Advertisement
![]() |
| Momen pemantik berbincang bersama tiga narasumber dalam agenda Ruang Svara 11/11/2025, (sumber gambar: Ghaimbibi) |
Oleh: Adhyra Irianto
Acara ngobrol daring bertajuk Ruang Svara: Gelar Wicara#2 yang digelar oleh Yayasan Svara Bumei Betuah beberapa waktu lalu via Zoom Meeting menghadirkan obrolan menarik dari tiga orang seniman musik. Tiga orang seniman musik tersebut antara lain Rino Dezapaty (Riau, nahkoda dari grup Riau Rhythm), Pangeran Arsola (Bengkulu, pendiri grup musik Sebumi), dan Riyan Israq Hari Saputra (Bengkulu, pendiri grup Kaganga Art Musik). Obrolan ini dipantik oleh Ghaimbibi, musisi muda yang juga anggota Divisi Kebudayaan Yayasan Svara Bumei Betuah, Alumnus jurusan Etnomusikologi.
Obrolan yang diberi tajuk utama "Simfoni Tiga Babak: Cipta, Pentas, Kelola" dimulai dari pembicaraan tentang ide untuk konseptualisasi karya. Rino, membuka obrolan dengan riset dan pengalaman akademik sebagai sumber ide. Hanya saja, menurut Rino, riset adalah bahasa yang ilmiah sehingga kerap dihindari oleh seniman. Riyan menyebut riset sebagai sesuatu yang harus dilakukan secara mendalam, melibatkan analisis yang tajam, dan butuh waktu sampai menjadi suatu ide. Sedangkan Arsola, menganggap ide akan hadir setelah logline (batang) karya telah jadi, lalu dieksplorasi menjadi karya musik, dan kemudian dicari konteks yang paling cocok dengan karya yang sudah selesai tersebut.
Obrolan berikutnya membuka lebih banyak diskursus berbasis pengalaman empiris masing-masing narasumber. Pembahasan tentang salah satu karya Riau Rhytm berjudul Puti Indira Dunia, Rino membahas tentang bagaimana musisi yang terlibat alam penciptaan karya tersebut dibawa ke Muara Takus untuk merasakan vibes dari lingkungan setempat. Sehingga ketika menyusun melodi bisa mengantarkan dengan baik visi artistik dari komposer. Tidak hanya itu, perlu kerendahan hati untuk menghormati tradisi lokal, bahkan sampai ke tuning dari alat tradisional. Sebagai contoh, dalam penggarapan Puti Indira Dunia misalnya, Rino dan teman-teman dari Riau Rhytm menggabungkan celempong dengan cello dan alat-alat musik barat. Celempong berada di tuning 439 Hz, sedangkan Cello dan alat musik barat berada di tuning 442 Hz, meski tuning standar dunia adalah 440 Hz. Namun, perlu diketahui bahwa ada banyak musisi barat yang masih menggunakan tuning 442 Hz dengan alasan estetika tertentu. Tanpa sepengetahuan komposer, tuning celempong diubah menjadi 440 Hz agar bisa padu dengan cello. Masalah yang timbul adalah, suara dan vibes dari celempong berubah menjadi seperti marimba. Berarti, tuning dari alat musik tradisional justru adalah nyawa dari alat tersebut. Maka, untuk menghormati tradisi lokal, tuning tersebut harus tetap dipertahankan.
Tidak hanya itu, ketiga narasumber sepakat bahwa merasakan langsung vibes lingkungan dan budaya lokal untuk menjadi bahan penciptaan karya. Pendekatan etnomusikologi, antropologi, historical, dan aspek budaya lainnya menjadi syarat utama, di samping studi literatur. Pengalaman akademik dan pengalaman empiris menjadi sumber kosakata musikal yang kemudian disusun di dalam komposisi karya. Pengalaman empiris menjadi referensi yang memengaruhi bentuk dan corak dari karya yang akan dilahirkan. Ryan Israq menceritakan bagaimana proses ia menciptakan karya berbasis pulau Enggano dengan cara datang dan tinggal di sana untuk merasakan suasana dan atmosfer setempat.
Ide saja tentu masih bukan sebuah karya, bila tidak bisa dieksekusi menjadi karya yang mampu mengejawantahkan dengan tepat. Konsep ide hanya menjadi konsep, dan tidak bisa menjadi karya menarik. Eksplorasi secara dalam dan mempertimbangkan banyak hal untuk menciptakan karya berangkat dari tradisi. Karya hybrid misalnya, perlu pertimbangan yang cukup dalam dan eksplorasi berdasar kajian yang kritis pada keajegan unsur tradisi lokal. Karena mengaduk-aduk secara asal karya tradisi dengan alat-alat modern karena ingin ikut-ikutan trend, atau hal lainnya, tentu jadinya akan tidak menarik dan tidak tersampaikan dengan baik pada khalayak.
Bagian yang dipaparkan di atas ini adalah bagian pertama dari simfoni tiga babak (cipta). Beralih ke langkah kedua, yakni pentas, ini sudah masuk ke tahap tindakan kreatif dan strategi pertunjukan. Maka, saat ini musisi sudah masuk ke wilayah pemanggungan dan pengemasan sebuah pertunjukan. Materi karya yang sudah dilatih mungkin berbulan-bulan, bisa jadi rusak dan tidak tersampaikan dengan baik bila tanpa pengemasan pertunjukan. Para narasumber menyebut terkait bagaimana membaca peluang, melatih keterampilan, penyesuaian dengan panggung dan situasi sekeliling, serta memanfaatkan teknologi menjadi alat bantu.
Ada kondisi kolaps, bila membandingkan antara semangat berkarya dengan "semangat" ketika seniman menghadapi realita pasar. Tantangan pasar yang terus berkembang, perkembangan media digital, dan ketidaktahuan segmentasi pemirsa yang tepat menjadi penyebab utama. Media digital misalnya, bisa menjadi bahan tepat untuk memperkenalkan karya sebelum akhirnya diperkenalkan pada publik. Membangun relasi, mengembara ke pasar-pasar, mencari segmentasi pendengar, dan cakap dalam mengemas sebuah karya menjadi kunci untuk keberhasilan mengantar musik pada pendengar yang tepat.
Hal lain biasanya hadir dari masalah pendanaan. Entah karena alokasi dana yang bisa didapatkan cukup minim, atau mungkin masalah lainnya yang kadang menjadi penghambat seorang seniman mendapatkan peluang besar memperkenalkan karyanya. Menjalin Kerjasama dengan sponsor, mencari sumber pendanaan dari pihak-pihak tertentu, dan tentunya menawarkan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan bisa menjadi jalan keluar.
Hanya saja, bicara tentang "kelola" ini tentu bukanlah "babak ketiga" dari "simfoni" ini. Kelola bukan menjadi "tahapan" tapi sesuatu yang harus berkelindan di antara dua tahapan cipta dan pentas. Kelola di awal adalah tata kelola kelompok, mempersiapkan kelompok atau grup kolektif yang kuat dan memiliki visi yang sama. Di tahap cipta, grup ini akan melakukan riset bersama, menyatukan atau mungkin menegosiasikan visi bersama, sehingga satu grup menjadi satu visi dalam menciptakan, menyusun struktur, komposisi, dan pada akhirnya suatu karya bisa tercipta. Di tahap pentas, tata kelola pertunjukan seperti menyatukan persepsi, bekerjasama antara pekerja panggung, stage manager, lighting, dan sebagainya untuk menjadi pengemasan karya, sampai menjualnya. Kelola alias manajemen bisa kita sederhanakan sebagai "merencanakan sesuatu", sehingga seniman tidak melakukan sesuatu tanpa rencana sejak awal penciptaan karya, hingga cara mengemas, mencari pemirsa yang tersegmentasi, tata kelola pertunjukan, dan sebagainya.
Dan... yah, setelah mengikuti obrolan di Zoom itu, pendengar baru menyadari bahwa tidak "hanya" ada tiga babak dalam proses pembuatan sebuah karya, sampai akhirnya karya ada di tangan para pemirsanya. Setidaknya, berdasarkan penuturan para narasumber ada 5 tahapan "simfoni" ini, antara lain:
1. Tahap pra-penciptaan seni alias konseptualisasi adalah tahap paling pertama. Dalam tahap pra-cipta ini, diperlukan riset etnomusikologis, observasi di lingkungan asli untuk mendapatkan vibes dan sumber primer, studi literatur, wawancara dan ngobrol, memetakan konteks budaya, dan metode etnomusikologi lainnya. (Lebih lengkap bisa dibaca di tulisan dengan tajuk Etnomusikologi di Pojok Seni) Etnomusikologi dan berbagai disiplin ilmu lainnya seperti sejarah, antropologi, dan lain-lain diperlukan untuk memperkaya proses konseptualisasi karya.
2. Tahap penciptaan seni, atau produksi musikal, alias eksekusi konsep. Dimulai dengan penentuan posisi dan bentuk karya, berdasar ide tematik yang sudah dikonsepkan dan teknik garap yang sudah direncanakan dengan matang. Semuanya disusun dalam batang karya, dicari pola ritme, frasa melodi, hingga struktur karya lengkap. Dilanjutkan dengan pemilihan pemain dan alatnya sesuai kebutuhan, lalu memulai latihan intensif dengan membebaskan eksperimen dan eksplorasi pada setiap pemain namun tidak keluar dari visi musikal komposer.
3. Tahap berikutnya adalah evaluasi dan kritik artistik. Tahap ini, komposer berdiri sebagai pendengar setelah karyanya dirilis, juga melibatkan pihak lain untuk melakukan evaluasi terhadap karya itu. Setelah dilakukan evaluasi, maka berikutnya kritik dan ide-ide tambahan bisa dielaborasi untuk menyempurnakan karya.
4. Tahap selanjutnya adalah positioning karya dan branding. Dalam tahapan ini, pengkarya akan menentukan identitas karyanya, proposisi dan narasi karyanya, ciri khas, dan pemaknaan karya. Hal-hal ini ditujukan untuk mencari segmen audiens, mencari panggung yang tepat, relasi, dan sponsor.
5. Tahap terakhir adalah distribusi karya. Di dalam tahapan ini ada promosi, pencarian berbagai kanal distribusi, bekerjasama dengan sejumlah relasi dan komunitas budaya untuk mencari pasar yang tepat. Termasuk juga di dalam distribusi karya ini adalah usaha untuk monetisasi lewat konser, penjualan lisensi musik, royalti, pengadaan workshop dan sebagainya.
Bila saya boleh menambahkan, tahapan yang paling terakhir namun penting untuk dilakukan adalah proses pengarsipan, dokumentasi, dan pengembangan keilmuan dari karya tersebut. Ini langkah yang penting untuk menjaga keberlanjutan karya, sekaligus melestarikan tradisi dalam perspektif hari ini.





