Advertisement
Oleh: Maharani Hares Kaeksi*
Setiap
bulan Ramadan tiba, kota Semarang memiliki tradisi yang khas untuk menyambut
bulan suci itu, yaitu tradisi dhugdhèran. Tradisi ini pertama kali dilaksanakan
sejak abad ke-19 pada masa pemerintahan Raden Mas Tumenggung Aryo (R.M.T.A.)
Purbaningrat. Di antara semua gegap gempita, bedhug yang ditabuh, meriam yang dibunyikan,
dan pasar malam yang riuh, terdapat salah satu maskot yang selalu jadi pusat
perhatian yakni warak ngêndhog.
Bukan hanya mainan atau maskot arak-arakan, warak ngêndhog adalah makhluk
mitologis yang diam-diam menyimpan makna tentang pengendalian diri dan berpuasa
di bulan Ramadan.
Dhugdhèran
sendiri berasal dari kata “dhug” yaitu suara bedug yang dipukul dan “dhèr” dari
suara meriam yang dibunyikan. Istilah dhugdhèr tersebut merupakan gejala onomatopoeia
yakni pembentukan kata yang dihasilkan dari tiruan bunyi oleh manusia, hewan,
alam, mesin, dan peralatan. Dhugdhèr dengan ditambahi akhiran ‘–an’ menjadi
dhugdhèran. Sehingga, makna yang terkandung pada onomatopoeia istilah dhugdhèr
dengan ditambah sufiks ‘–an’ mengubah kata benda tersebut merujuk pada sebuah
kegiatan.
Warak ngêndhog pada awal
kemunculannya adalah mainan yang dijual di pasar malam dhugdhèran, yang
selanjutnya dijadikan sebagai maskot arak-arakan dhugdhèran. Beberapa sumber menyatakan pendapat yang
berbeda mengenai etimologi warak.
Ada yang
berpendapat bahwa warak berasal dari
bahasa Arab waro’a, wariq yang
berarti menghindari yang dilarang oleh Allah SWT[1]. Sumber lain menyebutkan warak berasal dari kata wara’
atau wira’i yang berarti larangan
atau pantangan[2]. Menurut
Kamus Jawa Kuna – Indonesia dituliskan bahwa warak artinya badak. Pada Boesastra Djawa[3]
dituliskan arti warak yakni kewan akoolit kandel sarta nganggo tjolea
yang artinya hewan berkulit tebal serta mempunyai cula. Terdapat asumsi lain[4] pula bahwa kata warak berkaitan dengan binatang burak, yakni sesosok makhluk
tunggangan yang dinaiki Nabi Muhammad SAW dari Masjid Al-Aqsa menuju Mi’raj
ketika peristiwa Isra Mi’raj.
Selain etimologi warak yang diperdebatkan, wujud material warak juga menjadi bahan perselisihan pendapat di antara para tokoh dan budayawan. Warak saat ini diyakini oleh masyarakat sebagai simbol akulturasi budaya di kota Semarang, yakni kepalanya merupakan kepala naga (etnis Tionghoa), berbadan dan berkaki empat seperti kambing (etnis Jawa), dan berleher panjang seperti unta (etnis Arab). Wujud warak ngêndhog sendiri memiliki struktur berkaki empat tanpa cakar, berbadan seperti binatang mamalia kambing, ekor panjang yang tegak, berleher panjang, bercula dua, mulut yang menganga, gigi yang tajam, dan berbulu keriting. Warak sebagai binatang rekaan, awalnya memiliki empat roda di bawah papan yang menyangga keempat kakinya dan tali di depan, sehingga warak dapat ditarik dan dimainkan. Warak pada awalnya juga memiliki êndhog sehingga berwujud satu kesatuan yang sering disebut warak ngêndhog.
Menjaga Mitologi, Menjaga Makna
Berbicara tentang warak bukan hanya memperdebatkan etimologi dan wujud materialnya, terdapat filosofi mendalam yang tertanam pada tiap bagiannya. Filosofi ini dituturkan oleh Muhaimin (anggota Jamaah Peduli Dhugdhèr). Terdapat tiga kata kunci dalam tubuh warak:
- Ngêden: dalam bahasa Jawa artinya menahan, mengejan. Hal ini dapat berarti bahwa, manusia yang berpuasa diwajibkan menahan hawa nafsunya sekuat tenaga.
- Ngêndhit: Pola bulu yang ada pada perut warak seharusnya ngêndhit atau memutar vertikal mengelilingi perut warak. Ngêndhit berasal dari kata kêndhit yaitu kain untuk melilit perut, biasa digunakan perempuan setelah melahirkan untuk mengecilkan perut Ngêndhit mengandung arti bahwa manusia diharapkan menahan hawa nafsu mengendalikan perutnya dari rasa lapar dengan cara berpuasa.
- Ngêndhog: êndhog atau telur, diibaratkan sebaagi manifestasi pahala yang didapatkan hasil dari kesabaran. Setelah melakukan ngêden dan ngêndhit, manusia dapat kembali suci layaknya kertas putih dan mendapatkan êndhog tersebut. Êndhog biasanya terletak di bawah warak, dapat berupa telur ayam ataupun telur bebek yang disimbolkan sebagai pahala yang didapat setelah melaksanakan ibadah Ramadan.
Gambar
1. Warak ngêndhog di arak-arakan dhugdhèran 2019
(Sumber:
Kaeksi, 4 Mei 2019)
Tubuh, Arena Kuasa, dan Perubahannya
Dalam
pandangan Michel Foucault, tubuh bukanlah entitas netral. Tubuh adalah arena
kuasa, yang dibentuk dan dikontrol oleh sistem sosial, agama, dan budaya. Pada konteks
warak ngêndhog, dapat dilihat bagaimana tubuh warak ini dicipta untuk
mengkomunikasikan nilai moral yakni menahan lapar, mengendalikan syahwat, dan
menghasilkan kebaikan. Hal ini bertautan dengan tubuh manusia pada saat
berpuasa. Alih-alih tidak makan dan minum, melainkan tubuh juga sebagai arena
perjuangan rohani. Melalui hal ini, warak menjadi representasi kolektif tentang
tubuh yang dikendalikan, sebuah narasi visual dari berpuasa.
Seiring berjalannya waktu, warak
berubah kehilangan bentuk aslinya. warak yang muncul dewasa ini jarang sekali
yang ditemukan berpola ngêndhit dan
terdapat endhog di bawahnya. Warak yang sering muncul pada
arak-arakan tidak memiliki wujud yang seperti disebutkan di atas. Bulu tubuh
warak yang ditemukan biasanya berpola horizontal maupun bebas sesuai
kreativitas pengrajin warak atau
bahkan pemesannya. Hal tersebut
memberikan implikasi bahwa kurangnya pemahaman masyarakat dan pengrajin warak tentang filosofi yang terkandung
pada tubuh warak. Djawahir Muhammad
(Ketua Jamaah Peduli Dhugdhèr)
menyetujui bahwa bentuk warak yang
semakin aneh, tidak dapat secara jelas menggambarkan maksud warak sebagai simbol hawa nafsu manusia.
Selain
pola ngêndhit yang memiliki filosofi
pada warak, warna tubuh atau bulu warak
ngêndhog juga memiliki makna. Pada sketsa warak ngêndhog oleh Djawahir, disematkan warna merah, kuning,
hijau, dan biru. Warna tubuh warak
yang ditemukan dewasa ini sudah jarang yang hanya memakai empat warna tersebut.
Melainkan, warna yang disematkan dapat berwarna-warni sesuai kreativitas dan
inovasi para pengrajin warak.
Gambar 4. Sketsa warak ngêndhog oleh Djawahir Muhammad (Sumber: http://agarlancar.blogspot.com/2012/06/6-folklor-warak-ngendok.html)
Melihat
konteksnya, warak ngêndhog merupakan
ikon yang memiliki relasi historis sebagai penanda dhugdhèran. Pengaruh sosial politik kemudian terjadi, yakni
pembentukan identitas baru yang diwacanakan oleh pemerintah. Pembentukan
identitas baru tersebut dimanifestasikan pada logo branding Kota Semarang yang
bergambar warak tanpa êndhog pada 2014. Hal tersebut kemudian
dikembangkan lagi berkaitan dengan kepentingan pariwisata. Pembentukan wacana
identitas oleh pemerintah berlanjut dengan mendirikan patung warak yang dihadirkan tanpa êndhog dengan berkepala naga. Selain
itu, berkembang pula bentuk-bentuk warak
yang ditampilkan serupa dengan patung warak tersebut. Apabila melihat warak sebagai sebuah teks, maka
perubahan teks dapat dilihat dari ketidakhadiran êndhog, pola perut warak yang
tidak ngêndhit, dan bentuk kepala.
Perubahan tersebut menjadikan bentuk warak ngêndhog tidak lagi ‘utuh’ dah kehilangan esensinya.
Demikianlah warak berdialektika pada setiap
zamannya. Warak diharapkan dapat
terus beradaptasi dan bertahan hingga masa yang akan datang, dengan tidak
mengabaikan filosofi dan makna yang ada dibalik wujud orisinalnya. Seluruh
komponen diharapkan mengerti dan memahami makna awal warak ngêndhog sebagai sebuah kesenian yang tertaut pada
kegiatan dhugdhèran untuk menyambut
bulan Ramadan.
*) Penulis merupakan seorang penari dan akademisi
dari Semarang, serta pengajar di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung. Pendidikan
terakhir di Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM dan lulus tahun 2020.
Rujukan dan Bahan Bacaan:
Assaneo,
M.F., Juan I.N., Marcos A.T. 2011. “The
Anatomy of Onomatopoeia” article in PloS
ONE Journal. Argentina: University of Buenos Aires.
Foucault,
Michael. 1978. Discipline and Punish: The
Birth of the Prison. New York: Vintage Books
Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: Uitgevers
Maatschappij.
Senoprabowo
A., Khamadi, dan Laksana D.A.W. 2018. “Perkembangan Mainan Warak Ngendog sebagai Mainan Tradisional Kota Semarang, Prosiding Seminar Seni dan Desain 2018 Konvergensi Keilmuan Seni Rupa dan Desain
Pada Era 4.0, hal 149-156. Surabaya: Jurusan Seni Rupa FBS Universitas
Negeri Surabaya.
Supramono.
2007. “Makna Warak Ngendhog dalam Tradisi Ritual Dugderan di Kota Semarang”. Tesis Program Studi Pendidikan Seni,
Program Pascasarjana, Univesitas Negeri Semarang.
Triyanto, Nur Rokhmat, dan Mujiyono.
2013. “Warak Ngendog: Simbol
Akulturasi Budaya pada Karya Seni Rupa” dalam Jurnal Komunitas Volume V No. 2, hal 162-171. Semarang: Jurusan
Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
[1] Triyanto,
dkk, “Warak Ngendhog: Simbol Akulturasi Budaya pada Karya Seni Rupa”, Jurnal Komunitas Volume 5 No. 2,
(Semarang: Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Semarang, 2013).
[2] Abi
Senoprabowo, dkk, “Perkembangan Mainan Warak Ngendog sebagai Mainan Tradisional
Kota Semarang”, Prosiding Seminar Seni
dan Desain 2018 Konvergensi Keilmuan
Seni Rupa dan Desain Pada Era 4.0, (Surabaya: Jurusan Seni Rupa FBS
Universitas Negeri Surabaya, 2018), 149-156.
[3] Poerwadarminta,
Baoesastra Djawa, (Batavia: Uitgevers
Maatschappij, 1939), 656.
[4] Dewi
Yuliati, “Strengthening Indonesian National Identity through History Semarang
as a Maritime City: A Medium of Unity in Diversity”, Global Journal of Human-Social Science History Archaeology &
Anthropology Volume 14 Issue 1 Version 1.0, (USA: Global Journals Inc,
2014), 44.