Uncovering Braga: Rekaman di Balik Citra Jalan Braga -->
close
Pojok Seni
04 September 2025, 9/04/2025 12:04:00 AM WIB
Terbaru 2025-09-04T15:31:57Z
Artikel

Uncovering Braga: Rekaman di Balik Citra Jalan Braga

Advertisement

Oleh: Rizal Sofyan


Pukul 19.00 saya tiba di tulisan Landmark Braga untuk mengikuti salah satu karya dari Terap Festival 2025. Tempat tersebut menjadi titik temu apresiator dan Ganda Swarna dalam karyanya yang berjudul Resep Umur Panjang. Karya ini begitu intim karena hanya membatasi hanya untuk 4 orang apresiator saja. Ganda membuka pertunjukan ini dengan memberikan buku catatannya kepada setiap apresiator. Buku catatannya tersebut berisi petunjuk dalam pertunjukan, salah satunya ialah ia hanya akan berkomunikasi dengan menggunakan tulisan karena situasi Braga yang ramai. Instruksi lainnya yang tak kalah penting ialah untuk memejamkan mata dan mendengarkan. Satu suara terdekat dan satu suara terjauh dari tempat berpijak. Suara terdekat yang saya pilih ialah langkah kaki sementara yang terjauh ialah suara Adzan Isya.


Gambar 1. Udang Balado buatan warga Gang Apandi saat pertunjukan audio Resep Panjang Umur. Sumber: Dok. Pribadi.

“Jika sudah menemukan suara tersebut maka pertunjukan sudah dimulai” begitulah informasi yang dituliskan oleh Ganda dalam buku catatannya. Kami berlima segera pergi menuju jalan Braga untuk mendengarkan soundscape dari Braga di Kamis (28 Agustus 2025) malam. Suasana malam itu ramai, Ada suara fotografer yang sedang mengarahkan pose, musik jedag jedug dari salah satu took, rengek anak-anak ketika bersama orang tuannya, muda-mudi yang pacaran, koki yang sedang memasak, hingga pedagang yang menawarkan tisu. Pengalaman mengenai Braga dicercap bukan hanya oleh pendengaran, melainkan juga oleh penglihatan. Beginilah jalan Braga dengan segala keramaian yang tejadi, sebagai tempat wisata.


Di ujung jalan Braga terdapat 4 kursi plastik dengan headphone di masing-masing kursi. Ganda mempersilahkan untuk duduk sambil menyiapkan peralatan untuk adegan pertunjukan berikutnya. Ganda mengambil 1 kursi lagi dan duduk di tengah kami berempat dan mempersilahkan untuk menggunakan headphone sambil memberikan teks transkrip dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia. Kemudian saya dengan seksama mendengarkan audio yang Ganda putar dan mencermati teks transkrip.


Beruntungnya saya mengerti Bahasa Sunda, sehingga teks transkrip hanya saya gunakan untuk memastikan sudah sampai mana konten audio yang diputar. Sembari mendengarkan, suara dari sekitar saya bocor. Saya pun membiarkan mata saya melihat keadaan Braga yang ramai dengan kendaraan dan pengunjung yang berlalu lalang. Hal ini menjadi pemandangan yang kemudian kontras bagi saya dan menjadi gagasan situs spesifik yang ingin dimunculkan oleh seniman, yaitu menceritakan dua realita yang ada di Braga.


Narasi di rekaman audio membicarakan tentang bagaimana kehidupan warga di Gang Apandi, sebuah gang yang merupakan tempat tinggal dari warga asli Braga. Benar, Braga memiliki penduduk tidak hanya jejeran toko, café, bar, hotel, dan restoran seperti yang dikenal. Braga memiliki dua sisi yang bertolak belakang, di mana sisi kampung kota ini adalah liyan. Dia tersingkir oleh narasi sejarah kolonial dan pariwisata. Bahkan kampung kota ini mendapat bencana alam. Dalam rekaman audio disebutkan bahwa perkampungan di Gang Apandi terkena banjir besar pada awal tahun 2024. Sementara itu bagian Braga yang selama orang kenal itu tidak terkena Banjir dari sungai Cikapundung.


Pertentangan narasi tidak selesai sampai di sana. Rekaman pembicaraan dari Mak Irah, Ibu Tini, Teh Oca, dan Teh Ai menceritakan mengenai kegiatan memasak dan hal-hal yang berhubungan dengan memasak seperti harga bahan sembako, bantuan sosial (bansos), hingga menu kesukaan. Mak Irah adalah seorang warga yang berumur 100 tahun. Umur panjangnya ini diklaim berkat kerukunan dari warga Gang Apandi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang sosial dan daerah. Namun, semangat saling gotong royong dan merawat kerukunan dalam kerasnya kehidupan di Kota Bandung. Keluarga membentuk hubungan komunitas dan komunitas pun membentuk rasa kekeluargaan. Mereka saling menjaga dan peduli satu sama lain. Hangatnya kerukunan inilah yang mereka klaim menjadi ”resep umur panjang”, salah satunya untuk Mak Irah.


Kini pandangan saya dibenturkan oleh keadaan Braga yang biasa orang kenal. Ia ramai tetapi tidak begitu intim. Seseorang di sana tidak kenal dan bahkan tidak mau kenal sama sekali. Mereka datang ke Braga sebagai individunya masing-masing. Mereka datang untuk kebutuhannya sendiri bukan untuk membuat komunitas. Inilah yang berbenturan di Braga. Yang saling menjaga dibentuk secara organik dalam lingkungan yang liyan, sementara yang individualis dibentuk oleh konsumerisme pariwisata.


Bahkan Ganda menegaskan sisi yang kontras itu lewat bukti foto dan hidangan makanan hasil olahan warga Gang Apandi yang ada dalam rekaman dalam kemasan mangkok plastik kecil, yaitu urap dan udang balado – walaupun agak ribet harus mendengarkan, membaca transkrip, dan menyantap makanan dalam waktu yang bersamaan. Rasa kontras itu makin terasa ketika menyantap sambil menatap jalanan Braga yang ramai oleh pengunjung yang tidak saling terkoneksi. Namun, yang pertanyaan penting bagi saya ialah apakah kesepian itu memiliki hubungan kuat dengan “resep panjang umur”? Braga diciptakan untuk konsumerisme, tetapi Mak Irah, Ibu Tini, Teh Oca, dan Teh Ai yang tinggal di Gang Apandi melawan konsumerisme itu dengan membangun kerukunan dan menjadi “resep panjang umur” bagi mereka.


Ads