Advertisement
![]() |
Pertunjukan oleh Arung Wardana, Dramaturgi Chaos, (foto: Panitia Pekan Nan Tumpah) |
Oleh: Adhyra Irianto
Dalam Pekan Nan Tumpah 2025 lalu, sahabat saya dari Madura, Arung Wardhana (bernama asli Dr. Hairul Hafifi, S.Sn.,M.Sn.) menampilkan sebuah pertunjukan dengan tajuk yang cukup panjang; "Pertunjukan Chaos: Metode Riset Artistik & Autobiografi Dalam Performa yang Terus Menerus Kandas". Pertunjukan ini digelar tepat setelah pertunjukan bertajuk Kilometer 0 dari Komunitas Payung Sumatera kelar, hari kedua Pekan Nan Tumpah. Penonton yang baru saja menonton pertunjukan sebelumnya, dicegat dalam perjalanan "pulang" dengan pengumuman bahwa akan digelar latihan bersama di depan panggung B. Bukan di panggung, tapi tepat di jalur penonton bolak-balik.
Arung mempersiapkan pertunjukan ini untuk kandas. Tiga proyektor yang satu di antaranya menampilkan sebuah video musik dari penyanyi asal luar negeri, satu lagi memproyeksikan sebuah artikel ilmiah tentang depresi, satu lagi menampilkan layar depan Windows. Jelas sekali, ketiganya tidak punya keterkaitan, meski mau dipaksa-paksa. Delapan buah pelantang (microphone) dipersiapkan untuk setiap orang yang terjebak. Terjebak oleh satu kain putih dan cat, yang tadinya dipersilahkan untuk dicorat-coret. Tentu ada banyak yang mencoret kain putih itu dengan banyak tulisan, curhatan, hingga kemarahan. Sampai Arung meminta siapapun yang menulis di sana, harus menceritakan apa yang ditulis lewat pelantang. Awalnya, tidak ada yang berani maju, namun karena dipancing oleh satu dua orang, beberapa penonton (yang didesain menjadi partisipan) maju satu per satu dan mulai curhat.
Ada yang curhat tentang dosennya yang menyebalkan, ada juga bercerita tentang pernikahannya di tahun pertama yang diganggu dengan pertanyaan "kapan punya anak". Ada yang mengungkapkan keinginannya untuk memperkenalkan tatto Mentawai ke seluruh dunia. Setiap curhatan, direspon oleh Arung dengan mengantukkan kepalanya ke cermin yang digantung di dinding seng.
Lalu, seorang perempuan tiba-tiba menghentikan aksi Arung. Ia memecahkan kaca tersebut ke lantai, setelah mencoba dengan berbagai cara (yang dramatis). Lalu, delapan orang diminta maju bersama, dan satu-satu diwawancarai. Arung meminta Afrizal Malna untuk bergabung ke pertunjukan, mewawancarai satu per satu. Setiap perkataan atau jawaban dari orang-orang yang diwawancarai, direspon Arung dengan berbagai tindakan; menggosok baju, berguling sambil mengangkat kaki, meludahi direktur festival (yang dibalas Mahatma dengan semprotan cat pilox hijau di kepalanya), menempeleng saya, makan pepaya dan alpukat, serta entah apapun kegiatannya yang aneh dan "chaos" itu.
Arung juga menggunakan "kostum" dan "properti" dari apa yang kebetulan ada di sekitarnya. Mungkin hanya amplop dan sarung yang ia persiapkan. Celana dalam yang keluar dari tumpukan pakaian dari tasnya, tiba-tiba dipasangnya di kepala. Penutup kotak sampah, daun pisang, tumpukan makanan, dan entah apapun benda yang saat itu terlihat olehnya, menjadi handprop dalam pertunjukan.
Kebetulan ketika menyaksikan pertunjukan ini, saya sedang kurang sehat dan flu. Hasilnya, indra penciuman saya sedang tidak baik. Meski saya tahu, Arung menggunakan berbagai "bahan" dengan bau yang tajam dalam pertunjukan tersebut. Namun, karena kekurangan ini, saya jadi kurang awas dengan hal-hal terkait bau dan wewangian yang juga hadir dalam pertunjukan aneh ini.
Sampai di titik ini, ketika Anda membaca tulisan di atas, apa yang terbayang di kepala Anda dengan rentetan kejadian itu? Tentu tidak terbayang apa-apa, bukan? Selain hanya kekacauan yang tidak terarah?
Ternyata, itulah yang sepertinya direncanakan Arung. Ia menyebut practice as research sebagai metode riset artistiknya. Hubungan antara penciptaan karya dan "basis riset" dilakukan secara simultan, tepat ketika karya tersebut digelar. Chaos menjadi strategi, yang ditujukan untuk menghasilkan kekandasan. Arung menginginkan pencarian jati diri, lewat pemaparan autobiografinya (juga para partisipan) menjadi riset yang dilakukan saat pertunjukan digelar, yang kemudian direspon. Riset itu mungkin ditujukan untuk membaca arsip tubuhnya dan orang lain, lalu memahami setiap perasaan dan trauma.
![]() |
Arung pasca serangan balik direktur festival Pekan Nan Tumpah, yakni cat pilox ke belakang kepalanya (foto: Panitia Pekan Nan Tumpah) |
Apapun yang diterima secara aktif oleh penonton, itu adalah data hasil riset yang direspon secara langsung. Saya langsung menyadari kenapa Arung akan sulit berkolaborasi untuk pertunjukan semacam ini. Kekandasan adalah satu pencapaian yang ingin dicapai Arung. Tapi, hal itu bukannya tanpa konsekuensi.
Misalnya, Arung berencana untuk menyakiti dirinya, seperti memecahkan kaca dengan kepala, dan (katanya) masih ada rangkaian aksi "kekerasan" yang ia sebut sebagai "katarsis" dalam karyanya. Namun, rencana itu berbenturan dengan respon seorang penonton perempuan yang mengaku benci dengan tindakan menyakiti diri sendiri, dan meminta Arung untuk berjanji tidak melakukan tindakan apapun yang bisa membuat dirinya terluka. Karena dalam konsep dan strategi dramaturgi chaos ini, penonton adalah "bahan utama" untuk pertunjukan, maka mau tidak mau Arung terpaksa membatalkan semua rencana yang sudah disusunnya (yang berisi tindakan menyakiti diri sendiri).
Wawancara dengan Gen-Z yang dilakukan oleh Afrizal Malna misalnya. Pertanyaannya adalah "apa yang paling dibenci oleh generasi kalian?" Jawaban yang hadir adalah "generasi boomer yang sok tahu". Arung pun terpana dengan jawaban tak terprediksi tersebut, begitupun (mungkin) pewawancara, yang kebetulan generasi boomer.
![]() |
Wawancara Afrizal Malna dengan seorang partisipan di pertunjukan Arung. Perempuan ini juga yang menghentikan Arung untuk melakukan tindakan menyakiti diri sendiri. (foto: Panitia Pekan Nan Tumpah) |
Itu hanya dua hal yang "tidak terencana" dari banyak hal yang muncul lainnya, sehingga membuat pertunjukan ini mulai kehilangan arah. Tapi, lagi-lagi, Arung adalah orang yang menolak paradigma "sukses atau gagal" secara konvensional. Karena kekandasan adalah metode yang membuat seorang performer harus terus memutar otak dan kreatif selama pertunjukan berlangsung. Arung menyikapinya dengan tiba-tiba menggunakan ransel dan berlari membawa daun pisang berkeliling area.
Merencanakan sesuatu berarti mencoba menghindari kekandasan. Karena itu, tim dan panitia yang diminta Arung untuk mempersiapkan "properti" pentas, seperti makanan, daun pisang, kain putih, dan sebagainya, ketika mereka bertanya untuk apa semua ini dikumpulkan, Arung tidak memberi jawaban jelas. Arung juga meminta tolong pada saya pada pertunjukannya, tapi ketika saya bertanya apa yang bisa saya tolong, saya juga tidak mendapatkan jawaban yang pasti. Hasilnya, saya dan beberapa "partisipan" yang masuk dalam pertunjukan tersebut seperti Mahatma Muhammad, Afrizal Malna, Like Cuaca, dan lain-lain, juga melakukan hal-hal yang tidak begitu kami rencanakan. Tentu saja, yang paling "dramatis" adalah semprotan pilox dari Mahatma Muhammad ke kepala Arung bagian belakang. Beruntungnya, saat itu Arung sedang dalam keadaan gundul.
Pemaknaan adalah Pengalaman Personal Partisipan
![]() |
Akhir pertunjukan, Arung menutup kepalanya dengan sarung, dan pertunjukan akan terhenti apabila ia telah menabrak sesuatu. (foto: Panitia Nan Tumpah) |
Satu hal yang menarik dari pertunjukan ini adalah, setiap penonton membawa pulang pengalaman personal yang berbeda. Entah mereka menjadi penonton, partisipan, atau mungkin "pengamat". Mungkin untuk pertunjukan ini, pengamat tidak dibutuhkan. Tidak diperlukan pertanyaan ala sejarawan seni; pertunjukan ini adalah pertunjukan apa? termasuk performance art atau malah teatrikal? dan seterusnya. Juga tidak diperlukan pertanyaan ala kurator; apa makna dari pertunjukan ini? Apa signifikansi dari karya ini? Apa kebaruan dari karya ini? dan seterusnya.
Maka, kalaupun ada pertanyaan yang hadir setelah pertunjukan ini, maka pertanyaannya adalah; apakah selama ini saya sudah menjadi seseorang yang menjalani hidup saya sendiri, atau malah menjalani hidup orang lain? Apakah kegagalan yang pernah saya dapatkan, menjadi hal yang harus saya sesali, atau malah menjadikan saya terus bertumbuh menjadi saya hari ini? Dan pertanyaan lainnya yang bertipe sama.
Inilah yang menurut saya menjadikan pertunjukan penuh chaos, saos, dan piloks ini menjadi sebuah kekacauan yang harmoni, sekaligus keharmonian yang kacau. Arung ingin penonton merasakan efek ketakutan melihat aksi menyakiti sendiri, namun justru menghadirkan sifat manusiawi (tak ingin melihat orang lain terluka) menjadi sebuah pertunjukan. Arung mungkin ingin penonton merasakan kekacauan, seperti mendengarkan tiga lagu secara bersamaan, tapi yang terjadi adalah ada banyak penonton yang fokus ke satu hal, dan melupakan hal lainnya; kira-kira seperti mendengarkan satu lagu saja, dan menutup telinga dengan dua lagu lainnya. Arung ingin mempelajari sifat-sifat gen-Z, tapi mendapatkan jawaban bahwa gen-Z benci dengan generasi di atas yang mau sok tahu tentang mereka. Sampai dengan, Arung ingin ada ikan bakar dan sayur mayur dibawa ke atas panggung, namun tak satupun yang disentuhnya kecuali buah-buahan.
Yah, karena merencanakan sesuatu berarti mempersiapkan diri untuk berhasil. Maka kebalikannya, melakukan sesuatu tanpa persiapan dan rencana berarti mempersiapkan kegagalan. Karena sejak awal, Arung sudah berencana gagal (baca: kandas), maka apapun persiapan dan rencana yang dilakukan, semua tak ada yang berjalan. Malah, hal-hal yang lahir dari penonton, menjadi suatu pertunjukan. Dramaturgi chaos yang dipersiapkan Arung, khusus malam itu, berubah menjadi teater imersif ala Boal, dengan "alur cerita" yang ditentukan oleh penonton.
Apapun itu, jelas pertunjukan ini akan selalu mendapatkan sesuatu dan bertumbuh di setiap kesempatannya dipertunjukkan. Arung akan terus mendapatkan "data" di setiap pertunjukannya, di setiap kota atau daerah tertentu. Sampai akhirnya, mungkin ia bisa memberikan narasi yang tepat untuk "Indonesia" secara keseluruhan, apabila ia membawa pertunjukan ini dari Aceh sampai Papua. Karena kebetulan, Indonesia hari ini miskin narasi, bukan? Karena narasinya dicari di ruang akademik. Sedangkan Arung mencarinya di jalanan, sudut kota, tengah-tengah festival, lokalisasi, sanggar tari, tempat para bajingan, tempat para pencari tuhan, dan tempat-tempat yang tak terjamah oleh para pencari narasi di menara gading.