Heroisme dalam Pertunjukan Seru Dera Sudut Rahara -->
close
Pojok Seni
15 June 2025, 6/15/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-06-15T01:00:00Z
ArtikelKritikUlasan

Heroisme dalam Pertunjukan Seru Dera Sudut Rahara

Advertisement

Foto: Pertunjukan Seru Dera Sudut Rahaya. Sumber: Dok. Rizal Sofyan


Oleh Rizal Sofyan

 

Pelacur menjadi bukti kehadiran kelas sosial di kota. Mereka berkumpul atau dikumpulkan di rumah bordil. Mereka adalah subaltern karena dihimpit oleh berbagai sentimen sosial yang negatif; murahan dan tak beradab. Dalam pandangan umum, kehadiran mereka dilihat sebagai aib bahkan penyakit dalam masyarakat. Padahal memilih untuk menjadi pelacur bukan hanya berasal dari dorongan ekonomi, tetapi ada kekerasan dan pemaksaan dari pihak-pihak lain untuk menjadi pelacur.


Pertunjukan Seru Dera Sudut Rahara yang dipentaskan oleh Kelompok Teater Alibi pada tanggal 11-12 Juni 2025 di Gedung Kesenian Rumentang Siang berbicara mengenai bagaimana nasib pelacur terus berulang. Nyai Wening ialah seorang mucikari dari masa kolonial Hindia Belanda yang dipaksa dan mendapat kekerasan dari seorang calon Wedana bernama Djagat Dewandaru. Rumah bordil yang merupakan tempat untuk menampung gundik-gundik buangan terancam akan diambil alih dan dirubah menjadi tempat prostitusi yang mewah dengan pelacur-pelacur import. Keadaan serupa terjadi kepada Kanti Ratih di masa sekarang. Ia adalah seorang mucikari yang juga menampung perempuan-perempuan ”terbuang”. Rumah bordil Kanti Ratih pun menerima masalah yang sama yaitu akan diratakan dengan tanah dan dibuat tempat prostitusi yang lebih berkelas. Di mana pelacur yang ada di tempat tersebut ialah pelacur kelas atas.  Ide tersebut digulirkan oleh seorang konglomerat bernama Juanda.


Kesamaan nasib ini terkoneksi lewat adegan-adegan surealis di mana Nyai Wening menghantui Kanti Ratih. Nyai Wening memperlihatkan bagaimana kisah malang seorang mucikari yang kalah dalam mempertahankan rumah bordil yang ia miliki. Kilatan lampu panggung yang mati-menyala menjadi penanda kehadiran Nyai Wening dan mulai memanggil Kanti Ratih dengan nada yang lirih. Kanti Ratih merasa terteror oleh kehadiran Nyai Wening. Ia menjerit dan berteriak histeris ketika merespons suara dari Nyai Wening. Hingga akhirnya Kanti Ratih sadar dan paham maksud kehadiran dari Nyai Wening. Ia ingin Kanti Ratih melakukan perlawanan agar memutus lingkaran penderitaan dari seorang mucikari yang memiliki hati yang mulia untuk menampung perempuan-perempuan ”terbuang”.


Alih-alih menjadi cerita tragedi, Kanti Ratih berhasil menekuk kekuasaan Juanda dengan bantuan Deus Ex Machina. Pertunjukan seketika menjadi kisah yang utopis di mana pelacur berhasil merobohkan tirani dan dinding hegemoni. Membahas pelacur sebagai subaltern, Spivak menyatakan bahwa subaltern tidak bisa berbicara karena terhimpit hegemoni yang berlapis-lapis. Ia contohkan bagaimana praktik Sati pada masa kolonial Inggris di India. Di mana seorang janda tidak mempunyai pilihan selain menjatuhkan diri ke kobaran api bersama jenazah suaminya atau menjadi aib di masyarakat. Keadaan seperti ini di latar belakangi oleh faktor yang kompleks, terutama posisi perempuan dalam masyarakat.


Tak ada ruang bagi subaltern untuk berbicara mengenai nasibnya sendiri. Keadaan ini melahirkan situasi di mana ”seseorang harus menolongnya” dan munculah golongan-golongan yang mewakili suara dari subaltern. Melihat pada pertunjukan ini, ada kemiripan di mana pelacur hidup dalam jeratan hegemoni. Ia ditentang oleh agama, sosial, hingga dikuasai secara politis. Mereka selalu menjadi target dan korban dari sebuah kekuasaan. Namun, pelacur dalam pertunjukan ini seolah-olah mempunyai kemampuan untuk berbicara bahkan melakukan perlawanan yang efektif. Namun, plot tersebut tidak lain ialah sisi heroisme dari penulis naskah. Bagi saya tidak adil jika perspektif atau keberpihakan seniman selalu ditempatkan di depan segalanya tanpa pemahaman yang mendalam mengenai sebuah peristiwa.


Hal ini diperburuk oleh tidak diceritakannya bagaimana Kanti Ratih mendapatkan kekuasaan yang mampu menekuk hegemoni setelah kabur dari ruang tahanan milik Juanda. Tiba-tiba Kanti Ratih hadir kembali di sebuah pesta dansa dan berdansa dengan Juanda.

”Aku seorang mucikari.”

”Aku seorang konglomerat.”

”Aku memiliki rumah bordil.”

“Aku mengambil alih rumah bordil.”

Mereka berdua melontarkan dialog yang berisi simbol mengenai pribadi mereka. Setelah itu, tanpa sebuah fondasi plot yang kuat, Kanti Ratih mengancam Juanda untuk menyerah. Kemudian ia memberitahukan bahwa ia telah membeberkan kasus human trafficking yang dilakukan Juanda kepada pihak kepolisian. Rupanya anggota kepolisian sudah hadir di sana untuk menangkap Juanda.


Kapan dan bagaimana seorang subaltern mendapat kekuasaan untuk menghancurkan Juanda? Ini adalah plot hole yang fatal akibat dari analisis yang tidak tuntas dari fenomena prostitusi. Padahal jika Kanti Ratih dibuat gagal, maka realita dan pesan mengenai subaltern akan lebih terlihat – klise, tetapi itulah yang terjadi pada subaltern. Pertunjukan dengan narasi yang kompleks ini sayangnya digarap dengan terlalu sederhana – bahkan banal.


Pertunjukan ini adalah wakil dari suara perlawanan subaltern yang justru tidak mewakili subaltern itu sendiri. Tak ada sudut pandang poskolonial maupun sosiologi yang dilibatkan sebagai alat untuk menggarap karya. Keteledoran ini mengakibatkan kreativitas dalam penggarapan terjebak pada motif-motif heroisme yang naif sebagai penyelamat dari kaum subaltern. Pertunjukan ini mengesankan bahwa ia menempatkan diri sebagai kisah perlawanan yang berhasil dari kaum subaltern. Kisah yang boleh dibilang mulia, tetapi dalam pandangan saya ini adalah sebuah egosentrisme untuk menjadi seorang pahlawan atas kaum tertindas.


Kamis malam itu saya menonton pertunjukan yang menarik secara keterampilan. Aktor menari, menyanyi, melontarkan lelucon porno, dan membangun ketegangan di atas panggung. Pertunjukan dengan aktor yang berbakat sayangnya memiliki kekeliruan dalam membaca dan menunjukan hal yang susbtansial. Sehingga pengalaman menonton yang saya alami malam itu tidak terpuaskan – hanya sesekali tertawa oleh lelucon porno yang dilontarkan dalam sebuah adegan.

Ads