Advertisement
Foto: Pertunjukan Seru Dera Sudut Rahaya. Sumber: Dok. Rizal Sofyan
Oleh Rizal Sofyan
Pelacur menjadi bukti kehadiran kelas sosial di kota.
Mereka berkumpul atau dikumpulkan di rumah bordil. Mereka adalah subaltern
karena dihimpit oleh berbagai sentimen sosial yang negatif; murahan dan tak
beradab. Dalam pandangan umum, kehadiran mereka dilihat sebagai aib bahkan
penyakit dalam masyarakat. Padahal memilih untuk menjadi pelacur bukan hanya
berasal dari dorongan ekonomi, tetapi ada kekerasan dan pemaksaan dari
pihak-pihak lain untuk menjadi pelacur.
Pertunjukan Seru Dera Sudut Rahara yang dipentaskan oleh
Kelompok Teater Alibi pada tanggal 11-12 Juni 2025 di Gedung Kesenian Rumentang
Siang berbicara mengenai bagaimana nasib pelacur terus berulang. Nyai Wening
ialah seorang mucikari dari masa kolonial Hindia Belanda yang dipaksa dan mendapat
kekerasan dari seorang calon Wedana bernama Djagat Dewandaru. Rumah bordil yang
merupakan tempat untuk menampung gundik-gundik buangan terancam akan diambil
alih dan dirubah menjadi tempat prostitusi yang mewah dengan pelacur-pelacur
import. Keadaan serupa terjadi kepada Kanti Ratih di masa sekarang. Ia adalah seorang
mucikari yang juga menampung perempuan-perempuan ”terbuang”. Rumah bordil Kanti
Ratih pun menerima masalah yang sama yaitu akan diratakan dengan tanah dan
dibuat tempat prostitusi yang lebih berkelas. Di mana pelacur yang ada di
tempat tersebut ialah pelacur kelas atas. Ide tersebut digulirkan oleh seorang
konglomerat bernama Juanda.
Kesamaan nasib ini terkoneksi lewat adegan-adegan
surealis di mana Nyai Wening menghantui Kanti Ratih. Nyai Wening memperlihatkan
bagaimana kisah malang seorang mucikari yang kalah dalam mempertahankan rumah
bordil yang ia miliki. Kilatan lampu panggung yang mati-menyala menjadi penanda
kehadiran Nyai Wening dan mulai memanggil Kanti Ratih dengan nada yang lirih.
Kanti Ratih merasa terteror oleh kehadiran Nyai Wening. Ia menjerit dan
berteriak histeris ketika merespons suara dari Nyai Wening. Hingga akhirnya
Kanti Ratih sadar dan paham maksud kehadiran dari Nyai Wening. Ia ingin Kanti
Ratih melakukan perlawanan agar memutus lingkaran penderitaan dari seorang
mucikari yang memiliki hati yang mulia untuk menampung perempuan-perempuan
”terbuang”.
Alih-alih menjadi cerita tragedi, Kanti Ratih berhasil
menekuk kekuasaan Juanda dengan bantuan Deus Ex Machina. Pertunjukan seketika
menjadi kisah yang utopis di mana pelacur berhasil merobohkan tirani dan
dinding hegemoni. Membahas pelacur sebagai subaltern, Spivak menyatakan
bahwa subaltern tidak bisa berbicara karena terhimpit hegemoni yang
berlapis-lapis. Ia contohkan bagaimana praktik Sati pada masa kolonial
Inggris di India. Di mana seorang janda tidak mempunyai pilihan selain menjatuhkan
diri ke kobaran api bersama jenazah suaminya atau menjadi aib di masyarakat. Keadaan
seperti ini di latar belakangi oleh faktor yang kompleks, terutama posisi
perempuan dalam masyarakat.
Tak
ada ruang bagi subaltern untuk berbicara mengenai nasibnya sendiri. Keadaan
ini melahirkan situasi di mana ”seseorang harus menolongnya” dan munculah golongan-golongan
yang mewakili suara dari subaltern. Melihat pada pertunjukan ini, ada kemiripan di mana pelacur
hidup dalam jeratan hegemoni. Ia ditentang oleh agama, sosial, hingga dikuasai
secara politis. Mereka selalu menjadi target dan korban dari sebuah kekuasaan. Namun,
pelacur dalam pertunjukan ini seolah-olah mempunyai kemampuan untuk berbicara
bahkan melakukan perlawanan yang efektif. Namun, plot tersebut tidak
lain ialah sisi heroisme dari penulis naskah. Bagi saya tidak adil jika
perspektif atau keberpihakan seniman selalu ditempatkan di depan segalanya
tanpa pemahaman yang mendalam mengenai sebuah peristiwa.
Hal ini diperburuk oleh tidak diceritakannya bagaimana Kanti
Ratih mendapatkan kekuasaan yang mampu menekuk hegemoni setelah kabur dari
ruang tahanan milik Juanda. Tiba-tiba Kanti Ratih hadir kembali di sebuah pesta
dansa dan berdansa dengan Juanda.
”Aku seorang mucikari.”
”Aku seorang konglomerat.”
”Aku memiliki rumah
bordil.”
“Aku mengambil alih rumah
bordil.”
Mereka berdua melontarkan dialog yang berisi simbol mengenai pribadi mereka. Setelah itu, tanpa sebuah fondasi plot yang kuat, Kanti Ratih mengancam Juanda untuk menyerah. Kemudian ia memberitahukan bahwa ia telah membeberkan kasus human trafficking yang dilakukan Juanda kepada pihak kepolisian. Rupanya anggota kepolisian sudah hadir di sana untuk menangkap Juanda.
Kapan dan bagaimana seorang subaltern mendapat
kekuasaan untuk menghancurkan Juanda? Ini adalah plot hole yang fatal akibat
dari analisis yang tidak tuntas dari fenomena prostitusi. Padahal jika Kanti
Ratih dibuat gagal, maka realita dan pesan mengenai subaltern akan lebih
terlihat – klise, tetapi itulah yang terjadi pada subaltern. Pertunjukan
dengan narasi yang kompleks ini sayangnya digarap dengan terlalu sederhana –
bahkan banal.
Pertunjukan ini adalah wakil dari suara perlawanan subaltern
yang justru tidak mewakili subaltern itu sendiri. Tak ada sudut pandang
poskolonial maupun sosiologi yang dilibatkan sebagai alat untuk menggarap
karya. Keteledoran ini mengakibatkan kreativitas dalam penggarapan terjebak
pada motif-motif heroisme yang naif sebagai penyelamat dari kaum subaltern.
Pertunjukan ini mengesankan bahwa ia menempatkan diri sebagai kisah perlawanan
yang berhasil dari kaum subaltern. Kisah yang boleh dibilang mulia,
tetapi dalam pandangan saya ini adalah sebuah egosentrisme untuk menjadi
seorang pahlawan atas kaum tertindas.
Kamis malam itu saya menonton pertunjukan yang menarik secara keterampilan. Aktor menari, menyanyi, melontarkan lelucon porno, dan membangun ketegangan di atas panggung. Pertunjukan dengan aktor yang berbakat sayangnya memiliki kekeliruan dalam membaca dan menunjukan hal yang susbtansial. Sehingga pengalaman menonton yang saya alami malam itu tidak terpuaskan – hanya sesekali tertawa oleh lelucon porno yang dilontarkan dalam sebuah adegan.