Advertisement
![]() |
| Arung Wardhana Elhafifie (foto oleh: Siti Indriyani) |
Oleh Arung Wardhana Ellhafifie
Pengantar Memasuki Postmodernisme melalui “Nasi Liwet Rasa Keju”
Tulisan ini hendak merespons atau merefleksikan ulang sebagai catatan samping dari platform “kecil-kecilan”; kalau platform mau dipahami sebagai program yang direncanakan secara terus-menerus, sebagai proyek ambisius dari seseorang yang tidak terlalu jauh memiliki jejaring. Sebutlah “Nasi Liwet Rasa Keju (Ruang Perjumpaan Seni dan Nonseni)” dengan tema “Diskusi Performatif: Minum Kopi Sembari Tengok ke Belakang (Dramaturgi ke Dramaturg)” sebagai tur #5 yang digelar pada hari Minggu, 21 Desember 2025, di Kedai Bedjono, Surakarta.
Tema di atas sejujurnya bersifat personal, yang sifatnya “sembarangan” atau “serampangan”, mengingat waktu yang cukup mendesak untuk sebuah proyek ambisius bahwa di tahun depan platform ini, “Nasi Liwet Rasa Keju (Ruang Perjumpaan Seni dan Nonseni) #2”, dengan tema yang berbeda, atau dikerjakan lebih sistematis, atau sebagai keberlanjutan dari mencari latar belakang; halaman nol dari sebuah ruang perjumpaan tersebut, mungkin juga direncanakan sebagai objek penciptaan atau halaman 0,5. Dengan menyertakan tiga materi diskusi dalam scan barcode; buku Minum Kopi Sembari Tengok ke Belakang (Dramaturgi ke Dramaturg), buku Chaos: Metode Riset Artistik dan Performa yang Terus-Menerus “Kandas”, dan disertasi saya, Diskusi Performatif: Minum Kopi Sembari Tengok ke Belakang (Dramaturgi ke Dramaturg), yang kemungkinan dibaca sangat kecil, karena tak satu pun yang menyinggung hal tersebut ketika saya bawa sepenuhnya untuk mencari latar belakang; hal apa sekiranya potensial atau berguna untuk diperbincangkan, untuk dipikirkan, dan untuk dipahami, bagaimana hubungan tubuh dan Solo Raya, yang sekiranya sudah diajukan melalui caption dalam sebuah poster melalui media sosial. Apa yang sekiranya bisa dibagikan dan bisa diceritakan atau diberi maupun diterima oleh saya; khususnya yang tidak terlalu memahami Solo Raya melalui ruang perjumpaan ini, antara seni dan nonseni, yang sekiranya memiliki impresi bersama atau menjadi ingatan kolektif sebagai pendatang atau yang asli tumbuh lahir di Solo, khususnya, tanpa saya utarakan kata gelisah, resah, dan lainnya, sebab saya datang dengan posisi seni bukanlah sebagai tujuan produk, melainkan seni sebagai metode, atau cara kerja untuk melihat ke depannya yang lebih berguna, baik secara personal maupun komunal.
Hal yang luput dari saya tentang sebuah disclaimer; sebuah adanya produk seni yang menakjubkan, produk seni yang memukau, maupun produk yang ideal yang kemungkinan kecil ditemukan atau hal yang berguna dibawa pulang, atau pikiran yang brilian dan sebaiknya dianjurkan tidak perlu hadir jika menuntut kegunaan (yang sangat mungkin dituliskan dalam poster, selayaknya saya pada biasanya mengatakan karya saya yang “sampah” atau gagal atau lainnya); melainkan ruang perjumpaan ini sebagai cara metode riset artistik untuk saling memperluas pemahaman bagaimana hubungan tubuh dan Solo Raya, yang tidak benar-benar saya pahami, atau cara ini senantiasa menatap suatu istilah postmodernisme, yang sangat mungkin di dalamnya memayungi istilah medan pascaseni pada ranah metode, atau dekonstruksi sehubungan dengan cara kerja menguraikan makna berbeda, ataupun deteritorialisasi terkait perlakuan dan watak (karakteristik) yang berlangsung.
Kalau merujuk pada tulisannya Bambang Sugiharto, di mana istilah ini pada perkembangannya semakin fluid, yang bisa dimasuki dari segala macam bidang dengan tokohnya masing-masing; kalau teater mengacu pada Artaud, filsafat mengacu pada Lyotard, Derrida, Baudrillard, Vattimo, Rorty, dsb., dan bidang antropologi mengacu pada Clifford, Tyler, Marcus, atau beberapa bidang lainnya, di mana saya memahami sebagai suatu kecenderungan yang saling bertolak belakang dalam menatap logika kultural yang membawa transformasi dari segala macam aspek apa pun, dengannya ditandai leburnya sebuah batas, atau permainan antarbahasa, dari tubuh atau tindakan, atau bertabraknya bahasa satu dengan lainnya, bertabraknya peristiwa satu dengan lainnya, membatalkan semua fokus atau sistem yang jelas seperti dijumpai pada modernisme, juga cenderung memilih narasi-narasi kecil atas ketidakpercayaan terhadap yang besar; juga untuk memperkuat toleransi kita terhadap yang tidak terukur.
Kalau misalnya mengacu pada pemikiran Lyotard pada bidang filsafat, menunjuk pada segala bentuk refleksi kritis atas paradigma modern pada umumnya.
Satu hal mendasar nama platform ini, “Nasi Liwet Rasa Keju”, tidak lagi hendak menunjuk pada pemikiran modernisme, yang biasa dengan istilah metafora, atau makna dari nama platform tersebut. Melainkan bahasa yang sudah dicoba untuk saya bermain-main di antara realitas produk yang hadir. Saya coba memunculkan realitas kuliner yang bisa ditemui di pinggir jalan, juga mengacu pada hal historisnya yang menjadi makanan kesukaan kaum priyayi, yang kini juga melebur; begitu juga dengan keju, yang tentu bertolak belakang dengan rasa nasi liwet itu sendiri; sebagai ruang untuk memunculkan ragam gerakan pada konteks postmodernisme.
Dalam konteks postmodernisme, yang tentu bertolak belakang dengan modernisme, di mana dari permainan bahasa ini dibayangkan sudah selesainya tentang subjek dan “dunia objektif”, di mana keambiguan sedang dicari dalam mencari latar belakang dari pengalaman tubuh dan Solo Raya.
Kalau saya membaca Heidegger, Ricoeur, Husserl, Nietzsche, Derrida, saya sedang mencari latar belakang yang sudah disinggung setelah Muhammad Nurazhariansyah, kerap disapa Ayik Pakcik, mempresentasikan hubungan tubuh dan Solo melalui performanya di antara Fachry Matlawa dan Eti Purnama Sari hampir secara bersamaan mempresentasikan impresinya masing-masing terlepas tujuan mereka sendiri, juga disambung Muhammad Ikbal yang mempresentasikan pengalamannya juga hampir bersamaan dengan tindakan lainnya, sebagai fondasi untuk suatu pelacakan arkeologis atas medan pengalaman transendental masing-masing individu yang hidup di Solo Raya.
Oleh karena ini, sebutlah saya sebagai representasi dari seni bersama mereka untuk menyelidiki nonseni melalui beragam bidang; sastra, ilmu fisika, teknik kimia, kedokteran, ilmu kesehatan masyarakat, ilmu biologi, ilmu komunikasi, agribisnis, sosiologi, antropologi, peternakan, geomatika, dan lainnya, yang saya sering temukan sekilas dari perbincangan di Bedjono, kedai kopi tempat saya nongkrong bersama Pakcik, dalam ini didapuk sebagai produser, yang tentu saya tidak memiliki keberanian untuk mewawancarai secara langsung, dengan pilihan membuat platform kecil-kecilan di Bedjono menjadi hal yang bisa dikatakan pragmatis sebagai metode riset artistik; untuk menunjuk gagasan Husserl tentang lebenswelt; aliran yang hidup untuk direfleksikan dalam bentuk dunia yang dihayati secara konkret untuk menjadi subjektif dan objektif secara bersamaan.
Dari “Nasi Liwet Rasa Keju” dibayangkannya, dalam konteks postmodernisme, bagaimana kemudian hubungan tubuh dan Solo Raya, terkait realitas yang berlangsung memperbincangkan permainan bahasa yang terfragmentaris dalam suatu lingkungan ketegangan yang ditandai oleh menajamnya perbedaan; terkait sejumlah realitas Solo, sehubungan dengan ruang publik, perkampungan kumuh, angkutan di Solo Raya, cerita-cerita jalan raya yang tidak ramah pengendara, dengan adanya cerita membuka alat vitalnya, atau hal sebaliknya, Solo disebut kota tanpa klakson dikarenakan saking ramahnya, atau realitas kasus bunuh diri mahasiswa di Sungai Bengawan Solo dengan segala macam analisisnya, dan hal lainnya, atau rebutan raja Solo yang kini sejarahnya sudah dilupakan atau tidak dikenali secara luas, juga berkaitan dengan apa yang dimaksud Heidegger dengan eksistensi; atau bagaimana sekiranya analisis eksistensial hubungan tubuh ini agar lebih dipahami, atau bagaimana bahasa yang lain dipahami, seperti Gadamer bilang, untuk menunjukkan cara keberadaan kita di muka bumi ini.
Yang dibayangkannya oleh saya melalui permainan bahasa bukanlah sebuah produk, bagaimana memperbincangkan filsafat Gadamer, atau bidang sosiologi, etnografi, dengan mempermainkan bahasa kota hingga memahami dunia dan dirinya sendiri.
![]() |
| Foto oleh: Siti Indriyani |
Kalau mau diuraikan; apakah saya paham tentang diri saya sendiri, tentu saja belum sepenuhnya paham, sebab begitu cemas, panik, dan kebingungan mesti melakukan apa dengan segala macam data jurnal ilmiah, bagan historis Solo sekadarnya, dan sejumlah video tentang isu-isu di Solo Raya atau beberapa kota lainnya yang hanya diputar sebelum presentasi dimulai (dan itu pun tidak dipertanyakan, lebih kepo pada produknya secara terus-menerus), menghadapi apa yang dibayangkannya juga sangat bertolak belakang. Postmodernisme dalam hal ini kemudian bisa memperbincangkan posisi tubuh-tubuh traumatik di Solo Raya melalui sejumlah kasus 1998, atau bagaimana Lekra cukup berjaya dulunya di Solo Raya; segalanya bisa sangat meneropong bagaimana terjadinya pola pemahaman terhadap diri kita: sudah berapa banyak buku yang dibaca tiap hari, sudah memahami apa saja melalui buku sehingga dengan mudah kita menganjurkan orang untuk berpikir sebelum bertindak, sementara kita tidak tahu gambar-gambar para pemikir sosialisme didisplay di Bedjono pada malam itu seperti Marx, Gramsci, Lenin, Tan Malaka, Mao Zedong, dan lainnya; atau berapa jenis buku apa saja yang dibaca; atau buku-buku betul-betul dibaca atau sekadar dipamerkan melalui postingan untuk memprovokasi atau agar terlihat sebagai pembaca. Lantas bagaimana memperbincangkan institusi pendidikan di Solo Raya dari segala macam aspek, yang bisa memasuki hal-hal bias lainnya; bagaimana institusi seni bekerja hari ini; apa yang bisa diceritakan atau dipantulkan pada saat pendiri kampus seni di Solo dengan istilah Geger Kepatihan; atau bagaimana Perjanjian Giyanti dilakukan; bagaimana Perjanjian Salatiga, atau lainnya seperti Perjanjian Klaten (yang tidak direspons sama sekali, lebih menuntut sebuah produk yang sama sekali bukan tujuan saya). Apakah itu bukan soal obrolan, atau memperluas wacana melalui Bedjono, yang juga berpotensi mengubah pemahaman diri kita, seperti yang diutarakan Habermas, atau soal pekerja seni itu proletar atau bukan, untuk lebih memahaminya ke depan, yang bisa diperbincangkan melalui pengalaman tubuh dan Solo Raya.
Dalam konteks postmodernisme, saya sengaja belakangan ini sering menabrakkan teks dan bahasa, sebab nyatanya memang tidak ada yang ideal dalam melihat segalanya saling bertabrakan satu dengan lainnya, juga agar tidak terbatasi oleh keadaan yang seragam; di sisi lain, dalam konteks hermeneutis, jika merujuk pada pemikiran Gadamer, tidak munculnya relativisme antarpemikiran dalam mengombinasikan bahasa atau antarparadigma, sebagaimana cara-cara dalam konteks postmodernisme dipertemukan dengan pekerja seni atau mahasiswa seni di Surakarta, yang pada umumnya berhadapan dengan petuah-petuah modernisme yang sekilas bukan obrolan mendalam dengan menelisik sejumlah bacaan. Sehingga modernisme hanya terpaku pada fokus, kejaran, capaian, dan lainnya, bukan sebuah upaya kritis dan emansipatoris, atau keterbukaan wacana, yang cenderung pada saat mengajukan pertanyaan digoreng atas perbedaan selera artistik, sementara secara luas tidak dibentuk oleh literatur yang memadai tentang sejarah, filsafat, teori kritis, teori sosiologis, teori hermeneutika tubuh, kekerasan simbolik, dan lainnya. Yang tampak akhirnya hanya dibaca secara emosional atas perbedaan selera, tanpa melihat sejauh mana tubuh yang sedang bercakap memperluas pemahaman; bukan subteks dari teks yang dilontarkan pada malam itu, sehingga hanya dilihat sebagai versus antarsuku; sebagaimana pertarungan pemahaman pada masa pra-kemerdekaan ketika isu yang berkembang adalah pemikir Sumatra vs Jawa, kerajaan satu vs kerajaan lainnya. Bagaimana itu dapat dibaca lebih jauh, kompleksitas pemikiran raja-raja Sumatra, Jawa, ataupun Sulawesi; bagaimana isu Sunda vs Jawa terkait pertempuran berdarah di Mojokerto; atau bagaimana cara baca dan penafsiran yang lebih luas dari peristiwa aslinya; bagaimana membaca permainan bahasa yang sedang dibawa ke pengetahuan tertentu ketika menghadapi peristiwa chaos; atau memberikan pantulan teori-teori chaos, selayaknya dekonstruksi menumbangkan hierarki konseptual yang menstrukturkan sebuah teks.
Lagi-lagi pada ranah modernisme, bukanlah memahami istilah postmodernisme, yang membayangkan nonseni menceritakan catatan sampingan tentang Heidegger yang dirujuk Derrida hingga Rorty, atau membayangkan bahwa saya sudah tidak lagi mengacu pada Saussure; makna sebagai bentuk atau penyimpanan dari kalimat-kalimat. Ketika saya mengatakan bahwa tidak ada Solo kalau tidak ada Madura, atau tidak ada Pakubuwana kalau Trunojoyo tidak melakukan pembalasan dendam atas kematian ayahnya yang dibunuh Amangkurat I, hal itu langsung disimpulkan dengan cepat sehingga yang tumbuh adalah perasaan emosional atas etnis, bukan melihat subteks permainan bahasa dan permainan tubuh akibat trauma, sehingga tidak memiliki peluang obrolan untuk membentuk wacana; sebab nonseni yang dibayangkan tidak hadir, yang hadir adalah pekerja seni dan mahasiswa seni di Surakarta yang sibuk dengan pemikiran modernisme. Mereka kemungkinan tidak membaca Arthur Danto ataupun Hans Belting tentang kematian seni dan berakhirnya sejarah seni, sehingga bangunan baru tidak muncul; tidak ada upaya keluar untuk memercayai asosiasi noninferensial, sehingga tidak terlihat hubungan inferensial dan noninferensial, yang retoris maupun logis, atau sistem perlawanan terkait wacana revolusioner, kesusastraan, dan puisi. Yang dikejar adalah posisi penting atau tidak penting tentang sistem perlawanan, bukan membawa pada pemahaman yang lebih luas. Sayangnya kita tidak cukup memahami buku-buku modernisme; apalagi ketika dihadapkan pada postmodernisme yang tidak lagi bicara soal komunikasi berjalan struktural atau tidak, karena di sanalah istilah ini terus kontroversial dalam segala aspek. Akhirnya saya pun tidak bisa mengembangkan ke mana pun jika produk sudah ada di kepala dan bacaan dianggap tidak berharga, padahal literatur layaknya olahraga yang mesti dilakukan setiap hari. Dari sanalah saya menemukan catatan samping dari “Nasi Liwet Rasa Keju (Ruang Perjumpaan Seni dan Nonseni)” sebagai watak deteritorialisasi, sebut saja sebagai catatan samping dari Deleuze.
Saya yang selama ini berusaha sekuat tenaga mempelajari tulisan Hans Belting ataupun Arthur Danto tentang kematian seni, yang merujuk pada pemikiran avant-gardisme melalui praktik kerjanya, berhubungan dengan neo-avant-garde ataupun trans-avant-garde, memahami bahwa mereka sangat memusuhi yang konvensional dan bertolak belakang dengan yang mainstream. Bagi saya, komentar dan argumentasi sering kali hanyalah pengulangan dari peristiwa menonton presentasi atau kehadiran dalam platform sebelumnya, juga tidak mau langsung menunjuk pada kekuatan individu, kapasitas, dan potensialitas. Yang mungkin hanyalah terjadinya tindakan terus-menerus dengan mempermainkan bahasa, karena saya masih percaya pada Spinoza: permainan bahasa ini tetap hidup dengan cara melengkung di luar diri yang tidak sepenuhnya dipahami.
Jika saya mengacu pada pertanyaan Mahendra, sutradara language theatre dari Sumenep, tentang hak kita memperbincangkan sesuatu, justru karena itu saya sedang mencari latar belakang pengalaman orang-orang untuk memahami dunia atau semesta Solo Raya dengan menerima pengalaman yang beragam, untuk menemukan esensinya. Marx bilang tentang prinsip gerak akibat dorongan, vitalitas kreatif, dan energi; bagaimana ruang merespons esensi manusia yang berjuang penuh tenaga mendapatkan objek keinginan. Sehingga tidak berhenti pada pertanyaan platform ini untuk siapa, apa keinginanmu, apa kebutuhanmu, bagaimana ceritamu, melainkan memperbincangkan produktivitas atau dipertentangkan dengan reseptivitas. Apakah kamu yang hadir malam itu tidak mau memberi pemahaman bahwa platform kecil-kecilan ini, dengan permainan bahasa antarbudaya perantau di Solo Raya, juga merupakan sebuah upaya.
Apakah ini bukan hubungan tanpa batas, di mana Marx bilang manusia hanya ingin untuk dirinya sendiri? Celah-celah bentuk yang ada juga bagian terselubung dari keinginan yang diperbincangkan Marx. Bagaimana jika kamu memperbincangkan Marx atau kedangkalan pemikiran tentang Marxisme yang dibantah Erich Fromm; atau memahami kedangkalan saya dalam memandang postmodernisme yang sibuk dengan pemikiran sendiri; atau menyiapkan buku tentang fungsi natural pengetahuan sehingga tidak bisa keluar dari apa yang dibaca. Jika kamu malas membaca, pikiranmu ditentukan oleh bagaimana kamu menuliskan teks. Padahal saya sedang meminta memperbincangkan hal produktif, dengan mengemukakan lokakarya sebagai olokan atas perbedaan ini (antara apa yang diinginkan dan dibutuhkan) dan di sanalah saya menemukan sejauh mana manusia menjadi natur lainnya.
Jika natur diperbincangkan ketika saya memasang jepitan jemuran yang ditangkap Eti, lalu membahas kerentanan jiwa atau post-traumatic growth seperti yang ditulis dalam disertasi saya yang dibagikan melalui scan barcode, maka saya juga sedang memahami diri saya sebagai manusia.
Kalau saya memosisikan diri sebagai subjek yang sedang mencari, maka yang berkumpul di Bedjono adalah objek melalui informasi untuk mencari latar belakang. Sayangnya objek itu seolah tidak ada karena sifatnya seragam. Jika mengacu pada deteritorialisasi, yang hendak ditunjuk justru ketidakseragaman dan nonhierarkis. Maka orang pinggir seperti saya tetap menghargai objek yang memosisikan diri sebagai subjek tanpa mengurai banyak hal antara tubuh dan Solo Raya. Saya sepakat dengan Marx: objek meneguhkan dan merealisasikan individualitas manusia; bagaimana objek menjadi milik manusia tergantung watak objek dan kemampuan yang cocok.
Sedari awal sudah tidak cocok, saya menghentikan diri sebagai subjek dengan mengetengahkan diri sebagai objek, mengistirahatkan semua data etnografi virtual (jika memakai cara Christine Hine), mengabaikan video tukang parkir, perubahan iklim, perkampungan kumuh, ekologi, dan data jurnal ilmiah lainnya.
Saya juga membaca karakter distingtif diri saya dari indra yang sudah tidak relevan, untuk memperpanjang pengalaman mendalami komunisme, memutar lagu Genjer-genjer untuk membawa lari ke pengetahuan lain. Saya mencari kesejatian melalui manusia lain dengan posisi berbeda. Jika sama-sama memosisikan diri sebagai subjek, saya menghentikan sejenak permainan bahasa dengan mempermainkan bahasa lain lewat bagan dari catatan Gubernur Harting maupun Mc Reclife. Secara serta-merta saya memainkan bahasa melalui relasi kuasa yang bisa dirujuk pada Foucault atau Bourdieu, yang memuat konflik antara eksistensi dan esensi, objektivikasi dan afirmasi diri, kebebasan dan keharusan, individu dan spesies. Saya kira pemantik etnosentris dan pertarungan etnis pemikiran kerap dibawa ke narasi bias, menyasar teks-teks sejarah dan komunisme, untuk menyelesaikan hubungan subjek dan objek. Kini giliran akademisi yang terkenal dalam dunia seni modernisme, bukan postmodernisme, sehingga komentar bergerak pada asumsi kuasa personal.
Cara saya bekerja mengacu pada dekonstruksi, yang tidak dilihat sebagai aktivitas bebas dan sadar atas kepemilikan intelektual maupun material. Posisi pun terbalik: saya meletakkan diri sebagai objek yang ditelanjangi melalui permainan bahasa, mengabaikan tujuan. Inilah bagian dari upaya sosialisme sebagai emansipasi dan realisasi manusia, yang tidak lagi mengarah pada keterhubungan produktif manusia dan alam. Yang tampak justru diri sebagai objek dalam modernisme, yang bertolak belakang dengan postmodernisme berwatak deteritorialisasi, sebagaimana dianut Deleuze dan Guattari.
Deteritorialisasi ala Deleuze & Guattari sebagai Watak Kerja
![]() |
| Penampilan musik di Kedai Bedjono (foto oleh: Siti Indriyani) |
Jika tuntutan pekerja seni dan mahasiswa seni di Surakarta, bahkan intelektual seni atau akademisi seni yang hadir malam itu, menganut modernisme dengan menuntut sebuah produk, kejaran, capaian, makna, hingga penyelesaian dari apa yang diperbincangkan, pada konteks teritorialisasi, atau wilayah yang semestinya terulur dan sistematis, juga hasil riset sebagai pikiran. Begitu sebaliknya, kalau saya memahami postmodernisme; meletakkan latar belakang sebagai landasan bekerja saya, bagaimana latar belakang dicari melalui perbincangan, dengan harapan obrolan yang mendalam, sebagaimana kata Habermas, sangat memungkinkan sebagai cara untuk diolah. Saya sedari awal tidak mendudukkan produk sebagaimana keagungan dalam pandangan mereka sebagai penganut modernisme, di mana Belting dan Danto sudah mengingatkan bahwa modernisme tidak bisa memiliki cara pandang radikal atau keluar dari teritori layaknya sebuah pertunjukan pada umumnya. Sementara Danto bisa sangat memandang obrolan dalam sebuah produksi wacana, layaknya diskusi performatif dan bisa menjadikan sebuah karya, karena sangat sadar watak yang saya anut dalam platform kecil-kecilan ini: deteritorialisasi; keluar dari wilayah pada umumnya atau sebagaimana mestinya.
Sederhananya, bagaimana saya coba memahami platform bukanlah sesuatu yang prestisius dan besar, tetapi bagi saya mengandung rancangan yang jelas dan berkelanjutan sebagai reproduksi pengetahuan. Saya menatap platform lebih realistis sesuai kemampuan dan keterampilan saya, bagaimana manusia coba menilik esensinya dari ketidaktahuan dan ketidakmengertian untuk menemukan suatu gagasan tentang sistem pemikiran yang kompleks, rumit, dan halus diolah secara perlahan-lahan.
Platform ini saya pahami sebagai ruang yang ingin dihidupkan semampunya; jikalau bukan teritori yang dikedepankan, kenapa mesti memegang teritori tersebut. Marx juga bilang manusia merupakan material subjektif sejarah dan menjadi materi subjek untuk memahami konvensi dari sejarah. Saya memiliki sejarah yang khas dalam mempelajari modernisme, yang juga merasa tuntutan teritori produk tidak ada gunanya bagi saya; pantas kenapa saya tidak berevolusi untuk menentukan cara kerja maupun wataknya yang berbeda pula, yaitu deteritorialisasi. Barangkali mulut mereka langsung nyinyir, karena mereka secara umum tidak pernah berhadapan dengan pemikiran Heidegger, Hegel, hingga Derrida.
Saya cenderung merasa tidak berarti pada produk yang diciptakan agar terdorong secara konstan dalam mengubah kondisi sosial secara pribadi. Justru saya merasa ketika pemikiran postmodernisme diusung sebagai akumulasi bahasa untuk dilihat ulang, baik sebagai aktualisasi diri, sarana integrasi sosial antara subjek komunikasi, dan sarana sosialisasi kebutuhan. Hal ini merujuk pada pemikiran Gadamer dan Habermas.
Permainan bahasa antarkolaborator sebagai manifestasi kebutuhan sosial mereka masing-masing, dan saya dalam melihat postmodernisme, bukan lagi pada modernisme. Di mana sebagian besar modernisme menjadi teritori yang menghegemoni, sehingga sudah diingatkan bahwa pemikiran postmodernisme tidak bisa dipaksakan memasuki teritori modernisme.
Sebagaimana konsep deteritorialisasi Deleuze & Guattari: rizoma, tubuh tanpa organ, deteritorialisasi, skizoanalisis, dan assemblage. Kalau saya mengurai agar bisa saling menghormati dan mendalami satu sama lainnya, bahwa semangat deteritorialisasi ini menegaskan seni bukanlah tujuan, melainkan metode maupun struktur berpikir atau titik tolak untuk memperoleh pengetahuan seluas-luasnya.
Sebab rizoma menurut Deleuze & Guattari tidak memiliki titik awal yang pasti atau permulaan yang jelas, karena dasarnya tidak memiliki hierarki, tanpa orde yang jelas, hanya meletakkan ide regulator dalam memahami hubungan tubuh dan realitas yang dihadapi. Rizoma sebagai akar yang menjalar ke mana-mana, tidak memiliki hierarki, didoronglah dramaturgi versus sebagai sistem operasi antarkolaborator dengan mengedepankan gagasan dalam diri, untuk melihat pengetahuan masing-masing individu sebagai representasi realitas yang betul-betul independen terhadap dirinya untuk saling dipertentangkan. Pasti pertanyaan modernisme, setelah dipertentangkan jadi apa; apa yang dilihat pada malam itu terlalu tunduk pada yang terlihat mapan. Bukanlah melihat subteks dari dalam diri manusia untuk melihat ke luar. Saya berupaya membangun cara jalar yang terus terhubung ke mana-mana melalui benang bol. Sejatinya tidak memiliki hierarki; jika kolaborator berhenti pada titik tertentu di saat terjadi diskusi, menjadi pilihan masing-masing untuk terus berdiri sendiri atas kekuatannya sendiri. Kata kunci inisiatif dari presentasi platform kecil-kecilan ini adalah membantu saya melepaskan diri dari kosakata yang sudah usang.
Dengan mengedepankan konsep rizoma ini, saya ingin membangun ke depannya kesinambungan lewat transformasi dari kumpulan latar belakang yang diperoleh dari etnografi virtual, yang tentu dilanjutkan dengan cara riset performatif lainnya di ruang publik, yang mana nonseni yang dibayangkan lebih bisa berbagi.
Dalam pemikiran modernisme, konsep rizoma semacam ini ditentang, karena latar belakang semestinya diolah oleh pengkarya terlebih dahulu, direnungkan, dibentuk, lalu ditampilkan, sementara di sini latar belakang sengaja dicari dalam sebuah presentasi sebagai bagian dari konsep rizoma ini.
Konsep lainnya, tubuh tanpa organ; jika dikatakan bahwa watak kerja saya dianggap serta-merta, kita juga mesti ingat Nietzsche: segala tatanan epistemik itu sesuatu yang dipaksakan ke dalam dunia kita melalui bahasa. Jadi saya membiarkan kolaborator yang mau terlibat untuk berbagi pengalaman melalui tubuhnya masing-masing, sekalipun di antara mereka juga tidak sepenuhnya bersepakat, karena saya juga paham sejatinya epistemik hanyalah keyakinan yang dibentuk melalui jaringan kekuasaan; sehingga organisme dilepaskan dari diri mereka masing-masing untuk menguatkan konsep deteritorialisasi, untuk mengajar dari kehendak mempresentasikan posisi tubuh atas pengalaman di Solo Raya, karena sistem pemahaman juga perlu dilepaskan dari organismenya untuk menentukan bahasa mereka.
Bahasa dari performatif mereka memungkinkan kesesuaian antara diri mereka dengan dunianya, antara diri saya, ataupun saya dan mereka melalui pertentangan. Deteritorialisasi bagi saya dalam platform ini (permainan bahasa lewat tabrakan antarteks atau antarperistiwa) bukanlah sebuah kebenaran yang mutlak, melainkan pragmatis intersubjektif, alias konsensus, untuk menyingkap makna realitas dari rumitnya pemikir modernisme, yang juga belum tentu paham atas pemikiran modern yang sudah usang, di mana pemahaman mereka cenderung merupakan kebenaran satu-satunya, yang mana pemahaman tentang kebenaran dalam postmodernisme seolah tidak pernah habis tanpa tujuan.
Layaknya sebuah konsep deteritorialisasi berikutnya, yaitu skizoanalisis, yang dilihat dari skizofrenia; bagaimana mereka memiliki bahasa juga menjadi kemelut dari postmodernisme. Bahasa bagi orang-orang skizofrenia dapat dimengerti oleh bentuk-bentuk kehidupan mereka sendiri melalui delusi dan halusinasi, atau tidak berfungsinya kemampuan kognitif mereka. Dari sini pun mereka juga sedang melihat eksistensi; maka keterbatasan bahasa tidak bisanya dilihat dari teritori bahasa yang berada di luar mereka sendiri.
Bahasa dalam konteks skizoanalisis dapat diatasi oleh mereka sendiri yang mempresentasikan pengalamannya dari sejarah mereka langsung, layaknya Gadamer dan Foucault. Bahasa yang dipresentasikan sebagai telaah sejarah mereka sendiri atas dunia nyata yang dipresentasikan di Bedjono, sejatinya untuk menelusuri paradigma berbeda, layaknya yang disebut Thomas Kuhn.
![]() |
| Suasana diskusi Nasi Liwet Rasa Keju (foto oleh: Siti Indriyani) |
Hanya saja tuntutan mereka yang berasal dari sejarah pemikiran modernisme, yang kemungkinan malam itu juga tidak mengetahui sejarah pemikiran itu sendiri, juga tidak terlalu memadai dalam melihat kerangka referensi yang berbeda, sama halnya dengan konsep assemblage yang tidak seragam. Dari konsep ini saya akhirnya memahami pemikiran modernisme dalam ruang Bedjono bukan ketidakseragaman, melainkan komentar-komentar usang yang tidak juga ada gunanya bagi saya, kalau saya menuntut kebergunaan bagi mereka. Tetapi yang bernilai adalah kehadiran tanpa mengetahui sejarah modernisme ataupun postmodernisme, menjadi assemblage paling sederhana dari “Nasi Liwet Rasa Keju (Ruang Perjumpaan Seni dan Nonseni)” sebagai kehadiran prosedural; seni yang prosedural, dikatakan, dipikirkan, dan dikomunikasikan dengan cara acak-adut, dengan cara serampangan.
Sebab assemblage dalam melihat Solo Raya bukanlah keyakinan yang total, tetapi batas internal bahasa saya yang rapuh, luruh, bingung, tidak memadai, bodoh, dan dungu dari pemahaman saya mencari latar belakang. Bagi saya, assemblage ini (ketidakmungkinan membaca yang berbeda) adalah sebuah paradigma yang ditemukan pada malam itu. Akhirnya saya sampaikan sampai ketemu di “Nasi Liwet Rasa Keju (Ruang Perjumpaan Seni dan Nonseni) #2” dengan tema yang berbeda di halaman 0,5. Hahaha.








