Hari Kebudayaan Nasional: Antara Simbolisme dan Kehampaan Intelektual (Bagian I) -->
close
Pojok Seni
17 October 2025, 10/17/2025 06:19:00 PM WIB
Terbaru 2025-10-17T11:19:44Z
Ulasan

Hari Kebudayaan Nasional: Antara Simbolisme dan Kehampaan Intelektual (Bagian I)

Advertisement


Oleh: Zackir L Makmur*


Republik Indonesia sering digambarkan sebagai negeri seribu wajah, tempat di mana keberagaman bukan hanya fakta demografis, melainkan nafas kehidupan yang mengalir dari Sabang hingga Merauke. Di antara 17.504 pulau yang tersebar, 1.300 suku bangsa yang berdiam, dan lebih dari 700 bahasa daerah yang dituturkan, tumbuhlah sebuah peradaban yang tak pernah berhenti menafsirkan dirinya.

 

Manusia di negeri besar ini tidak sekedar hidup berdampingan; mereka menenun dunia nilai, menyulam keyakinan dan pengalaman menjadi pola kebudayaan yang menawan. Lihatlah prosesi Ngaben di Bali yang mengajarkan kefanaan sebagai jalan menuju keabadian; dengarlah Rambu Solo’ di Toraja, dimana kematian bukan akhir, melainkan penghormatan tertinggi terhadap leluhur; tataplah Grebeg Maulud di Jawa yang menyatukan kekuasaan dan religiusitas dalam satu harmoni ritual; dan saksikan Balimau di Minangkabau, tradisi penyucian diri yang menjadikan air sebagai metafor kehidupan. 


Semua itu adalah simfoni yang menjelaskan: Indonesia bukan sekadar tanah dan penduduk, melainkan jiwa kolektif yang berdenyut dalam kesadaran tentang keberagaman. Namun, di balik kemegahan itu, ada keheningan yang menyayat. Ketika 17 Oktober 2025 tiba, hari yang secara resmi ditetapkan sebagai Hari Kebudayaan Nasional, tidak ada perayaan yang menandai getaran makna tersebut. 


Tidak ada seminar yang menyalakan wacana, tidak ada buku yang menafsirkan perjalanan budaya bangsa, tidak ada pentas yang menghidupkan denyut seni. Semua diam. Sepi yang begitu rapi, seperti bangsa yang melupakan cermin dirinya. Padahal tanggal itu dipilih bukan tanpa alasan: ia berakar pada momen bersejarah 17 Oktober 1951, saat Garuda Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika disahkan sebagai lambang negara. Sebuah simbol yang sejatinya mengajarkan bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan fondasi eksistensi. 


Menjadi Ornamen Administratif


Maka, bukankah ironis ketika semangat yang hendak dirayakan justru tenggelam dalam kebisuan yang nyaris total? Kebudayaan, sejatinya, adalah ruang di mana manusia berbicara kepada dirinya sendiri. Ia adalah cermin untuk bertanya: siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana hendak menuju. 


Namun, di negeri yang kaya simbol ini, kebudayaan sering kali direduksi menjadi ornamen administratif. Hanya diperbincangkan dalam pidato, tetapi jarang dihayati dalam tindakan. Ia hadir dalam dokumen resmi, tapi absen dalam kesadaran publik. Di saat dunia sibuk mencari jati diri di tengah globalisasi digital, kita justru membiarkan kebudayaan menjadi latar yang membisu. 


Seolah seluruh warisan luhur itu tidak lagi memiliki daya menggugah akal dan perasaan. Sebuah bangsa yang dahulu menyalakan dunia dengan tarian, sastra, dan filsafat hidupnya, kini berdiam di tengah kelimpahan, kehilangan arah terhadap makna keluhuran yang dulu ia ciptakan sendiri.


Padahal, di balik setiap tarian, ukiran, dan tembang, tersimpan ilmu pengetahuan tentang hidup, tentang bagaimana manusia bernegosiasi dengan alam, dengan sejarah, dan dengan takdirnya. Kebudayaan adalah reservoir hikmah yang membentuk karakter bangsa, bukan sekadar kenangan masa lalu. Ia adalah bahasa yang digunakan bangsa untuk berbicara kepada masa depan. 


Jika kita membiarkan Hari Kebudayaan Nasional berlalu tanpa dialog, tanpa refleksi, tanpa getaran intelektual, maka sesungguhnya kita tengah menandatangani senja kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan tidak mati karena dilupakan, tetapi karena tidak lagi dipertanyakan; karena kehilangan ruang untuk menumbuhkan makna baru di tengah perubahan zaman.


Maka, yang kita perlukan bukan sekadar perayaan, melainkan kebangkitan kesadaran. Hari Kebudayaan Nasional semestinya menjadi hari bagi akal budi, bukan sekadar kalender peringatan. Ia harus diisi dengan percakapan lintas generasi, pertukaran ide antara seniman, akademisi, dan masyarakat; dengan penerbitan buku, pentas, dan riset yang menyalakan bara kebudayaan kembali. 


Bangsa yang berhenti berbicara tentang kebudayaannya adalah bangsa yang berhenti memahami dirinya sendiri. Indonesia, dengan segala kedalaman dan kerumitannya, memerlukan bukan hanya ruang ekspresi, tetapi ruang renung. Karena di sanalah kebudayaan sejati berdiam, tentunya bukan pada gegap gempita perayaan, melainkan pada keheningan yang menumbuhkan kesadaran akan siapa kita sebenarnya.


Ritual yang Sunyi di Altar Kebangsaan


Penetapan Hari Kebudayaan Nasional melalui SK Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025, sejatinya adalah langkah besar dalam perjalanan kebangsaan Indonesia. Menteri Fadli Zon memilih tanggal 17 Oktober bukan secara kebetulan, melainkan dengan kesadaran historis yang mendalam: pada tanggal itulah, di tahun 1951, lahir lambang Garuda Pancasila dan semboyan abadi Bhinneka Tunggal Ika.

 

Dalam keputusan itu tersirat makna filosofis yang tinggi, bahwa kebudayaan adalah roh yang merajut segala perbedaan menjadi kesatuan yang bermakna. “Berbeda-beda tetapi tetap satu” bukan hanya semboyan kenegaraan, melainkan janji spiritual bangsa Indonesia kepada dirinya sendiri: janji untuk hidup dalam keberagaman tanpa kehilangan arah, untuk bersatu tanpa menyeragamkan, dan untuk tumbuh tanpa melupakan akar.


Sayangnya, simbolisme luhur itu kini tampak seperti api yang redup di altar negara, seakan menyala sebentar di atas kertas keputusan, lalu padam di ruang publik yang kehilangan denyutnya. Tidak ada seminar, tidak ada diskusi, tidak ada karya yang menandai momentum itu sebagai perayaan intelektual. Di tengah derasnya arus digital dan globalisasi, kebudayaan justru dibiarkan terombang-ambing tanpa arah. 


Ia tidak lagi menjadi medan tafsir dan refleksi, melainkan sekadar atribut seremoni yang dihidupkan oleh protokol, bukan oleh jiwa. Hari yang semestinya menjadi ritus akal budi nasional, tempat bangsa berkaca pada makna keberadaannya, justru beralih menjadi ritual administratif yang hampa makna.


Dalam kesunyian itu, kita seakan menyaksikan pergeseran ruh kebudayaan dari pusat kehidupan menuju pinggiran formalitas. Negara hadir, tetapi hanya sebagai pengatur; bukan sebagai penggerak. Regulasi menggantikan renungan, sementara seremoni menyingkirkan dialektika. Padahal kebudayaan, dalam hakikatnya yang paling murni, adalah dialog antara manusia dan zamannya, suatu percakapan panjang antara tradisi dan imajinasi, antara kenangan dan kemungkinan. Ia tidak bisa dihidupkan dengan undang-undang, sebab sumbernya bukan pada teks hukum, melainkan pada getar batin kolektif yang terus bertanya tentang makna menjadi manusia Indonesia.


Kita sering lupa bahwa kebudayaan adalah denyar kesadaran, bukan sekadar warisan. Ia hidup karena ditafsirkan, bukan karena diabadikan. Dalam setiap karya seni, dalam setiap upacara, dalam setiap kata yang diucapkan dengan nilai dan kasih, kebudayaan menemukan wujudnya. Namun ketika ruang publik menjadi sunyi dari percakapan makna, ketika intelektualitas tak lagi menyentuh ranah kebudayaan, maka yang lahir bukan kebangkitan, melainkan keheningan yang menua. 


Penetapan Hari Kebudayaan memang sah secara hukum, tetapi belum sah secara nurani. Karena, belum menyentuh kedalaman kesadaran bangsa terhadap dirinya sendiri. Maka, kebudayaan Indonesia menunggu untuk dilahirkan kembali dalam kesadaran baru. Kesadaran bahwa setiap bentuk, setiap suara, setiap tarian, dan setiap ide yang tumbuh di tanah ini adalah bagian dari percakapan panjang menuju kemanusiaan. 


Hari Kebudayaan seharusnya bukan sekadar tanggal di kalender, melainkan hari ketika bangsa ini merenungi jiwanya sendiri, menyalakan kembali api yang pernah membuatnya bercahaya di antara bangsa-bangsa. Karena kebudayaan, pada akhirnya, bukan milik negara, tetapi milik kesadaran; bukan dokumen yang dibacakan, tetapi getaran yang dirasakan oleh setiap hati yang masih percaya bahwa menjadi Indonesia adalah sebuah cara untuk tetap menjadi manusia yang beradab.


Ensiklopedia yang Mulai Berdebu


Betapa ironis: bangsa dengan warisan budaya yang diakui dunia justru tampak pasif dalam mengartikulasikan maknanya sendiri. Di tanah yang begitu subur bagi imajinasi, di langit yang pernah menaungi doa para leluhur, gema kebudayaan kini terdengar sayup, seakan tersesat di antara gedung-gedung beton dan layar-layar digital. 

Kita memiliki Tari Saman dari Aceh, Reog Ponorogo dari Jawa Timur, dan Tari Kecak dari Bali, tiga tarian yang bukan sekadar gerak tubuh, melainkan puisi kolektif tentang disiplin, kekuatan, dan spiritualitas. Dalam musik, Gamelan, Angklung, dan Kolintang bukan sekadar bunyi-bunyian; mereka adalah filsafat harmoni, mengajarkan bahwa kehidupan, seperti nada, hanya indah bila selaras meski berbeda. 


Dalam kain, Batik, Songket, Ulos, dan Tenun Ikat adalah kitab kebijaksanaan yang ditulis dengan benang waktu, mengajarkan kesabaran, keseimbangan, dan ketekunan dalam diam. Dan dalam kuliner; Rendang, Pempek, Gudeg, Papeda, terpahat kisah panjang tentang sejarah migrasi, adaptasi, dan dialog antarperadaban. Setiap rasa adalah jejak, setiap aroma adalah narasi, setiap sajian adalah perjalanan.


Indonesia, dengan segala lapisan dan wajahnya, sejatinya adalah ensiklopedia kebudayaan dunia yang hidup. Setiap daerah adalah bab yang unik, setiap tradisi adalah kalimat yang berirama, dan setiap manusia adalah huruf yang menulis dirinya di dalam teks besar bernama Nusantara. Namun, kitab besar itu kini mulai berdebu, tertutup oleh modernitas yang bergerak tanpa makna. 


Kita sibuk membangun gedung-gedung tinggi, tetapi lupa menegakkan pilar batin. Kita mengejar kemajuan, tetapi abai terhadap ingatan. Di tengah arus globalisasi, kebudayaan kita sering direduksi menjadi latar eksotik untuk pariwisata, menjadi hiasan panggung tanpa kesadaran filosofis di baliknya. Ia dijual, dipertontonkan, dan difoto, tetapi jarang dipahami sebagai jalan menuju kebijaksanaan.


Dalam dunia digital, generasi muda mengenal batik hanya sebagai motif busana di toko daring, bukan sebagai teks visual yang menyimpan simbol kosmologis. Mereka menonton tari tradisional dalam durasi lima belas detik, terpesona pada gerakannya, tetapi kehilangan makna di balik ritmenya. Warisan budaya yang seharusnya menjadi medan pembentukan karakter kini tergelincir menjadi sekadar konten hiburan. Kebudayaan kehilangan keheningannya, kehilangan ruang untuk direnungkan. Ia kini hadir dalam bentuk citra, bukan kesadaran; dalam bentuk tontonan, bukan tuntunan.


Meski demikian, roh kebudayaan Indonesia belum mati, hanya tertidur dalam tubuh bangsa yang lupa bermimpi. Di sudut-sudut kampung, di balik festival kecil, di ruang latihan seniman muda, masih berdenyut api yang menjaga ingatan. Ada guru yang tetap mengajarkan gamelan di sekolah, ada anak muda yang menenun kembali motif leluhur, ada komunitas yang menulis ulang cerita rakyat dalam bahasa zaman. Mereka adalah penjaga sunyi dari warisan yang tak ternilai, penyair-penyair kebudayaan yang terus menulis di tengah bisingnya dunia.


Maka Kebudayaan Indonesia, dalam paradoks yang menyedihkan, memang terlalu kaya untuk diabaikan, tetapi terlalu sepi untuk dihidupkan. Namun mungkin, justru dalam kesunyian itu, ada peluang bagi kebangkitan. Sebab kebudayaan tidak memerlukan sorak sorai, melainkan kesadaran yang mendalam, yakni kesadaran bahwa di balik setiap tarian, tenunan, dan masakan, tersimpan filsafat hidup yang mengajarkan manusia untuk menjadi manusia.  (Bersambung)


* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads