Hari Kebudayaan Nasional: Antara Simbolisme dan Kehampaan Intelektual (Bagian II-Habis) -->
close
Pojok Seni
18 October 2025, 10/18/2025 07:30:00 PM WIB
Terbaru 2025-10-18T12:30:00Z
Ulasan

Hari Kebudayaan Nasional: Antara Simbolisme dan Kehampaan Intelektual (Bagian II-Habis)

Advertisement


Oleh : Zackir L Makmur


Bila kesadaran itu bangkit, maka ensiklopedia yang berdebu itu akan terbuka kembali, halaman demi halaman, menyingkap jati diri bangsa yang selama ini tertidur di bawah debu kemajuan yang terlalu tergesa. Akan tetapi di balik keindahan dan pengakuan internasional, tersimpan krisis epistemologis yang serius: bangsa ini belum memiliki kesadaran kultural yang setara dengan kekayaannya. 


Globalisasi telah menggeser orientasi nilai; kebudayaan diperlakukan sebagai warisan estetika, bukan panduan etika. Dalam pusaran modernitas yang serba cepat, tradisi kehilangan ruang kontemplatifnya. Ketika makna digantikan oleh citra, dan kedalaman digantikan oleh kecepatan, di situlah lahir apa yang oleh para pemikir kebudayaan disebut dislokasi makna, yakni terpisahnya antara simbol dan substansi, antara bentuk dan jiwa.


Tragedi Sunyi Kebudayaan Indonesia


Dalam konteks Indonesia, dislokasi ini tampak nyata dan mengkhawatirkan. Negara memang telah menetapkan tanggal peringatan kebudayaan, tetapi lupa menyalakan kesadaran yang menghidupinya. Lembaga pendidikan berbicara tentang kebudayaan di ruang teoritis, namun gagal menjadikannya laku hidup dalam keseharian. 

Para budayawan kehilangan panggung untuk berdialog, sementara media publik lebih gemar menyiarkan sensasi ketimbang renungan kebangsaan. Tak ada ruang ekosistem yang memungkinkan kebudayaan tumbuh sebagai kekuatan intelektual dan spiritual bangsa. Akibatnya, kebijakan kebudayaan menjadi seremonial tanpa jiwa.

Dampaknya terasa hingga ke sendi-sendi kehidupan sosial. Kebudayaan berhenti sebagai reliquia (barang antik yang dikagumi, tapi tak lagi dipahami). Kita menyanyikan lagu daerah tanpa tahu kisah yang melatarnya, mengenakan batik tanpa memahami filosofi di balik motifnya, menonton wayang tanpa mengerti moralitas yang dihidangkannya. 


Warisan leluhur yang begitu megah kini seolah kehilangan tafsir. Ia diperlakukan sebagai benda mati, bukan sebagai ruh yang menuntun arah hidup. Inilah tragedi sunyi kebudayaan Indonesia: kekayaan yang berlimpah, namun kesadaran yang menipis. Padahal, kebudayaan sejatinya bukan museum masa lalu, melainkan proses berpikir dan merasakan yang terus berlangsung. 


Dalam kebudayaan, manusia diajak untuk menafsirkan dirinya, memaknai dunianya, dan meneguhkan identitasnya di tengah perubahan. Jika refleksi berhenti, kebudayaan ikut mati; sebab yang membuatnya hidup bukan bentuk, tetapi kesadaran. Hanya bangsa yang mau berpikir dan merasakan yang dapat menjaga api kebudayaannya tetap menyala. Oleh karena itu, tugas kita kini bukan sekadar melestarikan warisan, melainkan menyalakan kembali kesadaran. 


Negara harus menciptakan ruang bagi kebudayaan untuk berdialog dengan zaman; sekolah harus menjadikan nilai budaya sebagai metode berpikir, bukan sekadar materi hafalan; dan masyarakat harus melihat kebudayaan sebagai cermin untuk mengenali diri. Sebab bangsa tanpa kesadaran kultural hanyalah penonton dalam panggung sejarahnya sendiri. Dan kebudayaan yang hidup adalah tanda bahwa suatu bangsa masih memiliki jiwa.


Menyalakan Kembali Jiwa Kebudayaan Bangsa


Untuk keluar dari kesunyian ini, diperlukan keberanian nasional untuk menjadikan kebudayaan sebagai poros pembangunan, bukan sekadar pelengkap retoris. Negara harus berani mengakui bahwa kebudayaan bukan hanya sektor, tetapi fondasi yang menopang seluruh sektor lain: ekonomi, politik, dan pendidikan. 


Pemerintah mesti menciptakan ruang di mana ide dan ekspresi kebudayaan dapat berinteraksi secara produktif, membangun simpul-simpul baru di antara perguruan tinggi, lembaga riset, komunitas seni, dan media publik. Sebab kebudayaan bukan milik satu profesi atau kelas sosial, melainkan napas kolektif bangsa yang meneguhkan kemanusiaan di tengah zaman yang serba mekanistik.


Bangsa ini membutuhkan sebuah gerakan literasi kebudayaan nasional yang mampu menjembatani antara tradisi dan zaman digital. Generasi muda perlu dikenalkan pada makna filosofis di balik simbol, bukan hanya bentuk lahirnya. Sebutlah ketika mereka belajar memainkan gamelan, yang diajarkan bukan sekadar teknik, melainkan nilai kebersamaan dan harmoni yang terkandung di dalamnya. 


Saat mereka membuat konten digital tentang batik, yang dihidupkan bukan hanya coraknya, melainkan spiritualitas dari setiap motif yang menuturkan kisah manusia dan alam. Dengan demikian, kebudayaan tidak lagi menjadi artefak, melainkan energi yang terus berdenyut, menembus batas ruang dan waktu.


Kebudayaan juga mesti dipahami sebagai politik pengetahuan, sebagaimana diingatkan para pemikir kebudayaan Indonesia. Ia menentukan cara bangsa ini memaknai dirinya sendiri, membangun cara berpikir yang merdeka dari bayang-bayang kolonialisme intelektual. Dalam kerangka itu, Hari Kebudayaan Nasional seharusnya tidak berhenti sebagai tanggal di kalender, tetapi menjadi hari refleksi kebangsaan, yakni hari ketika Indonesia meninjau ulang arah peradaban yang hendak dibangunnya. 


Bangsa yang kehilangan kebudayaannya bukan sekadar kehilangan warna, melainkan kehilangan arah; dan bangsa yang gagal merayakan kebudayaannya berarti gagal merayakan kemanusiaannya sendiri. Lantaran kebudayaan Indonesia sejatinya, adalah roh yang menyatukan tubuh besar bernama bangsa. Ia lahir dari perjumpaan antara gunung dan laut, antara ritual dan doa, antara kerja dan imajinasi. 


Dari sinilah lahir semboyan abadi Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan kesadaran spiritual bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan sumber kehidupan. Maka, membangun kebudayaan berarti menjaga harmoni yang telah diwariskan sejarah, sekaligus menyalakan kembali semangat kebersamaan yang menumbuhkan bangsa dari akar terdalamnya.


Menyalakan Kembali Jiwa Kebudayaan Bangsa


Bila Hari Kebudayaan Nasional terus dibiarkan sepi, maka yang perlahan mati bukan hanya perayaannya, tetapi juga ingatan kolektif bangsa terhadap dirinya sendiri. Dalam kesunyian itu, bangsa kehilangan cermin yang selama ini memantulkan wajahnya. Sebab kebudayaan bukan sekadar warisan benda atau simbol-simbol tradisi; ia adalah bahasa jiwa yang mengikat manusia dengan sejarah dan harapan. 


Setiap tarian, ukiran, atau nyanyian rakyat bukan hanya ekspresi estetika, tetapi kesaksian tentang cara bangsa ini memaknai hidup. Maka, ketika tanggal 17 Oktober berlalu tanpa gema, itu adalah pertanda bahwa bangsa ini tengah kehilangan kemampuan untuk merayakan kesadarannya sendiri.


Indonesia adalah rumah bagi kebudayaan yang berlapis dan tak ternilai. Dari harmoni gamelan yang menenangkan hingga ritus adat yang sarat makna spiritual, semua menuturkan kebijaksanaan yang lahir dari perjumpaan antara manusia dan alam. Dari tenun ikat di Nusa Tenggara hingga Reog di Ponorogo, dari Ngaben di Bali hingga Rambu Solo’ di Toraja, setiap budaya adalah cara manusia Indonesia berdoa, bekerja, dan menafsirkan hidup. 


Di tengah modernitas yang kian bising, kebudayaan sering direduksi menjadi komoditas visual—diperlihatkan, tapi tidak dimaknai; dirayakan, tapi tak dihayati. Padahal, kebudayaan sejatinya adalah orientasi moral dan intelektual bangsa, bukan sekadar ornamen pelengkap pembangunan. Tanpa kebudayaan yang hidup, pembangunan hanyalah tubuh tanpa roh; bergerak, namun tanpa arah.


Krisis yang dihadapi Indonesia saat ini bukanlah kemiskinan budaya, melainkan “kemiskinan kesadaran budaya”. Globalisasi membawa kemudahan, tetapi juga kelupaan. Tradisi yang dulu menjadi panduan hidup kini tergeser oleh logika efisiensi dan citra modernitas yang sering kali hampa makna. Di sinilah kebudayaan kehilangan daya hidupnya, berubah menjadi pameran masa lalu yang tidak lagi menuntun masa depan.


Untuk menghidupkan kembali kebudayaan, diperlukan keberanian untuk menempatkannya di jantung pembangunan nasional. Negara harus lebih dari sekadar membuat regulasi, yang menciptakan ruang bagi pertemuan gagasan dan karya. Pendidikan kebudayaan harus dihidupkan sebagai pendidikan batin, yang menanamkan kebijaksanaan dan empati antarbudaya sejak dini.*


Pendidikan kebudayaan tidak cukup berhenti pada hafalan tentang tarian, bahasa, atau pakaian adat. Ia harus menjadi pendidikan yang membangkitkan rasa ingin tahu, empati, dan kebanggaan terhadap keberagaman. Di ruang-ruang kelas, kebudayaan harus hadir bukan sebagai mata pelajaran yang kaku, melainkan sebagai pengalaman hidup yang membentuk karakter. Setiap sekolah semestinya menjadi laboratorium kecil bagi kebudayaan, tempat anak-anak belajar bahwa menjadi Indonesia berarti merawat perbedaan dengan cinta dan rasa hormat.


Kesadaran budaya tidak dapat tumbuh di ruang yang tertutup. Karena itu, ruang dialog antarbudaya perlu dibangun lebih luas, terbuka, dan egaliter. Perguruan tinggi, komunitas seni, dan lembaga kebijakan publik harus menjadi simpul yang menghidupkan pertemuan gagasan lintas disiplin. Di ruang-ruang semacam itu, kebudayaan akan bernapas melalui diskusi, perdebatan, dan refleksi yang jujur. 


Dari situlah lahir kebijakan yang tidak hanya berbasis pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada pertumbuhan makna. Lantaran kebudayaan tidak akan berkembang bila hanya dikelola oleh birokrasi; ia memerlukan ekosistem yang menghargai kebebasan berpikir serta keberanian untuk berekspresi.


Dialog yang hidup adalah jantung kebudayaan yang berdenyut. Ia menumbuhkan saling pengertian dan memperluas horizon kebangsaan. Ketika masyarakat saling mendengar, saling menghormati, dan berani mengakui perbedaan, maka kebudayaan menjadi kekuatan pemersatu yang sesungguhnya. Dalam konteks ini, peran media, komunitas digital, dan ruang publik menjadi penting. Karena di sanalah gagasan kebangsaan diuji dan dibentuk kembali. Modernitas tidak seharusnya mematikan akar tradisi, melainkan menjadi ruang baru untuk menumbuhkannya.


Karya menjadi bukti paling jujur dari keberlanjutan kebudayaan. Dalam seni, sastra, film, arsitektur, bahkan teknologi, nilai-nilai lokal harus menemukan relevansinya dengan zaman. Anak muda mesti diberi ruang untuk menafsir ulang tradisi, bukan untuk menolaknya, tetapi untuk menyambung napasnya di masa depan. Di era digital, setiap konten, desain, atau inovasi dapat menjadi bentuk baru dari kebudayaan yang hidup, selama ia lahir dari kesadaran yang berakar pada nilai bangsa. Dari tangan-tangan kreatif itulah, kebudayaan menemukan bentuk barunya yang segar dan terus bergerak.


Maka kebudayaan bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan jalan menuju masa depan yang beradab. Ia adalah cahaya yang menuntun bangsa agar tidak tersesat di tengah modernitas yang bising. Dalam setiap denyutnya tersimpan panggilan yang sederhana namun agung: “kenalilah dirimu, maka engkau akan mengenali bangsamu; hiduplah dalam kebudayaanmu, maka engkau akan hidup dalam kemanusiaan yang sejati.” 


Dan di sanalah arti sesungguhnya dari merayakan Hari Kebudayaan Nasional. Bukan sebagai seremoni, tapi sebagai perayaan kesadaran bangsa untuk terus hidup sebagai diri sendiri. Maka bila Hari Kebudayaan Nasional terus dibiarkan sepi, yang perlahan mati bukan hanya perayaannya, tetapi juga kesadaran kita sebagai bangsa yang berbudaya. ***


* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads