Advertisement
Tahun 2025 Teater keliling memberi ruang terbuka kepadaku didalam memperingati usia ke 76 tahun 29 Juni 2025 dengan menggelar pertunjukkan teater. Ini menjadikan aku bergetar mendapat ruang melafalkan mimpi besar untuk berkiprah di panggung. Langsung buka laptop tulis skrip terbaru yang dimulai subuh dan subuh berikutnya telah selesai. Menulis skrip sangat cepat ketika menemukan ruang terbuka dari hati pikiran yang memerdekakan dalam berucap, berkilah, berdialog lewat karya seni teater. Hanya sering menjadi kelemahanku ketika memberi judul. Ya kunikmati saja kelemahan ini yang seminggu kemudian ketemu yakni : “Mencari Guru Bangsa”.
Atas pertimbangan ekonomi maka produksi ini sepertinya akan mendapat kesulitan dalam hal pembiayaan sewa gedung pementasan yang memang rata-rata sudah diluar kemampuan seniman teater pada umumnya. Apalagi yang tetap berusaha konsisten pada karya-karya yang menurut pernyataan banyak orang yang berada di lingkaran seni teater mengatakan bahwa ini zaman sudah berubah yakni harus mengikuti selera penonton terutama generasi muda atau now saat ini. Aku sebagai penulis dan sutradara memang juga terusik oleh celotehan seperti ini. Maka aku langsung menghubungi Bentara Budaya Jakarta untuk bisa kerjasama mengingat telah memiliki hubungan akrab sejak puluhan tahun. Gayungpun bersambut dan ketua pelaksana harian BBJ menyetujui untuk memakai gedung BBJ untuk pentas atas sponsor BBJ. Terima kasih mb Ika Pocha serta presiden direktur BBJ. Sangat besar hati mendapatkan ruang untuk berkarya yang lebih membuka pandora besar yang lama tersimpan untuk dikeluarkan isinya entah apapun bentuknya. Tentu tergoda juga oleh pikiran apakah masih mampu melakukan kegiatan yang lebih katakanlah melawan mainstream pertunjukkan teater yang sedang ramai yakni musikal teater.
Akupun berketetapan memilih untuk menggunakan daya berexperimental teater tanpa “konsep” akan menjadi bentuk seperti apa? Seperti yang aku lakukan selama ini “mengalir” saja mengikuti apa yang muncul dalam setiap latihan bahkan di menit terakhir jelang pertunjukkan mulai. Kebebasan aktor berexperimen aku buka dan pintunya aku buang agar tidak menutup sewaktu-waktu terdorong angin lewat. Bahkan aku juga siapkan diri sewaktu-waktu harus berganti pemain. Keadaan yang memang zamannya mengajarkan untuk selalu siap menelan pil paling pahitpun harus dimiliki sutradara yang punya keberanian melawan arus dari manapun datangnya. Kali ini produksi teater keliling tanpa audisi dan berunding dengan produser yang pimpinan teater keliling memilih pemain. Setelah siap maka langsung aku casting dan sepanjang latihan hanya sekali ada pergeseran casting.
Catatan yang paling penting bagiku dari perjalanan berkarya ini adalah rasa gembira memasuki pasar malam disebuah rimba raya yang kaya akan hutan lebat serta binatang liar yang memiliki kekuatan untuk melilit, mengaum, menerjang, menggaruk bahkan pohon2 raksasa siap menerjunkan ranting2 kering yang bukan berukuran kecil. Semua ini justru membuat bagai berlaga diatas ring tinju tanpa aturan atau harus siap menjadi seorang gladiator tua yang oleh sang kaisar dilempar ke kolosium peninggalan kaisar Roma. Setiap pulang latihan terasa lega dan membawa catatan untuk hari selanjutnya melangkah lebih kedalam jauh hutan yang semakin gelap gulita hingga tak ketahuan siang atau malam. Tak ada kata lelah karena aktor aktris pilihanku siap bergaul bercengkerama bebas di alam bebas dimana binatang liar tiap saat bisa berubah menjadi alam liar yang mengamuk menggeram menggigit tanpa ampun. Justru saat seperti itulah aku menjadi semakin ikut “liar” melemparkan gagasan atau ide2 yang muncul dari keliaran aktor aktris tanpa basa basi lagi.
Ada kebiasaan baru yang aku harus hadapi adalah belum berhasil menciptakan waktu latihan tanpa ada pemain yang absen. Sering aku merenung apakah alasan utama yang masih jadi perdebatan bahwa selama masih belum profesional dalam arti ada bayaran maka hal seperti ini harus dimaklumi. Betapapun menjengkelkan tetap saja tak bisa ketemu win win solutionnya selain salah satu harus mengalah. Memang kalau lihat alasannya tentu semua bisa diterima karena maaf bahwa aktor kita masih kerja rangkap entah sebagai pegawai, mahasiswa, pelajar dimana belum menjadi manusia seutuhnya dalam arti kehidupan dirinya dikendalikan dirinya sendiri. Barangkali teater yang andalkan experimentasi mengalami kesulitan karena absen pemain tak tergantikan. Sementara latihan bukan untuk mengulangi hari kemarin namun meneruskan hari kemarin. Jika benar alasan menyangkut finansiil maka pertanyaan akan berbalik ke diri produser apa siap untuk itu?
Pertunjukkan dibagi dua tempat yakni diluar gedung dan didalam. Didalam gedung ada 3 panggung dan penonton lesehan di antara tiga panggung. Namun masih disediakan kursi yang mengelilingi ruang bagi para lansia atau yang berkebutuhan khusus karena tidak mampu lesehan. Ketika adegan diawali diluar gedung maka yang muncul adalah pencerita atau dalang mewakili penulis atau yang punya ide tulisan naskah ini. Kemudian asisten sutradara, stage manager dan satu anak remaja tanpa nama yang menggambarkan tokoh yang selalu ada dalam peristiwa apapun dan sering lebih gencar bicara seolah-olah yang paling tahu. Satu lagi Semar yang mewakili para aktor. Namun pemain Semar diingatkan bahwa ini belum adegan sebenarnya tapi masih dialog terbuka antara pemain dengan penonton. Iapun berubah kembali ke jati dirinya. Pembicaraan sangat bebas meluas kemana saja yang mau dibicarakan karena lebih banyak bicara dengan publik secara langsung. Hal ini dilakukan setelah bersama membuka acara dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ini adegan justru menjadi paling sulit karena sangat dibutuhkan aktor yang bukan text book thingking. Daya improvisasi dari menangkap zaman yang sedang terjadi sangat dibutuhkan. Naskah hanya sebagai pegangan yang tidak mengikat. Untuk itu dalam latihan sebenarnya justru perlu lebih banyak diskusi atau ngobrol santai bicarakan apa berita hari ini. Kadang aku merasa justru kemampuan seperti ini ada di pemain2 sandiwara tradisional seperti lenong. Wayang orang, ketoprak dan banyak macam lagi di tanah air yang tanpa naskah. Tugas sutradara hanya memberi ide atau inti2 pembicaraan untuk dikemas bersama.
Adegan berpindah masuk gedung dimana stage manager dan astradara dibantu usher mengatur penonton sementara ada satu tokoh cerita yakni Gareng sudah memainkan perannya dengan bertanya ke penonton dimana keberadaan Semar yang menurutnya hilang. Lagi-lagi dibutuhkan aktor yang berdaya improvisasi yang kuat sehingga suasana pengaturan penonton tidak membosankan. Bukan hanya pemain namun bagi penonton hal ini menjadi sesuatu yang tidak lazim dan justru ketidak laziman ini yang aku butuhkan. Aku juga senang berbincang dengan teman yang masuk ruang dan ada pula yang bawa hadiah bunga, ada yang roti sambil berbisik “bunga akan dibuang, kalau roti kan bisa dimakan”; kami berdua ngakak sambil dengarkan Gareng sibuk cari Semar diantara penonton. Kusaksikan banyak penonton yang bengong tak tahu harus jawab atau tidak. Apalagi menemukan secara spontan apa jawabnya. Beberapa penonton sampaikan ke saya seusai pentas selesai bahwa ini adegan yang paling tak terlupakan yakni ditanya bingung jawabnya. Yang lain bilang ini pertanyaan serius atau hanya main-main sih? Apa sesuai naskahnya begitu? Lalu apa jawaban di naskah?
Lanjut adegan dilakukan di satu panggung dialog Gareng dengan Petruk hingga muncul Bagong dan juga Narada yang didampingi ajudannya. Inti pembicaraan masih berkutat hilangnya Semar dan Narada punya kepentingan karena adanya gangguan ketenangan Kayangan akibat keresahan yang terjadi di dunia yakni hilangnya jimat Kalimasada yang dimiliki pandawa. Kayangan sudah tahu bahwa pencurinya adalah Mustokoweni yang punya dendam menahun ke Arjuna yang membunuh bapaknya akibat bapaknya ngamuk ke Kayangan akibat lamaran ke putri Kayangan yakni Dewi Supraba ditolak batara Guru. Pihak Kayangan mencari Semar karena hanya dia yang bisa mengatasinya. Dialog-dialog pun terjadi yang mana Petruk memisahkan dari panggung satu ke panggung lain dengan mengajak penonton yang mau berkumpul dengannya untuk cari jalan keluar. Ini adegan yang sulit dengan dua panggung dan dua penonton yang membutuhkan kepiawaian pemain agar tidak membingungkan penonton yang harus dijaga agar tetap bisa menyaksikan dua adegan beda panggung. Hal ini berlangsung hingga Petruk menghilang untuk menemui Arjuna yang pasti perlu bantuannya. Narada dan Gareng serta Bagong hanya bingung kini yang hilang bukan hanya Semar tapi juga Petruk. Narada pamit dan menunggu berita selanjutnya.
Rupanya Arjuna memiliki putra hasil pernikahan dengan dewi Supraba yakni Bambang Priyambodo. Mereka berpisah karena Arjuna turun meninggalkan Kayangan pulang ke dunia. Untuk bukti ia anaknya maka disuruh mencari jimat Kalimasada dan dibawa kembali ke Pandawa. Tidak perlu lama segera ketemu dan celakanya antara dia dengan Mustokoweni saling jatuh hati. Ketika sedang asyik masyuk berduaan jatuhlah jimat tersebut. Petruk mengambilnya dan akan kembalikan. Namun ditengah jalan berubah pikiran. Ia ingin coba kekuatan jimat tersebut dan meminta jadi raja. Ternyata benar ia menjadi raja diraja yang tak bisa dikalahkan. Bahkan bukan hanya dunia iapun melesat menguasai Kayangan untuk memperbaharui aturan2 yang hanya menguntungkan penguasa Kayangan. Maka lagi-lagi Narada diutus ke dunia menemui Semar untuk mengatasinya.
Adegan beralih ke Petruk jadi raja yang serba aneh kelakuannya. Yang awalnya seperti umumnya raja baru menjadi sangat bermanfaat bagi rakyatnya kemudian semakin bernafsu menguasai kerajaan2 lain bahkan hingga Kayangan. Dan di saat yang sama Semarpun muncul dari pertapaannya karena ia merasa sudah waktunya kembali unjuk diri mengatasi kesemrawutan kekuasaan yang sudah tidak amanah lagi. Hanya dia yang tahu siapa raja diraja yang kelewat batas ini. Namun tentu saja tidak diakui Petruk dan justru menantang Semar dan dikomentari Bagong dengan ucapan datar yang sarkastis “ Malinkundang jilid dua”. Tiga panggung dipakai semua dan adegan menjadi semakin meluas diseluruh ruangan. Penonton yang sudah terbawa arus perjalanan cerita tampak mengikuti saja dengan arah mata bahkan sering tubuh juga berpindah ke panggung satu dua dan tiga. Tak mau ketinggalan menyaksikan tiga peristiwa yang pada saat yang sama sedang terjadi. Para pemain juga dengan caranya masing2 bisa pindah ke panggung yang mana dan melewati penonton yang tentu masing2 punya teknik agar penonton tetap tidak terganggu menikmati seluruh adegan. Tidak ada jalan lain jika mau pindah harus melewati penonton. Inilah tantangan aktor yang mana dalam latihan tidak pernah ada penonton sesungguhnya.
Puncak cerita ketika Semar mengeluarkan senjata pamungkasnya yakni kentut maka seluruh peran harus berusaha menghindari baunya yang berbahaya yang bisa mematikan karena belum diketemukan senjata ampuh manalagi yang bisa melawannya. Aku senyum sendiri kala itu menyaksikan banyak penonton ikut menutup hidung secara refleks. Ini hal yang sungguh luar biasa bahwa kekuatan seni keaktoran mampu menyerap batin penonton dan ikut terlibat secara langsung sehingga terbawa arus panggung yang semakin menguasai seluruh ruangan baik fisik maupun batin penonton.
Adegan berakhir dengan permohonan maaf Petruk yang segera Semar menarik seluruh mesiu ajaibnya kembali masuk ke perut gendutnya. Semuapun lega termasuk kudengar nafas penonton yang aaaaaaaaaah turut terlepas dari jeratan angin kentut Semar. Di saat itulah Petruk menyatakan bahwa memang Semarlah yang tak tertandingi sehingga selain bersujut iapun mengelukan dan diikuti semua yang ada di ruangan tersebut. Narada tersinggung karena merasa dilupakan bahwa dia adalah utusan batara Guru yang tentunya orang kedua di Kayangan penguasa dunia tertinggi. Bagong nyletuk “dewa kok ngirian”. Ia sinis sambil teriak hidup......... Narada; tapi kata Narada diucapkan hanya berbisik dan semuanya mengikuti cara Bagong.
Suasana cair lucu komedik yang sarkastik ini dipecahkan oleh dua patih raja Petruk yang dandanannya sebagai pemain pantomim itu yang sepanjang adegan memang bicara lewat cara pantomim yang disenangi raja Kantongbolong yang bergelar Bel geduwel beh. Yang kemudian memerintahkan semua rakyat wajib belajar pantomim. Dengan pantomim maka tak terjadi debat adu kata hingga hanya cekcok tak berkesudahan yang tak pernah menyelesaikan persoalan berbangsa dan berkerajaan. Namun kali ini mereka bicara dengan kata menanyakan siapa guru bangsa yang dicari sejak awal? Ketika stage manager menunjuk Semar maka mereka marah dan berteriak Semar kan guru bangsa di dunia wayang. Yang dicarti itu yang dunia nyata!!!! Tak ada jawaban dan Gareng mencoba berkata “terpulang kita masing2. Itupun jika merasa perlu ada atau tidak?”
Narada pun ambil jalan yang dikiranya paling tepat yakni : “cabut saja dulu”. Eh sang dalang muncul mencoba berdialog dengan penonton yang karena pertanyaannya dilakukan secara cepat dan nrocos seperti tak butuh jawaban sehingga akhirnya Semar pula yang memisahkan dan menghentikan . Sunyi seluruh ruangan dan ia memperkenalkan dirinya menyebut nama aslinya. Dilanjut pemain lain hingga seluruh staf artistik dan produksi. Lagu happy birthday bergema dan semua menyanyikan sambil stage manager membawa kue dengan lilin yang masih belum menyala. Sang Rudolf Puspa pun hanya mengatakan bahwa dia tidak mau meniup lilin tapi justru dengan semangat hidup menyalakannya untuk menjadi jalan terang dalam perjalanannya.
Begitulah pertunjukkan teater keliling di Bentara Budaya Jakarta 9 Agustus 2025 yang digelar dua kali yakni pukul 15.00 dan 19.00 wib. Tidak ada penjualan tiket sesuai dengan perjaniian kerjasama dengan pihak Bentara Budaya Jakarta. Namun demikian diijinkan untuk menerima sumbangan dengan mengirim lewat bank dan akan tercatat menjadi penonton. Ketika hadir akan mendapat gelang yang bertuliskan 76 th Rudolf puspa yang bukan dari kertas sehingga bisa disimpan atau dipakai seumur hidup jika tidak hilang.
Saya sangat bahagia dan terharu melihat 90% penonton adalah anak genZ dan Alpha yang ketika usai pertunjukkan selain selfi masih banyak yang minta tanda tangan di buku atau kertas atau di bajunya. Begitu tersihir batinku ketika seorang wanita ASN muda mengatakan bahwa “inilah teater yang aaaarrrggggghhhh.....”. Ia berharap seperti yang lain agar ada lagi ada lagi seperti ini. Berhari-hari aku termenung merasakan kembali suasana pertunjukkan “Mencari Guru Bangsa” dan benar apa yang dikatakan Chairil; Anwar bahwa seorang seniman adalah “perintis” jalan. Seorang perintis memang selalu memiliki daya juang yang besar dan kokoh dalam pencarian karya yang selalu baru yang mampu menyentuh penikmatnya. Maka semakin aku yakin untuk menjawab pertanyaan teater apa sih yang paling bagus. Jawabnya bukan pada bentuk tapi isi yang dikandung oleh bentuk dari karya yang disajikan. Penonton tidak memakan atau meminum bungkusnya namun isinya. Jika bicara isi maka seni apapun pasti akan selalu dicari ditunggu penikmat yang akan semakin bertambah menumpuk berebut membeli tiket. Tari bukan dilihat hitungan one two three etc etc tapi apa isi geraknya, pesan apa, emosi apa yang ada dalam setiap gerak. Demikian pula ketika nyanyi ketika berdialog ketika dalam gerak sunyi dan sebagainya. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa art dimulai ketika problem teknis sudah selesai.
Terima kasih bagi yang sudah hadir menyaksikan pergelaran teater keliling berjudul “Mencari Guru Bangsa” karya dan sutradara Rudolf Puspa. Terima kasih kepada Bentara Budaya Jakarta yang telah menyediakan tempat manggung. Terima kasih kepada seluruh pemain dan seluruh staf artistik dan produksi teater keliling.
Jakarta 30 Agustus 2025.
Rudolf Puspa
pusparudolf@gmail.com







