Advertisement
![]() |
Putra Agung |
Oleh: Putra Agung*
Jika tidak aral rintangan, Jumat dan Minggu malam nanti (03-05/10/2025), panggung Polim Prodi Tari dan Musik FKIP Universitas Lampung akan menggelar kegiatan bertajuk Pentas Perdana (Perda) dan Jumpa Perdana (Jumper). Kegiatan ini merupakan ritual tahunan untuk menyambut sekaligus melihat kemampuan dasar para mahasiswa baru Angkatan 2025 Prodi Tari & Musik Universitas Lampung dihadapan para senior, dosen, penikmat awam serta para praktisi seni.
Saya selaku orang awam yang menyukai cum menikmati seni-senian, menanting harapan agar Perda dan Jumper tidak hanya menjadi sekedar ritual basi tahunan tetapi menjadi deklarasi lahirnya para calon penjaga tradisi-budaya Provinsi Lampung yang perlahan terlupakan, terasing dan layut. Harapan ini muncul mengingat setahun belakangan ini, gejala negatif hedonisme serta krisis adab pun identitas menghinggapi generasi Alpha saat ini.
Banyak bukti pun faktanya, dan tak akan saya tuliskan serta biarlah itu menjadi kaca benggala untuk semua. Selain itu, dari informasi yang saya terima dari panitia Perda, para maba Angkatan 2025 ini akan menampilkan 10 karya koreografi tradisi milik kakak-kakak tingkatnya; Lehot, Megagah, Janggok Kawat, Tudung Bumei, Sabuk Gugih, Lelawat, Setiakh, Nuwau, Silah Rakhan, dan Kinjar Ughik. Terkait karya Jumper, hingga tulisan ini disebarkan, saya belum mendapatkan informasinya sehingga belum bisa memberikan ulasannya.
Seingat pikiran saya yang mulai pikun ini, kesepuluh karya tersebut sudah pernah saya nikmati, saksikan bentuk, garapan dan rasa aslinya. Melalui tulisan pendek ini, saya mencoba menyimpulkan ulang pesan tersirat dan tersurat dari berbagai karya tersebut sehingga dapat bermanfaat menjadi salah satu kayu titian bagi para maba ketika kelak menjalani dialektika pendidikan serta pembelajaran.
Niat di Awal Jalan
Meniatkan diri untuk kuliah jurusan seni atau ditengah-tengah hiruk-pikuk teknologi digital, tuntutan pragmatisme dan postmodernisme adalah sebuah perjalanan elegan. Hal ini dikarenakan bagi mahasiswa seni, kesenian bukan hanya hobi, -harusnya- menjadi perjalanan pendewasaan jiwa dan itu semua dimulai saat Perda & Jumper dilaksanakan dengan sejumlah alasan simbolis:
1. Gairah Eksplorasi (The Curious Drive): Maba mulai mengambil tongkat estafet dari karya para kakak tingkat, menggali, membedah dan mengeksplorasi setiap gerakan, irama, dan narasi. Mereka harus belajar memahami kompleksitas narasi di balik tarian seperti Lehot atau kekokohan karakter dalam Megagah. Proses ini menuntut mereka sejenak menjadi sejarawan, antropolog, sekaligus penafsir ulung.
2. Disiplin Tinggi (The Unyielding Practice): Belajar seni berarti bicara tentang dialog tanpa akhir antara tubuh dan ruang sehingga dibalik megahnya pertunjukan, ada keringat, capek dan frustasi latihan berjam-jam. Pentas Perdana & Jumpa Perdana akan mengajarkan maba bahwa seni musik dan tari adalah seni bekerja keras yang konstan, ‘tidak dalam rangka’ dan menghapus dogma klise bahwa seniman hanya mengandalkan bakat.
3. Kolektivitas (The Collectivity): Seni pertunjukan, termasuk seni tari dan musik didalamnya, mengedepankan kerja-kerja kolektif dalam proses kreatifnya. Itu bisa dilihat melalui karya seperti Lelawat atau Silah Rakhan, yang sangat bergantung pada kolektivitas dan rasa kebersamaan. Ini adalah pelajaran krusial, para maba harus belajar kolektivitas dalam bentuk mendengar irama, menyatukan energi, dan bergerak sebagai satu kesatuan.
4. Memahami Filosofi (Behind The Movement): Setiap gerak adalah simbol atau metafora sehingga para maba harus mulai belajar menyelami makna filosofis dari gerak tari, khususnya. Contohnya, dalam karya seperti Lelawat, yang menggambarkan filosofis kearifan lokal masyarakat Megou Pak Tulang Bawang atau makna kekuatan yang coba dipancarkan oleh penari Setiakh dengan properti yang digunakan.
5. Pengalaman Batin (The Art of Experience): Seni tari dan musik sebagai bagian dari seni pertunjukan adalah kolaborasi lintas disiplin. Berbagai poster Perda jelas menunjukkan keterlibatan para penata dari lintas genre. Sebut saja, penata musik, penata busana, penata cahaya hingga kakak pembimbing (Kabim). Kesemuanya penting dan bagian dari proses belajar menghargai peran setiap orang sehingga akan menjadikan maba sebagai orang yang cerdas dan beradab. Pertunjukan Kinjar Ughik dengan keranjang sebagai properti atau Tudung Bumei dengan kostum putih-merah yang kontras, menunjukkan betapa sentralnya peran penata busana dan properti. Maba harus belajar melihat pertunjukan sebagai ekosistem, dan tidak bisa berdiri sendiri serta harus saling memahami, saling memberi, menguatkan, menopang dan membesarkan pertunjukan.
Harapan di Ujung Perjalanan
Ibarat berlari, Perda dan Jumper adalah garis start hingga empat atau lima enam tahun ke depan untuk mencapai garis finish. Selama rentang masa tersebut, mahasiswa harus keluar dari kampus -idealnya- dengan empat syarat utama : beradab, berkemampuan, berani dan bertanggung jawab.
Beradab adalah akar. Ia menjadi fondasi utama dalam belajar. Seorang mahasiswa harus tahu, pandai dan mampu menempatkan diri sesuai ruangnya. Dalam konteks menjaga tradisi-budaya, beradab berarti tidak merampas tradisi, tetapi merawat dan mengembangkannya dengan penuh hormat. Tidak hanya sekedar meniru ragam gerak Bedana semata tetapi memahami nilai sosial, silaturahmi, keramahan, dan spiritualitas yang terkandung di dalamnya. Beradab berarti takzim pada yang tua, hormat pada yang muda, sopan pada wanita serta ksatria bila salah.
Berkemampuan adalah batang. Ia adalah bekal teknis yang harus dibangun selama kuliah. Mahasiswa tidak cukup hanya bisa menari atau bermusik, tetapi juga harus menguasai teori, teknik, filsafat, riset, dalam pemahaman konteks budaya. Berkemampuan berarti menguasai wiraga, wirasa, wirama dan wicara. Berkemampuan berarti mampu meneliti, menulis, mendokumentasikan, dan menganalisis fenomena budaya sekaligus menyampaikannya secara lantang terbuka, dapat bekerjasama, memimpin kelompok, berjejaring dengan berbagai komunitas seni hingga kelak mampu menjadi penggerak budaya dan tradisi.
Keberanian adalah bunga. Oleh karena tanpa keberanian, karya seni hanya akan berdiam di dalam pikiran. Seorang mahasiswa harus berani mengolah tradisi menjadi karya baru tanpa takut salah, tetapi tetap sadar pada batas nilai dan kesakralan budaya. Berani juga berarti menjadikan wilayah seni sebagai medan perang dan kritik sosial, advokasi lingkungan, bahkan perlawanan terhadap ketidakadilan. Mahasiswa seni harus berani menjadikan tubuhnya sebagai bahasa yang berbicara untuk masyarakat. Berani mendorong seseorang tampil tidak hanya sebagai hiburan, tetapi bisa menjadi bentuk pertanggungjawaban pembelajaran.
Bertanggung jawab adalah buah. Ia merupakan puncak dari perjalanan kedewasaan seorang mahasiswa, apapun bentuknya dan kepada siapa saja. Tanggung jawab berarti jujur secara intelektual, tidak asal klaim karya, beretika memakai karya, tidak memotong tradisi tanpa memahami konteksnya. Tanggung jawab berarti peduli pada keadaan masyarakat, mengembalikan hasil riset karya seninya ke asalnya agar bermanfaat. Bertanggung jawab juga berarti membawa nama baik kampus dan daerah asal dimanapun berada. Bertanggung jawab memang pahit awalnya namun pasti berbuah manis akhirnya.
Jika keempat hal tersebut bisa diraihnya, layaklah untuk menyandang gelar mahasiswa : “pemuda-pemudi dengan uang seribu di kantongnya, sepuluh ribu keinginannya, seratus ribu kendalanya, sejuta pengalamannya, semilyar kisah cintanya dan tak terhitung doa ibu bapaknya”.
//salamngopi/
*Putra Agung merupakan sutradara, dramaturg dan juri seni pertunjukan bersertifikasi resmi dari Badan Sertifikasi Profesi Kebudayaan RI. Saat ini menjabat sebagai direktur program dan artistik di DianArza Arts Laboratory (DAAL), anggota Indonesian Dramaturg Forum serta pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.