LUKA PERSONAL, NARASI GLOBAL: Catatan Pertunjukan Djakarta International Theatre Platform 2025 -->
close
Pojok Seni
14 August 2025, 8/14/2025 11:11:00 PM WIB
Terbaru 2025-08-14T16:11:02Z
Ulasan

LUKA PERSONAL, NARASI GLOBAL: Catatan Pertunjukan Djakarta International Theatre Platform 2025

Advertisement

Oleh: Adhyra Irianto


Karya seni, dalam konteks ini adalah seni pertunjukan, lahir dari ekspresi pribadi. Pengalaman personal akan menjadi pondasi karyanya. Namun, ketika sudah dipertunjukkan, maka domain pemaknaan dari suatu karya adalah milik publik atau pembacanya. Roland Barthes lewat the Death of Author mengatakan bahwa pembaca atau penonton memiliki "hak preogatif" untuk menentukan makna dari karya yang mereka tonton. 


Richard Schechner menyetujui itu, dan berkata bahwa pengkarya tidak bisa lagi mengontrol makna setelah pertunjukan berlangsung. Makna dibentuk dan ditangkap oleh penontonnya dengan basis pengalaman apriorinya masing-masing. Begawan seni Indonesia, WS Rendra juga sepakat. Ia bilang teater adalah milik masyarakat, maka ia akan menjadi ruang publik dan wacana sosial setelah dipertunjukkan. Maka, saya menggunakan hak tersebut. Apa yang saya tangkap dan alami dari enam pertunjukan berikut ini adalah murni pandangan personal, dengan (sedikit) menyisihkan pandangan personal dari pengkarya.


1. Teater Tetas Jakarta, Plunge (karya Jean Tay, sutradara Harry Saus)




Pertunjukan pembuka, dari Teater Tetas Jakarta, membawa lakon Plunge yang ditulis oleh dramawan Singapura, Jean Tay, disutradarai oleh Harry Saus. Hal yang menarik, setelah melihat naskah aslinya, bahwa grup ini melakukan adaptasi interpretatif, dengan memperbesar satu fokus. Yah, Jean Tay menceritakan kisah yang terjadi di sekitar tahun 1998, ketika ekonomi negara-negara di Asia Tenggara perlahan terpuruk (plunge). Dari situ, kita bisa mengerti kenapa judulnya, "plunge". Oleh Teater Tetas, pertunjukan ini diarahkan untuk mempertebal isu kerusuhan di Jakarta, Mei 1998. Satu aktor yang tadinya memerankan dua orang, yakni Isabel Lim (presenter) dan Ina (seorang remaja yang ikut demonstrasi), dipecah. Hal itu menjadikan panggung menjadi tiga bagian yang terfragmentasi. Pilihan ini menarik, namun bukan tanpa konsekuensi. 


Irama menjadi hal yang penting dalam bentuk seperti ini, sebagai penjahit antar adegan yang terfragmentasi ini. Sahut-sahutan antara penyiar, tiga pria simbolis, dan remaja akan menjadi melodinya bisa dijahit dengan lebih baik dengan (meminjam istilah musik) beatmatching. Yah, penyiar tentunya punya kecenderungan tempo tertentu yang sudah melekat di kepala banyak orang, maka tiga pria dan (khususnya) pemeran remaja juga mesti di-beatmacthing dengan tempo tersebut.  Cahaya yang juga akan menekankan peristiwa, menjadi seperti perkusi pengiring irama musiknya. Bebunyian dan layar besar di belakang berfungsi sama seperti dialognya. Semuanya menjadi unsur simbolik yang bisa dipertimbangkan lagi agar jadi lebih baik.


2. Tidur Lambak (Tapir Studio, Malaysia)




Ketika masuk ke Wahyu Sihombing, saya langsung diberikan tikar dan bantal. Nyatanya, ini adalah bentuk pertunjukan immersive, yang meminta penonton untuk terbenam di dalam pertunjukannya. Seorang lelaki yang (mungkin) susah tidur, mematikan lampu, memasang kelambu, dan juga memasang racun nyamuk. Sejumlah interaksi dilakukan dengan "penonton" (lebih tepat disebut partisipan), seperti membacakan kertas yang sudah diberikan di depan pintu tentang pengalaman bermimpi dan seterusnya. Sebuah narasi non-linear yang terjadi di ruang non-konvensional, bersepakat dengan narasi utama festival ini; Rumah | Panggung. Ditambah lagi dengan instalasi kelambu yang memukau, menjadi bagian utama dari pertunjukan ini.


Pertunjukan ini menginginkan ritual tidur bersama ini menghadirkan satu pengalaman yang komunal, alih-alih personal. Kemudian akan ditutup dengan "dream performance" yang mengaburkan batas antara tidur dan terjaga. Namun, sayangnya, dengan semua situasi terberi yang ada di dalam ruangan itu; dingin, temaram, dan sound ambient bebunyian khas dini hari, menjadikan saya benar-benar tertidur, sebelum akhirnya terbangun ketika pertunjukan sudah benar-benar selesai. Ini yang mungkin perlu dipertimbangkan oleh Tapir Studio, karena kondisi tidur seseorang itu sangat berbeda. Ada yang tidur dalam kondisi setengah terjaga, ada yang tidur mati, ada yang mengeluarkan suara ngorok yang keras, bahkan mungkin ada juga yang mimpi berjalan. Mimpi yang dihasilkan juga berbeda, berdasar pengalaman empiris masing-masing, sangat kecil kemungkinan bisa menjadi seragam hanya karena berpindah posisi tidur.


3.Lesson of Silence (Agnes Christina, Magelang)




Seorang aktor duduk di meja kasir toko tekstil, dan seorang aktor menjadi anaknya, menggunakan topeng besar. Keduanya mengajak kita untuk mendengarkan sebuah narasi cerita dengan alur lambat, hening, dramatik yang flat, dan properti berwarna pucat. Dramaturgi yang ditawarkan adalah story telling, dan para aktor yang bergerak lambat. Meski menceritakan sebuah tragedi yang traumatik, tapi pertunjukan ini tidak meronta-ronta untuk dikasihani, atau mengajak pemirsa untuk berlarut dalam emosi. Ada banyak tokoh yang imajiner, diceritakan lewat narasi, namun tak muncul di panggung. Silence yang menjadi warna utama dalam pertunjukan ini menjadikan situasi yang tidak nyaman, menguatkan keinginan pengkarya agar penonton ikut merasakan seperti apa pembungkaman, sehingga para aktor harus hidup dalam diam hanya untuk tetap aman.


Topeng yang karikatural, properti digambar kartun di atas karton, diam (yang tak sebenar-benarnya diam), menjadi peristiwa yang berjalan dalam bahasa senyap. Ketakutan, menjadi konkrit lewat simbol gerak, gestur, dan spektakel di atas panggung. Hanya saja, mungkin sekedar saran, dengan mekanisme panggung seperti itu, akan lebih baik bila bisnis akting dan gestur divisualkan dengan gaya sensibilite histrionique yang artifisial. Hal itu akan memberi efek "dunia baru yang otonom" yang plastis dalam imajinasi penonton, dan menghancurkan realitas ilusi ala realisme yang masih tergambar dalam akting para aktor.


4. Voice After Cak (Mulawali Institut, Bali)




Performance art satu ini menjadikan kecak sebagai titik awal penciptaan. Setiap orang terlibat dalam sebuah permainan yang unik, ketika masing-masing memperebutkan microphone untuk menceritakan siapa mereka masing-masing, sebelum kenong dipukul oleh beberapa orang penonton yang sukarela menjadi partisipan. Setidaknya ada dua aturan, internal dan eksternal. Aturan eksternal, penonton akan memukul kenong tiga kali bila merasa bosan dengan cerita yang disampaikan, dan memukul kenong panjang berkali-kali bila merasa pertunjukan harus diselesaikan. Dengan aturan ini, pertunjukan bisa jadi sangat panjang, sekaligus sangat pendek. Aturan internal, para performer akan merebut microphone dari pencerita yang terjeda. Kemungkinan pertunjukan tersebut diubah jalan ceritanya, atau mungkin bisa berulang-ulang, terganggu, dan sebagainya, seperti dikatakan Schechner, bahwa panggung menjadi tempat bernegosiasi antara penonton dengan performer.


Semua energi dikeluarkan sepenuh mungkin tanpa jeda oleh para aktor, ketika permainan itu dimulai. Semuanya bercerita tentang pakaian yang mereka gunakan, ingatan dan emosi mereka tentang Bali dan tari Kecak, pengalaman empiris, pengalaman artistik, sampai akhirnya ceritanya merembet ke mana-mana. Dimensi ini juga menjadi hal yang menarik, di luar adegan berebutan microphone, dan mereka yang terus bergerak ketika tidak memegang microphone. Kapan mereka bercerita, kapan bergerak, kapan berhentinya, semua terjadi dalam tempo sangat cepat, tanpa jeda, dan semakin groteks di ujung permainan. Getar kecak, menjadi jembatan penyebrangan yang menyatukan para performer dari Bali, Sulawesi, Jakarta, dan berbagai kota lainnya yang menjadikan tubuh mereka sebagai objek naratif. Saya tidak mau membicarakan tentang “seni profan” (yang entah mengapa dioposisikan dengan seni tradisi oleh salah satu media tanah air), sebelumnya dipaparkan lewat teks di proyektor sebelum “game” tersebut dimulai. Sebab, masalah ini tidak begitu menjadi sorotan dan fokus di pertunjukannya.


5. Bayang Kaki Limo (Teater Sambilan Ruang, Sumatera Barat)




Pertunjukan yang disutradarai oleh Fitri Noveri ini membawa pasar tradisional dengan segala hiruk pikuk dan obrolan bebasnya ke DITP 2025. Sandiwara Kampuang ini berpindah posisi dari nagari-nagari di Sumatera Barat yang nyaris homogen menuju kota metropolitan Jakarta yang heterogen. Bahasa Minang yang dibawakan, ditranslasi ke bahasa Indonesia lewat subtitle yang diproyeksikan di dinding belakang. Aktor-aktor yang kebanyakan berasal dari masyarakat umum; supir truk, penjual sarapan, mahasiswa, anak SD, dan sebagainya, tampil bak aktor profesional dalam pertunjukan tersebut.


Secara umum, saya melihat bahwa pertunjukan ini berjalan dengan seorang aktor sentral yang mengatur ritme permainan. Namun, aktor-aktor lain tetap bisa bermain dengan stabil, mengikuti ritme dan tempo yang dibangun oleh aktor sentral tadi. Hanya saja, mungkin bisa dipertimbangkan untuk memberikan penawaran bentuk, ruang, dan lainnya untuk konteks DITP 2025. Sebab, pertunjukan ini lahir dan tumbuh di masyarakat agraris pedesaan, namun tetap mempertahankan bentuk konkritnya ketika dipertunjukkan di hadapan masyarakat urban yang heterogen. Saya kira, beradaptasi dengan penawaran baru untuk mempertunjukkannya di hadapan publik baru, akan jauh lebih efektif untuk memperkenalkan sandiwara kampuang ini. Ketimbang mempertahankan bentuk yang asli di habitat awalnya.


6. Mother Doesn't Know Mnemosyne (Tra Nguyen, Vietnam)




Baru saja duduk untuk menyaksikan pertunjukan ini, atmosfer aneh langsung terasa. Ada kain panjang yang disusun saling-silang di lantai panggung, serta seorang ibu-ibu bermain alat musik tradisional Vietnam (terlihat seperti paduan antara kecapi dengan rebab, namun hanya satu senar). Kemudian, seorang performer membagikan satu bola pingpong yang ditempeli kain, sambil berkata, "If you see a monster, throw it to the stage". Kata itu berulang-ulang disebutkannya ke setiap penonton. Yah, setiap orang yang duduk di dalam Wahyu Sihombing saat itu. Maka saat itu, penonton sudah menjelma menjadi partisipan, yang bersiap untuk melempar jumrah ketika monster itu datang. Selain menyaksikan pertunjukan, maka saya (dan penonton lain) menjelma menjadi seorang partisipan yang terus bersiaga menatap berkeliling, memastikan untuk melempar monster di waktu yang tepat.


Kemudian, performer itu melompat seperti permainan Lompat Kodok (di Pulau Jawa, mereka menyebutnya permainan Engklek) di setiap kain yang saling silang tersebut. Adegan itu terus berulang, dengan sebuah narasi, dan video yang diputar di proyektor. Hening, mengantarkan penonton pada ingatan-ingatan yang berbeda tentang seorang yang melompat-lompat di antara kain tersebut. Ketika gambar benang dan jarum terpapar besar lalu di-zoom hingga ke ukuran yang sangat besar, performer itu mulai menjelma menjadi jarum yang terus melompati kain, menjahit setiap kenangan. Ibu yang tadinya bermain alat musik itu, duduk tanpa bersuara, bahkan tanpa bergerak. Ia mungkin benar menjadi seorang ibu yang tidak tahu dengan Mnemosyne, seorang dewi ingatan di mitologi Yunani.


Sampai akhirnya, satu persatu orang melempar bola, pertanda ia telah melihat monster itu datang. Tentu pandangan saya pun segera berpendar untuk mencari monster yang dimaksud. Satu-satunya orang yang terlihat sebagai monster, bagi saya, adalah perempuan berbaju putih yang sedang melompat-lompat tiada henti. Ketika kalimat, "What comes at the same time moving up, down, left, and right?" selesai dipaparkan, saya tidak terpikir untuk menjawab pertanyaan yang sama seperti labirin kain di atas panggung. Saya justru segera melempar bola ke atas panggung, ke arah perempuan berbaju putih yang tak henti melompat. Interupsi performatif yang akhirnya malah menjadikan psikologis saya justru semakin tak nyaman. Perempuan itu kemudian melipat kain, namun bola yang berserakan masih ada di atas panggung, seperti menjadi penanda ingatan yang berserakan dalam labirin yang tak berujung.

Ads