Bagaimana Impementasi Reforma Agraria (landreform) di Wilayah Urban Padat Penduduk? -->
close
Pojok Seni
14 June 2025, 6/14/2025 01:12:00 AM WIB
Terbaru 2025-06-13T18:12:14Z
Narasi

Bagaimana Impementasi Reforma Agraria (landreform) di Wilayah Urban Padat Penduduk?

Advertisement
implementasi reforma agraria di wilayah urban padat
Ilustrasi implementasi reforma agraria di wilayah urban padat


Landreform (reforma agraria) adalah proses perubahan kebijakan dan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang bertujuan untuk menciptakan keadilan agraria, mengurangi ketimpangan penguasaan tanah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama  petani kecil, buruh tani, nelayan tradisional, masyarakat adat. Secara umum, pihak utama yang memiliki tupoksi terkait reforma agraria di Indonesia adalah Kementerian Agraria dan Tanah Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sesuai dengan tugas pokok Kementerian ATR/BPN (lihat: atr-bpn.id).


Landreform berupaya mengambil atau membatasi kepemilikan tanah yang terlalu luas (biasanya milik tuan tanah, perusahaan besar, atau negara), lalu mendistribusikannya kepada rakyat kecil yang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit tanah. Ini sering dilakukan melalui dua pendekatan utama:


  • Redistribusi tanah: Memberikan tanah-tanah terlantar atau tanah negara kepada petani yang tidak bertanah atau bertanah sempit.
  • Pembatasan kepemilikan tanah: Menetapkan batas maksimal dan minimal kepemilikan tanah agar tidak terjadi monopoli.


Tujuan utama landreform atau reformasi agraria adalah:


  1. Mewujudkan keadilan sosial.
  2. Meningkatkan produktivitas pertanian.
  3. Mengurangi konflik agraria.
  4. Memberdayakan petani kecil dan masyarakat adat


Landreform pernah menjadi agenda besar dalam kebijakan agraria nasional, terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, yang menegaskan prinsip tanah untuk rakyat dan larangan penguasaan tanah secara berlebihan. Namun, pelaksanaannya menghadapi banyak hambatan politik, sosial, dan ekonomi, terutama setelah 1965. Saat ini, isu landreform kembali muncul dalam bentuk reforma agraria, yang dijalankan melalui redistribusi tanah dan legalisasi aset oleh Kementerian ATR/BPN.


Secara nasional, implementasi reforma agraria di Indonesia dijalankan melalui dua jalur utama: redistribusi tanah (terutama dari Tanah Obyek Reforma Agraria/TORA) dan legalisasi aset melalui program sertifikasi seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Program ini bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan tanah, meningkatkan kepastian hukum, dan mendorong kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, realisasi redistribusi tanah masih jauh dari target. Pemerintah lebih banyak fokus pada legalisasi aset ketimbang reformasi struktural seperti pembatasan kepemilikan tanah atau penataan ulang lahan skala besar.


Namun, bila reforma agraria itu ditujukan pada petani dan masyarakat biasa yang cenderung ke arah pedesaan, bagaimana penerapan reforma agraria di tempat yang padat penduduk? Misalnya, sebagai contoh, akan dibahas bagaimana penerapan reforma agraria di Jakarta Selatan.


Penerapan Landreform/Reforma Agraria di Jakarta Selatan


Implementasi reforma agraria di wilayah urban padat penduduk
Implementasi reforma agraria di wilayah urban padat penduduk

Di Jakarta Selatan, sebagai wilayah urban padat dengan nilai tanah tinggi dan kepemilikan yang mayoritas sudah mapan, reforma agraria lebih difokuskan pada legalisasi aset dan penyelesaian konflik pertanahan. Kasus-kasus yang sering muncul melibatkan sengketa batas tanah, tumpang tindih sertifikat, dan warisan tanah yang tidak jelas statusnya. Program PTSL memang telah dijalankan di beberapa kelurahan, tetapi redistribusi tanah dalam arti pembagian lahan kepada warga miskin hampir tidak mungkin terjadi karena keterbatasan lahan negara. Maka, fokusnya lebih pada peningkatan kepastian hukum dan mediasi konflik, bukan distribusi ulang.


Di Jakarta Selatan, wilayah urban padat dengan nilai tanah tinggi dan dominasi kepemilikan mapan, reforma agraria lebih diarahkan pada legalisasi aset dan penyelesaian konflik pertanahan. Program seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dijalankan untuk memberikan kepastian hukum bagi warga yang belum memiliki sertifikat tanah. Namun, redistribusi tanah hampir tidak dimungkinkan karena keterbatasan tanah negara dan tingginya harga lahan.


Oleh karena itu, implementasi reforma agraria di Jakarta Selatan lebih menekankan pada penataan administrasi pertanahan, mediasi konflik batas tanah, dan penertiban dokumen warisan atau kepemilikan ganda. Tujuannya bukan redistribusi fisik lahan, melainkan penciptaan ketertiban hukum dan tata ruang yang berkeadilan. Hal ini mencerminkan bahwa reforma agraria di wilayah urban bersifat administratif dan legalistik, bukan struktural seperti di wilayah pedesaan.


Namun, pertanyaan besar tetap terbuka: apakah legalisasi aset di kota bisa dianggap sebagai wujud keadilan agraria yang sejati? Atau ia hanya menjadi strategi teknokratik yang menghindar dari problem mendasar ketimpangan kepemilikan lahan?

Ads