Dufrenne dan Pemisahan Tegas Antara Karya Seni dengan Objek Estetis -->
close
Pojok Seni
14 December 2020, 12/14/2020 12:33:00 AM WIB
Terbaru 2020-12-13T17:33:36Z
ArtikelSeni

Dufrenne dan Pemisahan Tegas Antara Karya Seni dengan Objek Estetis

Advertisement

Lukisan Mahabrata

pojokseni.com - Karya seni adalah objek estetis, setidaknya hal itu yang diungkapkan oleh Sartre. Namun, oleh Mikel Dufrenne, fenomenolog Perancis memagari dengan tegas antara objek estetis dengan karya seni. Objek estetis, menurut dia, memiliki hubungan yang erat dengan persepsi estetis alias dengan pemirsanya.


Pemikiran Mikel Dufrene yang disarikan oleh Martin Suryajaya dalam buku Sejarah Estetika memberikan jalan tengah bagi dua kubu yang menilai karya seni sebagai subjek, dan kubu yang lain berpangkal sebagai objek. Maka perspektif yang digunakan adalah penikmat seni, bukan seniman.


Karya Seni dan Objek Estetis adalah Dua Hal yang Berbeda


Mikel Dufrenne

Dimulai dengan adanya perbedaan tegas antara karya seni dengan objek estetis. Misalnya lukisan Monalisa karya Da Vinci, yang merupakan karya seni sekaligus objek estetis. Monalisa menjadi karya seni karena ciptaan kreatif seorang seniman. Meski ia tergantung sendirian di museum namun ia tetap karya seni.


Seorang satpam penjaga museum masuk ke dalam dan melihat-lihat keadaan, kemudian tak sengaja melihat lukisan tersebut. Satpam tersebut melihat lukisan sebagai karya seni.  Sekarang, apa perbedaannya dengan objek estetis?


Sebuah karya seni menjadi objek estetis ketika ada seseorang yang menyerap, menyaksikan, mengilhami, merasakan dan mendapatkan pengalaman estetis terhadap karya tersebut. Seorang satpam yang masuk ke dalam museum dan melihat lukisan, tentunya menganggap bahwa lukisan tersebut adalah "benda berharga" yang harus dijaga. Namun, bila ia masuk dan berdiri di depan lukisan tersebut lalu mencoba mengapresiasinya, merasakan keintiman antara kesadarannya dengan karya tersebut sehingga mendapatkan pengalaman estetis tertentu, bahkan katarsis. Maka saat itu, Monalisa telah menjadi objek estetis.


Sangat kentara perbedaannya, bukan? Maka sebuah pertunjukan teater yang juga disaksikan oleh seorang penjaga keamanan yang bertugas tentunya berbeda dengan penonton yang datang masuk dengan membeli tiket dan ingin "mengikat" dirinya dalam pertunjukan itu, ingin terilhami, tercerahkan, menjadi bahagia dan sebagainya. Maka bagi penjaga keamanan, pertunjukan tersebut adalah "karya seni" sedangkan bagi penonton yang mengapresiasinya pertunjukan itu adalah "objek estetis". 


Ketika seseorang menikmati pemandangan alam ciptaan Tuhan dan merasa terilhami atau tercerahkan atau mendapatkan "sesuatu" dari apa yang dipandanginya, maka saat itu pemandangan alam juga menjadi objek estetis, meski tidak termasuk dalam kategori "karya seni". Hal itu membuktikan bahwa objek estetis memiliki cakupan yang jauh lebih besar dan luas ketimbang karya seni.


Lalu apa tujuan distingsi ini? Ternyata, untuk membedakan mana yang sebenarnya termasuk karya seni. Misalnya begini, ada seorang komposer yang menciptakan sebuah komposisi musik yang sangat indah. Namun, musik tersebut belum dimainkan, juga belum diperdengarkan, hanya tertulis di kertas berupa partiturnya saja. Apakah itu termasuk karya seni? Kalau iya, karya seni apa? Bukankah musik harus didengar, baru jadi musik?


Karena itulah distingsi ini dihadirkan oleh Mikel Dufrenne. Sumbangan besar fenomenolog yang meninggal tahun 1995 silam ini menjadikan karya yang ditulis dalam partitur tersebut sudah masuk dalam kategori "karya seni" meski belum dimainkan. Ketika dimainkan menjadi karya musik, ia juga masih menjadi karya seni. Tapi ketika ada pendengarnya yang mengapresiasi, saat itu karya musiknya menjadi objek estetis. Maka dalam hal tersebut, tulisan atau partitur lagu yang dibuatnya di kertas itu tidak bisa masuk dalam kategori objek estetis.


Objek estetis akan memiliki semacam "gravitasi" yang menarik penontonnya masuk ke dalam semesta imajinasi karya tersebut. Seseorang bisa saja marah, kesal, menangis, tertawa meski sebenarnya ia sedang baik-baik saja, karena telah terseret dalam semesta imajinasi dari objek estetis tersebut. Pengalaman menyelami karya seni tersebut disebut Dufrenne sebagai "epifani" (pengalaman yang kudus). Maka di sinilah titik pusat estetika itu.


Sebuah karya seni menurut Dufrenne, hanya sebuah objek yang biasa-biasa saja, tanpa pemirsanya. Sebuah karya seni baru akan menjadi objek estetis, apabila diapresiasi oleh pemirsanya.

Ads