Review Film Joker: Totalitas dan Sebuah Mahakarya -->
close
Pojok Seni
03 October 2019, 10/03/2019 09:08:00 AM WIB
Terbaru 2019-10-03T02:08:20Z
ArtikelUlasan

Review Film Joker: Totalitas dan Sebuah Mahakarya

Advertisement
Joaquin Phoenix sebagai Joker
pojokseni.com – Menanti film Joker, orang gila dan pembunuh berdarah dingin musuh bebuyutan Batman, maka Anda akan datang dengan ekspektasi tinggi. Trailer yang keluar sebelum film dirilis menawarkan satu hal; Joker satu ini akan mampu mengobati rasa kecewa Joker versi Suicide Squad (yang diperankan Jared Letto).

Maka, ekspektasi tinggi itu menjadi beban sendiri bagi penonton. Bagaimana bila Joker yang dimaksud tidak lebih keren dari Joker versi Heath Ledger di Dark Night? Namun, ketika menyaksikan film ini Rabu (2/10/2019), harapan itu terbayar lunas. Hampir sulit menemukan kekurangan film ini, baik dari alur, performa aktor, latar, audio, sinematografi sampai pesan sosial dari film tersebut. Tak pelak, selama dua jam lebih, kami hanya bisa terdiam dan terbius dengan segala kegilaan Joaquin Phoenix, pemeran Joker.

Film yang mendapatkan standing ovation selama 8 menit di Festival Venice 2019 ini, bahkan sangat layak diganjar penghargaan Oscar. Joaquin Phoenix juga sangat layak mendapat predikat the best actor di penghargaan tertinggi insan perfileman dunia itu. Ini tidak berlebihan, karena faktanya film ini memang sebuah mahakarya di tahun 2019 ini.

Review Film


Jangan berharap Anda akan menyaksikan film superhero (atau antihero) yang diwarnai perkelahian, pertempuran dan adegan khas superhero lainnya sepanjang film. Adegan aksi tidak mendapatkan porsi yang banyak di film ini. Bisa dikatakan, tidak ada satu adegan yang berisi pertarungan antara superhero dan antihero dalam film ini.

Anda hanya akan menyaksikan kisah hidup seorang (calon) komedian bernama Arthur Fleck (diperankan oleh Joaquin Phoenix) yang bertahan hidup di kota metropolitan nan kejam, Gotham City. Kota yang berada di bawah perlindungan Batman ini nyatanya lebih belantara ketimbang Jakarta, dan sudut kota Gotham lebih mengerikan ketimbang sudut kota lain di dunia ini. Namun, di televisi, seorang komedian bernama Murray Franklin (diperankan oleh Robert de Niro) terus membagikan kebahagiaan yang semu.

Arthur Fleck hidup bersama ibunya yang sakit di apartemen yang juga kumuh. Apartemen kumuh, kemiskinan, keadaan kota yang semrawut baru menjadi titik awal kehancuran jiwa Arthur Fleck. Lingkungan sosial yang keras, bullying, dan kebohongan, kemunafikan, zalimnya penguasa setempat, semuanya membidani kelahiran sosok mosnter di balik topeng badut, Joker. Film ini begitu gelap, tragis dan menyentuh, menjadikan Anda akan membenci sekaligus mencintai sosok Joker secara besamaan.

Peran yang "berat" itu diperankan dengan sangat baik oleh Joaquin Phoenix. Tidak ada detail yang dilewatkannya, maka bisa dikatakan bahwa Phoenix memiliki kekuatan yang sama dengan Ledger untuk memerankan Joker, sebuah inner act, sebagaimana metode akting yang diciptakan Stanislavsky (The System). Arthur Fleck yang belajar tertawa, hingga menjadi Joker yang tak pernah berhenti tertawa, dibangun dan ditenun dengan sabar oleh sutradara Todd Philips.

Cerita yang dikemas Todd Philips dibangun dengan hati-hati, detail, rapi dan kompleks. Perpindahan dari Arthur Fleck yang (sebenarnya) baik hati, penyayang terutama pada ibunya, dan ingin berbagai kebahagiaan menjadi seorang Joker yang sosiopat, psikopat, kejam dan sadis, tentunya perpindahan yang sangat signifikan, bukan? Namun, penonton bisa mengikuti perpindahan itu, karena alur yang tertata rapi.


Itulah alasan kenapa Anda akan membenci sekaligus simpati pada Joker dalam waktu bersamaan. Secara perlahan, siapa orang di balik topeng badut Joker yang kejamnya mencapai level Naudzubillah min zalik itu. Bumbu-bumbu cerita lain juga menambah "nikmat"nya sajian ini.

Dari segi sinematografi memang terkesan sederhana, namun diekseskusi dengan sangat baik. Latar yang dibuat sangat sesuai dengan penggambaran Gotham City pada ear 80-an; penuh gedung tinggi, kendaraan zaman dulu, lingkungan yang sangat kumuh dan penuh sampah.

Terakhir, Isu sosial memang menjadi pesan utama yang ingin disampaikan dalam film ini. Seolah-olah memberi tahu ke penonton  bahwa Joker lahir di mana saja. Joker tercipta karena lingkungan, keterpurukan dan kejahatan yang terjadi terus menerus menimpanya. Ketidakadilan bisa memunculkan diri Joker kapan saja dan di mana saja. Joker adalah lambang terbaik untuk dionesian, ketika semua keadaan telah menjadi terlalu teratur dan berbelit-belit.

Maka pertanyaannya, "siapa yang salah? Lingkungan atau Joker?" (its/pojokseni.com) 

Ads