Oleh: Adhyra Irianto
Sebuah rumah yang terkesan "miring" disiram cahaya kemerahan di Zona B, Fabriek Padang, dalam gelaran Pekan Nan Tumpah 2025. Sampai kemudian, seorang perempuan (Siska Aprisia) dengan busana serba cokelat keluar dari pintu rumah, dan meraba dinding rumah tersebut. Intensitas cahaya meningkat, maka terlihatlah sebuah kanvas besar tergantung di dinding rumah itu. Sebuah celana besar tergantung di sisi kanan, dan bantal tidur tergantung di sisi kiri.
Hamparan panggung mini terbuat dari bambu berada di depan rumah tersebut, menjadi arena tengah pada pertunjukan tersebut. Seorang pemain gitar (Jumaidil Firdaus) berdiri di sisi paling kiri panggung, memainkan nomor ambient noise yang saling mengisi dengan performance yang ditampilkan Siska. Pertunjukan dimulai, sejumlah adegan-adegan visceral, memberi kesan betapa rumah tersebut menjadi ruang yang tak nyaman, dan luka demi luka dipahat di tubuh perempuan itu.
Satu persatu ornamen yang berada di "rumah" dieksplorasi oleh performer. Ia mulai dengan melukis di kanvas, seakan ingin menyampaikan suatu pesan. Tapi, seperti judulnya, pesan itu seakan tersangkut di kerongkongan, tak sampai pada pendengarnya. Kemudian, berpindah ke celana besar yang kemudian digunakan untuk menutupi sebagian besar tubuh bagian atas. Luar biasa kemampuan balancing tubuh dari performer ini, sehingga tetap stabil bergerak di atas lantai bambu yang tidak stabil itu.
Performer kemudian mengeksplorasi bantal, mulai dari menutup mata hingga dijepit di selangkangannya. Dari sini, intensitas sudah semakin meninggi. Didukung pula dengan musik yang semakin "mengganggu" tapi membekas. Performer dan dramaturgnya (Mahatma Muhammad) telah menyusun dengan teliti setiap detail spektakel untuk menggambarkan bahwa rumah itu telah menjadi medium penyiksaan mental yang brutal dan arketipal.
Limbah dari Tatanan Patriarkis
Dari proposisi karya yang ditawarkan (dipublikasikan di
PojokSeni dengan judul
Siska Aprisia Akan Tampil di Pembukaan Pekan Nan Tumpah 2025), karya ini adalah "arsip tak resmi" dari peristiwa-peristiwa yang dipinggirkan. Kekerasan domestik menjadi premis dari karya ini, ketika perempuan yang dipaksa tunduk dan diam dalam tatanan dunia patriarkis. Ibu (sebagai analogi untuk menyimbolkan feminin) disuarakan sebagai makhluk utama yang musti dihargai oleh orang-orang yang lahir dari rahimnya. Tapi pada kenyataannya, mereka adalah kaum yang terus diikat oleh kesepakatan para pria.
Kekerasan dalam rumah tangga, benturan dalam tradisi, hilangnya kebebasan, kesulitan dalam karir, dan kesempatan yang lebih kecil dalam banyak hal, jadi rentetan paragraf yang dituliskan lewat pertunjukan ini. Hidup seakan hanya milik pria, aturan ditentukan lewat kesepakatan pria, dan wanita akan lebih dihargai bila manut pada kesepakatan itu. Keluar dari tatanan maskulin tersebut, maka wanita akan berhadapan dengan penghakiman sosial yang pedih.
Tumpukan-tumpukan rasa pedih inilah yang menjadi "limbah" dari tatanan patriarkis yang harus dibicarakan ulang, dievaluasi, ditata, hingga didekonstruksi. Limbah dari tatanan yang kaku dan kolot ini, semestinya sudah harus dibuang sejauh-jauhnya. Sedangkan tatanannya sudah mesti harus berubah mengikuti perkembangan zaman. Protes ini yang disampaikan dengan getir oleh Siska.
Getir yang disampaikan dengan visceral lewat gerak Siska, menjadi cukup berhasil menyublim karena didukung suasananya dengan musik dari Jumaidil Firdaus, panggung yang dirancang oleh Yusuf Fadly Aser. Semakin kuat dengan dukungan Mahatma Muhammad menyusun setiap detail dan susunan dramatiknya. Maka perlahan karya ini memukul sekaligus mengganggu, hingga membekas di ingatan. Sedikit meminjam kata-kata Albert Camus, bahwa seni hadir sebagai pemberontakan, dimana pengingkaran hadir bersamaan dengan pengagungan. Lewat pertunjukan ini, Siska dan kolega kolaboratifnya mencoba menggedor tatanan kolot yang mengekang, sambil membayangkan tatanan baru yang mungkin lebih baik dan ramah bagi perempuan.
Lewat karya ini, Siska mengajak kita berdialektika. Antara masyarakat yang sudah nyaman dengan tatanan patriarkis, dilawankan dengan ide-ide konservatif. Bukankah seni baru bisa disebut seni, bila memadukan keindahan dan kesubliman? Bila kesubliman selalu dikaitkan dengan sifat maskulin, maka keindahan akan dikaitkan dengan feminin. Bukankah bila maskulin dan feminin berada dalam satu tatanan yang memberikan porsi yang sama, maka hidup akan menjadi lebih "estetik"?