/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-06-03T00:00:00Z
SeniUlasan

Mengapa Selera Estetis Setiap Manusia Berbeda? Apakah Semua Evaluasi Estetis "Berhak Didengar"?

Advertisement

Lukisan karya Putu Elmira (sumber: Pixabay)

Kebanyakan orang akan berpendapat bahwa seni adalah masalah selera. Bila ada yang suka dangdut, dan tidak suka rock, maka sah-sah saja. Begitu juga yang suka melukis, tapi tidak suka teater. Atau, suka komedi dan tidak suka tragedi. Tapi apakah keindahan bisa dinilai dengan selera yang sangat subjektif itu? Esai yang ditulis David Hume berjudul Of the Standard of Taste (Dari Standar Selera) menyinggung tentang selera estetis tersebut.

 

Hume menulis tentang adanya "pernyataan faktual" yang bisa dibenarkan, juga bisa disalahkan, karena bisa diuji secara empiris. Tapi, ada pula "pernyataan estetis" yang untuk membenarkan atau menyalahkannya menggunakan metode yang jauh berbeda ketimbang pernyataan faktual. Untuk lebih mengenalinya, lihat kalimat berikut ini:

 

"Ada sebuah lukisan di ruang tamu, dan lukisan itu sangat indah."

 

Pertanyaannya, apakah kalimat ini pernyataan fakta atau sebuah pernyataan estetis. Bila dikaji dengan pendekatan linguistik, rasanya tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Masalahnya terletak ketika kalimat itu akan dimasukkan ke kategori pernyataan faktual, ataukah pernyataan estetis.

 

  • "Ada sebuah lukisan di ruang tamu." > Ini adalah pernyataan faktual. Bisa dibuktikan, dan bisa diamati siapa saja.
  • "Lukisan (di ruang tamu) itu sangat indah." > Ini adalah pernyataan estetis. Untuk membuktikannya mungkin akan lebih sulit, karena lebih bersifat subjektif, privat, dan melibatkan perasaan.

 

Bila kalimat 1 bisa langsung dibuktikan kebenaran atau kesalahannya, maka kalimat dua perlu pertimbangan yang matang. Karena itu juga, Hume menuliskan dan menjelaskan secara gamblang tentang "selera estetis". Bila hanya bersandarkan pada "selera" maka satu karya yang indah di satu orang, bisa jadi jelek di orang lain. Tapi, bagaimana bisa karya William Shakespeare bisa dianggap indah setelah melewati evaluasi estetis oleh orang yang berasal dari berbagai latar budaya, tempat, dan kebiasaan berbeda? Bagaimana bisa juga karya-karya awal Rhoma Irama juga dianggap mahakarya bahkan oleh orang-orang yang tidak menggemari musik dangdut? Bagaimana pula nyaris seluruh isi bumi ini sepakat bahwa musik buatan Mozart itu sangat indah? Bagaimana pula karya-karya Sopochles dari era Yunani kuno sampai hari ini masih terus dikagumi keindahannya?

 

Kita mulai pelan-pelan, apakah yang Anda rasakan ketika pertama kali mendengarkan satu musik, atau menyaksikan sebuah pertunjukan, atau memandangi lukisan, tarian, dan objek estetis lainnya. Tentunya, karya seni dalam hal ini adalah "objek estetis" bukan sebagai "objek", yang sudah dibahas lebih dalam dalam artikel berjudul Dufrenne dan Pemisahan Tegasantara Karya Seni dan Objek Estetis.

 

Perasaan pertama yang didapatkan ketika merespon sebuah objek estetis adalah kita akan menyerap dengan pancaindra kita apapun yang ada dalam objek estetis tersebut. Kita bisa mengamati, mendengarkan, melihat, dan menyentuh, untuk akhirnya merasakan semua kualitas yang ada di dalam karya tersebut. Perasaan pertama ini kita sebut sebagai "persepsi", yang menambah pengalaman estetis kita. Di tahap berikutnya, Anda mulai akan memutuskan apakah karya seni itu baik atau tidak untuk Anda. Saat itu, Anda mulai memutuskan apakah Anda "menyukai" atau "tidak menyukai" karya tersebut. Tahap kedua ini, disebut Hume sebagai afeksi. Sebenarnya, dua tahapan ini yang membuat seseorang memutuskan untuk suka, atau tidak suka dengan satu karya seni.

 

Seringkali seseorang memutuskan untuk "tidak menyukai" satu karya seni sebelum melihatnya. Bisa jadi karena "trauma" di masa lalu. Misalnya begini, seseorang menonton sinetron di televisi swasta Indonesia, kemudian mencoba menikmatinya. Namun akhirnya, kepalanya serasa mau pecah karena kualitas akting yang jelek, cerita yang tidak jelas, dan sebagainya. Ia mencoba menonton sekali lagi sinetron yang lain dengan judul berbeda. Namun yang didapatkannya adalah hal yang sama. Karena itu, seseorang itu memutuskan untuk "tidak menyukai" apapun sinetron yang diputar di televisi. Meski mungkin ada satu yang baik secara kualitas, tapi ia sudah menentukan dan memberi "pernyataan estetis" bahkan sebelum menyaksikannya.

 

Hal itu sebenarnya keliru, meski akan sulit memaksa seseorang yang sudah "trauma" seperti itu. Tapi, lebih sulit lagi menahan adanya pernyataan estetis dari seseorang yang "miskin" pengalaman estetis. Analoginya seperti ini:

 

Ada seorang anak yang selama ini hanya makan di rumahnya, dari masakan ibunya, serta kantin sekolah. Hanya dua tempat itu saja yang menjadi "pengalaman kulinernya". Kemudian, anak itu dapat kesempatan dari sekolahnya untuk mengikuti kegiatan yang dilaksanakan di hotel bintang lima. Di hotel itu, anak tersebut makan malam di restoran di dalam hotel, yang juga restoran bintang lima. Chef di restoran tersebut adalah chef terkenal yang makanannya pernah mendapatkan penghargaan di tingkat internasional. Tapi, ketika semangkuk bubur yang dibuat chef tersebut sampai ke depan anak itu, maka anak itu berkata, "Ah, lebih enak yang dibuat ibuku, bahkan masih lebih enak bubur yang ada di kantin sekolah."

 

Pertanyaannya, kenapa anak itu bisa dengan mudah "melontarkan" pernyataan yang terkait dengan kualitas makanan? Lalu, apa landasan anak tersebut bisa menilai makanan buatan chef terkenal di restoran bintang lima sebagai makanan yang "kurang enak bila dibandingkan dengan makanan ibunya dan kantin sekolahnya"?

 

Jawabannya adalah anak tersebut sangat minim pengalaman kulinernya. Atau bisa kita katakan seperti ini, "standar selera" anak ini masih minim, karena minimnya pengalaman kuliner. Padahal, anak itu sangat suka makan? Yah, karena pengalaman kuliner berbasis pula pada ilmu pengetahuan, seberapa banyak makanan yang pernah ia coba, seberapa banyak teori masakan yang ia ketahui, seberapa banyak pula ia mempraktekannya, dan sebagainya.

 

Apa bedanya anak tersebut dengan seorang yang demam sehingga lidahnya kurang bisa merasakan dengan maksimal, apabila diberikan bubur yang sama? Yang ditemukan justru persamaan, yah sama-sama tidak bisa kita andalkan untuk mengetahui kualitas dari makanan tersebut, bukan? Kita sama-sama tidak mendapatkan informasi yang lengkap, wajar, dan bertanggungjawab dari keduanya. Baik dari anak tersebut, maupun dari orang yang demam.

 

Begitu kira-kira analoginya. Anda bisa membiarkan orang lain mendengarkan musik apa saja yang mereka ingin dengar, juga lukisan apa saja yang mereka ingin lihat, teater dan film apa saja yang mereka ingin tonton, sastra apa saja yang mereka ingin baca, dan sebagainya. Itu hak mereka. Tapi, tidak semua orang "berhak didengar" pernyataan estetisnya terhadap apa yang mereka nikmati tersebut. Ketika seseorang mengeluarkan pernyataan estetis semacam "karya ini indah", atau justru "karya ini jelek", maka setidaknya seseorang tersebut memang mampu melakukan evaluasi estetis yang bertanggungjawab. Seseorang tersebut bukan termasuk dalam "anak yang minim pengalaman" atau malah "orang yang demam" seperti yang disinggung dalam ilustrasi di atas.

 

Syarat Seseorang "Berhak Didengar" Evaluasi Estetisnya

 

Bila dalam ilustrasi di atas (tentang anak yang makan di restoran bintang lima) bisa disimpulkan bahwa evaluasi rasa dari si anak tidak "berhak didengar". Begitu juga ketika orang yang sakit, katakanlah demam, sehingga berkurang kemampuan indra pengecapnya, juga "tidak berhak didengar" evaluasi rasa terhadap makanan yang dimakannya. Anda juga "berhak" menutup telinga rapat-rapat ketika ada seseorang yang tidak pernah sekalipun minum anggur, lalu mengatakan bahwa anggur yang baru diminumnya itu "tidak enak".

 

Intinya, tidak semua orang "berhak didengar" hasil evaluasinya. Termasuk dalam hal estetika. Tidak semua evaluasi estetis "berhak didengar". Bila kembali ke bahasan sebelumnya tentang "selera", maka seperti yang ditulis David Hume, bahwa ada "standar selera" dari seseorang sebelum mampu memberikan evaluasi estetis. Hal itu berlaku untuk semua bidang. Misalnya, seorang ahli marketing memberikan evaluasi terhadap bisnis Anda. Tentunya, Anda akan mendengarkannya dengan baik, bukan? Tapi, coba kalau ahli marketing itu memberikan penilaian terhadap kesehatan ginjal Anda. Apakah Anda yakin ingin mendengarkannya dan mau percaya?

 

Syarat pertama dari seseorang agar evaluasi estetisnya "berhak didengar" adalah kepekaan imajinasinya. Ia bahkan sangat peka ketika merasakan satu karya seni dengan detail per komponen-komponennya. Syarat kedua, ia memiliki kejelian nalar. Ia juga mengkaji detail-detail per komponen untuk dianalisis berbasis ilmu pengetahuan, tujuan karya, dan sebagainya untuk mendapatkan evaluasi estetis yang tepat.

 

Syarat ketiga, ia mampu melakukan perbandingan antara karya tersebut dengan berbagai karya seni lainnya secara kualitas. Syarat keempat, ia sering melakukan latihan untuk melakukan analisis, pengkajian, dan evaluasi estetis terhadap suatu objek estetis. Jadi, bukan yang pertama kalinya.

 

Syarat kelima, ia bebas dari prasangka apapun terhadap karya maupun senimannya. Ia juga tidak terpengaruh dengan apapun pertimbangan eksternal terhadap satu karya seni. Maka ia benar-benar melihat karya seni itu dari sudut pandang estetika, tidak dari sudut pandang lain.

 

Bila seseorang yang Anda ingin dengarkan memenuhi syarat tersebut, maka menurut Hume, evaluasi estetisnya "berhak didengar". Anda akan mendapatkan informasi yang lengkap dan wajar, serta berkualitas dan bertanggung jawab dari seseorang tersebut.

 

Persepsi Estetis, Tidak Sama dengan Persepsi Indrawi dan Rasional

 

Dari awal berkali-kali disebut tentang persepsi estetis. Bahkan, terkait persepsi estetis ini juga dibahas dalam beberapa artikel sebelumnya di PojokSeni. Salah satunya artikel ini Apakah Perasaan Juga Sebentuk Pengetahuan?

 

Francis Hutcheson, seorang filsuf yang lahir di tahun 1694, menyampaikan (atau mungkin mempostulasikan) satu gagasan tentang "indra dalam" yang digunakan untuk mempersepsi sebuah karya seni, baik keindahannya, kesenangan atau kepuasan ketika menikmatinya, bahkan kebaikan-kebaikan di dalamnya. Indra dalam ini, menurut Hutcheson, membedakan keindahan (secara) estetis dengan "keindahan indrawi", juga "keindahan rasional". Jadi, kesenangan ketika menikmati karya seni, itu bukan/berbeda dengan kesenangan indrawi, juga kesenangan rasional.

 

Bila persepsi indrawi tentunya karya seni yang indah, juga mesti "indah" dalam tangkapan pancaindra. Faktanya, suatu karya seni juga belum tentu akan mendapatkan keindahan dari suatu karya yang "indah" dalam tangkapan panca indra. Selain itu, panca indra yang berfungsi secara baik dan sempurna bukan jaminan seseorang bisa menikmati keindahan suatu karya seni dengan baik. Bahkan, ada juga keindahan yang justru tidak bisa ditangkap oleh panca indra, sehingga mesti melibatkan "indra dalam".

 

Apa yang membuat persepsi estetis juga berbeda dengan persepsi rasional. Banyak hal yang memastikan hal tersebut, seperti bagaimana seseorang tiba-tiba menyukai tarian tradisional Korea, padahal dari kecil dididik dengan budaya sekelilingnya? Atau, seseorang yang berasal dari Afrika pun bisa terpana dan terpesona  ketika melihat lukisan Tiongkok padahal tak pernah dilihatnya lukisan yang seperti itu sebelumnya di lingkungan sekelilingnya. Contoh lain, ada seseorang yang patah arang, kehilangan semangat, dan mungkin berencana bunuh diri, lalu mendadak menjadi tegar dan kembali bersemangat setelah mendengarkan satu lagu. Dan masih banyak contoh lainnya yang membuktikan bahwa kesenangan merespon dan mengapresiasi sebuah karya seni justru bukan hal yang "rasional".

 

Hal itu yang membuat pengalaman dan persepsi estetis tersebut, menurut Hutcheson, harus dibedakan (bahkan dipisahkan) dari pengalaman dan persepsi yang bersifat indrawi, juga rasional. Namun, karena "dari dalam" tentunya lebih berat bernilai subjektif, ketimbang objektif. Karena itu, perdebatan tentang keindahan akan selalu muncul. Karena berdasar pada "perasaan", maka debat tersebut menjadi seperti debat kusir yang tak pernah selesai.

 

Seperti Anda mendengarkan debat antara penggemar India dengan penggemar Korea. Yah, masing-masing akan "bertempur" dengan argumen subjektif, dan tak akan pernah selesai.

 

Lalu, bagaimana bila Anda ingin mendengarkan evaluasi estetis yang bisa menjadi rujukan Anda? Itulah yang dibahas sebelumnya di awal-awal artikel ini tadi. Tidak semua evaluasi estetis dari semua orang "berhak didengar". Dengan menemukan orang yang tepat untuk menjadi rujukan Anda, dan evaluasi estetisnya "berhak didengar", maka Anda bisa menyingkirkan bermacam perdebatan "perasaan" yang tak kunjung selesai tersebut dan bisa menyusun list karya-karya apa saja yang sebaiknya Anda nikmati untuk memperkaya pengalaman estetis Anda.

Ads