Advertisement
![]() |
Arifin C Noer (foto: idntimes) |
Oleh: Wanda Rahmad Putra
“Teater saya
tanpa masa silam atau seluruh teater di mana saja adalah masa silam teater saya;
teater saya adalah teater sekarang, teater waktu dan tempat di mana saya hidup”
__Arifin C.
Noer__
Sore hari, awan
bergantung rendah di atas G.O.S Patanjala Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Langit dan udara
Bandung terasa pekat, pertanda akan turun hujan. Saya tengah bersiap untuk
latihan pertunjukan teater Seru Dera
Sudut Rahara (SDSR), sebuah garapan kelompok Teater Alibi yang disutradarai
oleh Irwan Guntari. Saat itu, di tengah suasana persiapan yang selalu akrab dan
riuh, tiba-tiba sang sutradara Irwan Guntari mengeluarkan sesuatu dari tasnya,
lalu menyerahkan sebuah dokumen—salinan catatan Arifin C.Noer. “Ini,” Katanya
singkat, sambil menyerahkan, kemudian memandang sembari tersenyum seolah menantang.
Dokumen itu adalah Catatan-Catatan Arifin
C. Noer tentang Teater, Film dan Manusia Indonesia. Di halaman cover,
diberi keterangan bahwa tulisan-tulisan ini dikumpulkan dari arsip Arifin yang tersebar,
yang ditemukan di koran-koran, majalah, rak-rak buku, map lusuh dan
tempat-tempat lainnya—yang dengan susah payah dikumpulkan oleh Jajang, Vivik,
Embie, Wieka. Ide-ide dari catatan ini juga bisa ditemukan di buku Arifin yang
terbit berjudul Teater Tanpa Masa Silam (2005).
Tentu saja saya menyambut baik dokumen ini, sembari mengucapkan terimakasih,
saya mulai membuka lembar pertama.
Dokumen itu terasa ringan, ringkas, tidak
terlalu tebal. Salah satu kalimatnya segera mencuri perhatian saya: “Metode latihan saya adalah metode
eksploratori, metode yang menyandarkan pada sikap berani dan nekad seorang
penjelajah belantara”. Sebuah ungkapan yang terasa sederhana, tidak asing,
namun cukup menggugah pikiran saya. Arifin menutup kalimatnya dengan kata-kata:
“..Untuk itu, dibutuhkan sikap lugu dan
kekanakan, namun sekaligus kemampuan intelektual. Keseimbangan antara kedua
unsur ini sangat menentukan hasil final dari teater saya”. Latihan SDSR
kali ini terasa berbeda, semacam ada dorongan yang mengajak saya untuk berpikir
ulang tentang bagaimana proses teater dimaknai. Bukan hanya sebagai sebuah
pertunjukan, tetapi juga sebagai sebuah proses dari pertualangan yang nekad
seorang penjelajah belantara, sebagaimana yang dikatakan Arifin?
Tulisan ini saya
fokuskan pertama-tama pada fragmen-fragmen pemikiran yang muncul di benak saya
ketika memahami metode eksploratori ala
Arifin. Fragmen pertama saya mulai dengan pandangan bahwa teater harus berpijak
pada semangat menjelajah, nekad dan bukan hanya tunduk pada peniruan atas pakem.
Saya menyadari ini bukan ide baru, apalagi jika dihubungkan dengan konteks
teater kekinian yang selalu, dan terlalu bersemangat pada penemuan bentuk-bentuk
baru. Secara umum, diskursus teater Indonesia selalu dibenturkan oleh dua
pandangan besar: Pertama warisan bentuk-bentuk estetika tradisional yang mapan,
lalu yang kedua pengaruh pandangan atau pikiran Barat yang diasosiakan dengan ‘kemajuan’.
Buah dari dua kutub pandangan pemikiran ini mempengaruhi banyak kelompok teater
di Indonesia dalam menegosiasi karya-karya mereka. Pertunjukan
tradisional—seperti wayang orang, lenong, ketoprak, randai, atau mamanda—dijadikan
sebagai titik tolak penciptaan. Pilihan sikap semacam ini memang penting
sebagai sebuah usaha pelestarian, apalagi dalam suasana invansi besar-besaran
hegemoni budaya global. Namun di sisi lain, bentuk-bentuk tradisi itu juga
kerap muncul sebagai anjuran kepada seniman untuk terus tunduk pada pakem yang
sudah terbentuk. Akibatnya, alih-alih menjadi medan subur penjelajahan seniman,
ia justru direduksi hanya sebagai monumen dan simbol-simbol yang dipajang dalam
etalase kebudayaan. Dalam situasi ini, proses penciptaan hanya sekadar kegiatan
reproduksi bentuk, alih-alih upaya pencarian makna yang terus-menerus.
Jika menengok ke
wilayah lain, kelompok-kelompok yang lebih akademis atau urban, terutama di
kota-kota besar punya kecenderungan yang tampak berbeda. Hasrat untuk
mengadopsi model-model pemikiran dan latihan dari Eropa atau Amerika terasa
lebih muncul sebagai sebuah pilihan. Sebut saja beberapa nama seperti
Stanislavski, Brech, Growtowski, yang menjadi rujukan yang kadang dipelakukan
nyaris dogmatis. Institusi seni mengajarkan metode ini secara terstruktur dan sistematis,
namun seringkali tanpa konteks dan kecukupan refleksi terhadap kondisi
lingkungan sosial dan budaya di Indonesia. Akibatnya, meski tampak baru dan
canggih, proses kreatif semacam itu sesungguhnya hanya semacam imitasi formal dari
tuntunan pakem yang sudah ada, dan yang tak pernah jujur diakui. Tak ada upaya
lebih menjelajah dan menyelam ke dalam pengalaman lokal yang lebih nyata. Teater
akhirnya menjadi pameran bentuk dari orang-orang yang terlatih, tapi kehilangan
kompas dan denyut sosial, serta keberpihakan
yang menjadi tujuan utamanya.
Latihan bersama
Kelompok Teater Alibi menjadi ruang nyata bagi saya untuk berefleksi terhadap
proses teater itu sendiri. Ia melahirkan kegelisahan yang nyaris tiba-tiba. Proses
latihan SDSR tak berusaha kami mulai dengan tubuh dan ruang, namun justru
terburu-buru pada naskah—seolah makna, bentuk dan struktur sudah selesai bahkan
sebelum pengalaman para pemain hadir dan perlahan tumbuh. Para aktor membaca,
dibagi peran, lalu segera melompat pada adegan. Tak ada ruang untuk berlatih
dengan tubuh sendiri terlebih dahulu—mendengar nafas sendiri, lalu membiarkan tubuh
berbicara penuh kejujuran sembari merasakan atmosfir ruang dengan penuh gairah
penggalian. Sehingga yang ada hanyalah keadaan yang berjarak satu sama lain;
antara apa dan siapa, antara bagaimana dan mengapa.
Catatan Arifin C.
Noer yang dititip sutradara Irwan Guntari itu akhirnya menjadi tamparan keras
di ruang senyap dan sunyi. Gagasan metode
eksploratori yang awalnya hendak membawa aktor untuk berani membangun sikap
nekad seorang penjelajah—terlihat menjadi sekumpulan aktor yang instan,
pragmatis dan asing satu sama lain di ruang latihan. Saya merasa ada yang
hilang, semacam kesempatan untuk meraba, mencari, gagal, dan menemukan ulang.
Para aktor terjebak pada keadaan terburu-buru dan kepuasan yang dangkal. Saya
tidak tau apakah perasaan yang sama juga dimiliki oleh aktor-aktor lain. Bukan
hendak menunjuk siapa yang benar dan salah, tapi yang ingin saya katakan—dalam
setiap proses berteater, selalu ada jurang yang menganga begitu lebar antara kumpulan
idealisme metode dan kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam kerja teater di
lapangan.
Barangkali
kondisi ini juga sering dihadapi banyak kelompok teater di Indonesia;
terburu-buru mengejar bentuk final, lalu membunuh eksplorasi demi efisiensi,
dan melupakan bahwa proses kreatif teater butuh keberanian untuk ragu, bertanya
dan tersesat. Ini fragmen pikiran lain yang saya tangkap saat membaca catatan
Arifin—dalam gagasan semacam ini, metode
eksploratori Arifin C.Noer muncul sebagai sebuah gagasan yang mengajak
untuk membebaskan ulang pikiran. Barangkali terasa berlebihan, namun saya
percaya Arifin tidak juga hendak menolak tradisi, tidak ingin pula berupaya
menutup diri dari model pemikiran yang ditawarkan oleh pandangan-pandangan Barat.
Bagi Arifin semua itu harus ditempatkan sebagai sebuah kemungkinan yang terus
dihadapi secara kritis, bukan suatu keharusan yang memaksa, apalagi tuntutan
wajib. Seperti yang ia katakan: “Teater
saya tanpa masa silam, atau seluruh teater di mana saja adalah masa silam
teater saya; teater saya adalah teater sekarang, teater waktu dan tempat di
mana saya hidup”
Arifin melihat proses teater itu menjadi sarana yang menyentuh sesuatu yang lebih nyata dan relevan dalam diri seniman, masyarakat, dan aktor melalui ruang-ruang yang terus-menerus bergerak dan berubah. Bentuk bukanlah hal utama dan tujuan utama—meskipun bentuk bisa ditemukan melalui budaya, sosial, sejarah, atau bahkan dari hal-hal personal para pemain—tetapi itu semua diproses berdasarkan kombinasi antara keberanian untuk tidak tahu, sikap nekad, keluguan kanak-kanak, dan ketajaman pemikiran. Sebuah sikap yang diharapkan bisa membebaskan proses teater dari ketertundukannya terhadap obsesi bentuk, lalu mengembalikan pencarian itu terutama pada tubuh, pengalaman, dan kepekaan seniman terhadap dunia yang dihidupinya.
Pada suatu sore yang berbeda, di deretan bangku penonton panggung Teater Terbuka Dago Tea House, saya diminta menjadi moderator sebuah diskusi—dalam rangka perhelatan Festival Teater 2025 Hari Teater Sedunia yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Teater ISBI Bandung (KMT). Tema diskusinya: Teater Untuk Perdamaian. Turut hadir puluhan komunitas teater di kota Bandung sebagai peserta utama festival ini. Dalam keadaan udara Bandung yang agak panas namun sesekali mendung, obrolan kami bergerak dari seputar ekosistem teater, estetika dan menuju wilayah yang lebih sosial dan politis. Ketika saya bertanya. “Apakah teater harus berpihak?” Iman Soleh—seniman teater dan juga pengajar teater di ISBI Bandung—tersenyum dan menjawab, “Pertanyaan itu terasa politis sekali.” Kami tertawa kecil dan para peserta diskusi juga ikut tersenyum. Jawaban yang terasa ringan sekali, namun menjadi semacam pengakuan akan suatu medan tarik-menarik, yang niscaya dan tak bisa dihindari dalam dunia teater: antara proses dan bentuk, antara sikap dan keberpihakan.
Memang terasa
begitu picik jika berharap kerja teater selalu ditempakan berada di ruang kerja
yang hampa, apalagi dalam tekanan dari situasi sosial politik Indonesia hari
ini. Ruang-ruang publik terlihat sebagai parade kegelisahan yang seolah siap
membakar kampung-kampung dan kota-kota. Ketika ragam ekspresi publik dibatasi,
ketika hak dan ruang hidup terus menyempit, ketika kebijakan-kebijakan hadir
secara latah buntut polarisasi dan sikap gamang ideologis, metode eksploratori menjadi penting karna sifatnya yang menghidupkan
keberanian berpikir, bertanya dan menggali. Metode ini menolak tunduk pada
simplifikasi apapun. Ia menjadi bahan bakar penggerak yang menantang aktor dan
para pembuat teater untuk segera hadir sepenuhnya di ruang dan waktu yang nyata
dan kontekstual. Apalagi di tengah banyaknya fenomena tekanan terhadap
kesenian, di tengah keadaan bahwa seniman diharuskan untuk berada pada zona
aman dan nyaman untuk meromantisir dan mengglorifikasi masa lalu, maka metode eksploratori hadir untuk
menggugah ulang: mengapa kita perlu membuat teater? Untuk siapa teater itu
ditujukan? Dan dengan cara-cara yang bagaimana?
Pertanyaan ini terasa
penting, apalagi di tengah fenomena banyaknya suara-suara kritis yang direduksi
sebagai “gangguan” yang harus dimusnahkan, dan seni direduksi menjadi sekadar
ornamen kebudayaan yang jinak. Seniman dituntut untuk selalu produktif tetapi
jangan ribut, dan ruang pendidikan berubah menjadi pabrik penyeragaman—maka
pada titik ini metode eksploratori ala
Arifin bisa menjadi alat perlawanan yang senyap namun terasa kuat. Bukan hendak
menawarkan kepastian, tetapi justru memperjuangkan ketidaktahuan itu sebagai
kekuatan utama, yang mendorong para pembuat teater untuk selalu terjun menyentuh
realitas secara langsung—mencatat masyarakat, mengamati yang terpinggirkan,
menyimak bahasa tubuh buruh-buruh yang berteriak keras, atau menangkap
kesunyian dari kota yang padat namun terasa kesepian.
Ini fragmen
pemikiran berikutnya yang saya maknai dari perkataan Arifin, bahwa sikap dan pandangan
terhadap teater tidak melulu hadir dan berdiri netral terhadap dunia. Justru
dalam penjelajahan itu, aktor dan seniman diajak untuk membuka diri terhadap
realitas sosial; konflik, luka, harapan, pertentangan nilai, bahkan
ketidakadilan yang menyelimuti ruang hidup. Keadaan-keadaan semacam ini harus
menjadi bahasa sehari-sehari para pembuat teater. Bukan hendak menyuarakan
propaganda yang dangkal atau banal, tetapi lebih kepada dorongan untuk menggali
dan mencari secara mendalam. Melalui ini, para pembuat teater akan selalu dihadapkan
dengan pilihan-pilihan dan pertanyaan tentang: apa yang sebenarnya ingin saya
ungkap? dari sudut mana saya ingin memulainya? dan kepada siapa suara teater
itu hendak saya arahkan sebenarnya?
Pada titik ini
sikap dan keberpihakan itu akan muncul sebagai sesuatu yang tidak dipaksakan dari luar diri seniman, melainkan dari
proses penggalian yang jujur, yang harapannya juga akan melahirkan karya yang
juga jujur dan organik. Singkatnya, Ia berpihak karna ia menyelami kehidupannya,
dan bukan karna didikte dari hal-hal luar yang dipaksakan terhadapnya. Arifin
seperti hendak memastikan bahwa sebagai pembuat teater, proseslah yang
menggiring seniman itu pada makna-makna dan keberpihakan terhadap kemanusiaan.
Bukan keberpihakan yang seragam, tapi keberpihakan yang bersumber pada tubuh,
ruang, waktu dan relasi sosial yang sedang dihidupi senimannya. Arifin berkata:
“Teater saya adalah teater kini. Sebagai
seniman, saya sedang berupaya membaca zaman. Oleh karna itu, karya saya
diharapkan akan memberikan kesaksian zaman saya. Teater saya teater zaman, dan
buat saya teater yang baik adalah teater yang tak henti-henti membaca zaman,
menangkap persoalan, idiom-idiom, tempo dan irama secara tepat sehingga
penonton mana saja bisa betah duduk di kursinya”.
Sampai di sini metode eksploratori terlihat bukan hanya metode penciptaan atau sekadar strategi berkesenian, tapi jauh dari itu, ia adalah sebuah cara bertahan melalui keraguan, pencarian, dan keberanian untuk tidak mengikuti arus secara terburu-buru. Barangkali apa yang saya pikirkan dan tafsirkan terhadap kata-kata Arifin terlalu liar dan jauh, dan belum tentu juga merepresentasikan apa yang dia pikirkan secara utuh. Namun setidaknya dari pembacaan ini, saya merasa Arifin hendak mengatakan bahwa teater tidak perlu mempertahankan sesuatu selain kejujuran manusia yang membuatnya. Bagi saya, metode eksploratori ini buka soal gaya atau cara kerja. Sekali lagi, ia adalah prinsip dan keberanian untuk mengatakan bahwa proses penciptaan teater adalah proses pencarian—sebuah proses yang bersandar pada pengakuan akan ketidaktahuan, dan sekaligus juga keberanian untuk terus menjelajah medan baru yang mungkin asing bahkan aneh. Barangkali terasa klasik, namun pada saat sekarang bisa jadi ini sikap paling radikal yang tidak semua seniman bisa punya.