Culture Shock & Musik Tradisional -->
close
Pojok Seni
12 August 2025, 8/12/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-08-12T01:00:00Z
Artikel

Culture Shock & Musik Tradisional

Advertisement
Ambrosius M. Loho


Oleh: Ambrosius M. Loho, S. Fils., M. Fil. (Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado, Pegiat Seni & Filsafat)


Kebudayaan selalu berubah, dan bisa dikatakan berubah di dalam waktu. Sebagaimana kita tahu, waktu itu terus berubah, maka apa pun yang ada di dalam waktu, pasti berubah. Dalam kerangka tersebut di atas, kita pasti memahami bahwa kebudayaan saat ini mengalami berbagai pengaruh selama masa perkembangannya. Maka karena adanya banyak pengaruh ini, benturan budaya juga pasti tak terhindarkan.


Budaya itu, kendati menjadi fondasi bagi berbagai realitas, ternyata juga bisa terpengaruh oleh realitas yang ada disekitarnya, bahkan segala sesuatu yang ada didalamnya. Kondisi itu sekurang-kurangnya bisa disebutkan satu yang paling dominan yakni: fakta adanya teknologi yang, bukan hanya mendominasi setiap subjek dalam berbagai bidang, tapi juga subjek mulai berada pada situasi yang tergantung pada teknologi tersebut. Dalam konteks yang sama pula, penulis melihat bahwa ada fenomena yang muncul dari situasi demikian. Fenomena itu adalah munculnya culture shock, sebagai konsekuensi dari budaya setempat yang 'digoyang' (baca: diuji).


Culture Shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon. Hal ini didapatkan dan disarikan dari berbagai sumber.


Jadi, dapat dikatakan bahwa culture shock adalah gangguan ketika segala hal yang biasa dihadapi saat di tempat asal menjadi sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru dan yang asing. Culture shock juga menunjuk kepada sebuah situasi ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya, maka ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu. 


Sejalan dengan hal tersebut, dalam konteks refleksi sederhana ini, culture shock' dalam konteks musik dan seni tradisional, merujuk pada pengalaman menghadapi gaya musik, ekspresi seni, atau norma budaya khususnya seni yang tidak familiar dalam bidang seni yang berbeda secara signifikan dari yang biasa dikenal. Hal ini dapat menimbulkan perasaan kebingungan, ketidaknyamanan, atau bahkan ketidaknyamanan saat terpapar perbedaan tersebut, namun juga membuka peluang untuk belajar, berkembang, dan menghargai perspektif budaya yang beragam.


Pendek kata, culture shock dalam musik tradisional, secara umum, adalah pengalaman kebingungan dan kecemasan yang dapat terjadi ketika seseorang berhadapan dengan budaya musik yang baru, yang sangat berbeda dari budaya musiknya sendiri. Hal ini dapat muncul dalam bentuk pertemuan dengan genre musik yang tidak familiar, teknik seni yang asing, atau simbolisme budaya yang tidak dikenal, termasuk memaksakan aliran musik tertentu dimainkan dalam musik berbasis tradisi atau musik yang kental dengan tradisi.


Dalam konteks pengembangan atau pelestarian atau juga penggarapan aransemen musik kolintang, penulis yakin bahwa fenomena gegar budaya juga terjadi. Garapan musik kolintang dulu, sudah sangat berbeda dengan tampilan garapan masa kini. Hal ini ditengarai sebuah fakta bahwa seniman-seniman penggarap justru berkeyakinan bahwa dengan garapan baru bergaya modern misalnya, kolintang akan diminati dan akan disukai secara berkelanjutan. Demikian juga, musik kolintang yang telah merambah anak muda dan anak-anak yang berada jenjang sekolah dasar sampai menengah, merasa bahwa musik dengan gaya modern adalah yang paling laku dipasaran. 


Hal ini pun berlanjut pada keinginan kuat para pembelajar kolintang di kategori sekolah sampai anak muda, untuk setidaknya merubah style/gaya dan model bermain musik kolintang ini, sehingga menjadi primadona dan pilihan utama pendengar.


Namun begitu, fenomena culture shock justru dialami oleh mayoritas masyarakat yang masih sangat kental dengan garapan musik kolintang jaman dulu (baca: jadul), yang penampilannya memang tampak hanya sekedarnya, tanpa digarap secara lebih menarik dan berkesan.


Namun demikian, upaya-upaya penyesuaian penulis lihat telah mulai dieksperimentasi oleh para seniman. Dari upaya tersebut, culture shock dalam musik dan seni haruslah dipandang sebagai sesuatu yang merupakan bagian yang wajar dari pertemuan dengan ekspresi budaya baru dan berbeda. Meskipun awalnya dapat menantang, hal ini juga membuka peluang untuk belajar, pertumbuhan pribadi, dan apresiasi yang lebih dalam terhadap dunia seni dan musik yang beragam.

Ads