Advertisement
![]() |
Ilustrasi yang tidak cocok. Nirvana yang dimaksud, bukan nirvana yang dikomandoi oleh Kurt Cobain |
Oleh: Adhyra Irianto
Suatu hari, ketika ngobrol-ngobrol dengan teman-teman, bahasan kami "melenceng" ke salah satu program viral baru-baru ini yakni, "mengirim anak bermasalah ke barak militer". Ketika mereka minta pendapat saya, maka saya bilang;
"Akar masalahnya adalah orang tua dan lingkungannya. Seharusnya, pembenahannya dimulai dari situ. Solusi 'mengirimkan anak bermasalah ke barak militer' adalah salah satu bentuk kekeliruan apabila dilakukan sebagai sebuah hukuman emosional."
Kemudian, saya menambahkan argumen saya;
"Namun, bila 'dikirim ke barak militer' memang motivasi dari si anak (mungkin karena bercita-cita menjadi TNI), maka program itu akan sangat tepat sasaran. Atau, ada program yang didesain khusus untuk remaja di barak tersebut, yang tentunya lebih edukatif, dan cocok dengan psikologis anak dan remaja, maka hal itu bisa jadi langkah yang tepat. Sebenarnya, kalau menurut saya, ketimbang dikirim ke barak militer, dikirim ke sanggar teater mungkin lebih cocok," kata saya sambil tertawa.
Dan tiba-tiba ada seorang yang berkata, "ah, kamu itu nirvana fallacy."
Saya mengerenyitkan dahi dan bertanya apa maksudnya? Jujur saja, karena saya sebelumnya masih asing dengan istilah "nirvana fallacy". Tapi, dia tidak menjawab hanya mengirim link video YouTube ke saya.
Sekali lagi, sambil menonton video berdurasi 8 menit itu, saya kembali mengerenyitkan dahi. Kemudian saya bilang, video ini terlalu pendek untuk menjelaskan sebuah hal yang cukup kompleks. Wajar kalau ada teman-teman yang jadi keliru menafsirkannya.
Berusaha Mencapai Kesempurnaan beda dengan Nirvana Fallacy
Ketika mencari literatur tentang Nirvana Fallacy, maka kita akan diantarkan pada sebuah jurnal ekonomi yang ditulis oleh Harold Demsetz tahun 1969 dalam Journal of Law and Economics. Karena, dalam artikel jurnal ini, Demsetz memperkenalkan apa itu "Nirvana Fallacy".
Nirvana Fallacy adalah kondisi kekeliruan logika yang menolak sebuah solusi praktis dengan membandingkan dengan sistem "seperti surga", alias sistem ideal yang sempurna dan tanpa cacat. Dan, yah semua orang tahu bahwa kesempurnaan yang tanpa cacat itu tidak pernah ada.
Demsetz setidaknya menyebutkan tiga jenis fallacy di dalam Nirvana Fallacy. Antara lain;
- The grass is always greener fallacy: menolak sebuah solusi karena menganggap ada solusi lain yang terlihat lebih "hijau". Kira-kira seperti peribahasa "rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau".
- Free lunch fallacy: menolak sebuah solusi karena biayanya. Dianggap, solusi terbaik adalah solusi yang tidak punya biaya, atau pengorbanan.
- People could be different fallacy: menolak solusi dengan sebuah asumsi "mengawang-awang", dan membawa-bawa hal-hal yang tidak bisa dipastikan seperti "takdir", "nasib", dan sebagainya. Misalnya, saya menolak untuk berolahraga, karena umur seseorang siapa yang tahu?
Jurnal ini ditulis Demsetz untuk mengkritisi pemikiran Kenneth Arrow. Kenneth Arrow menolak pasar bebas dan menawarkan solusi yang "surgawi" seperti tanggung jawab penuh pemerintah, negara ideal yang membiayai penuh riset pasar dan teknologi, dan sebagainya.
Demsetz berpendapat bahwa suatu solusi, mesti dinilai berdasarkan kondisi real di masyarakat. Lihat bagaimana tingkah laku manusia di tempat tersebut, berapa pajak dan biaya lainnya, berapa sumber dayanya, dan sebagainya. Asumsi idealisasi tidak boleh digunakan sebagai dasar menentukan sebuah solusi kebijakan, tapi harus didasarkan pada realita yang ada. Adanya "nirvana fallacy" ini menjadikan seseorang akan menolak solusi praktis, dengan alasan tidak sesuai dengan kondisi yang "ideal".
Premis awal dari Demsetz adalah "The Nirvana Approach contrasts real institutions with idealized alternatives."
Dari ringkasan di atas, saya menyimpulkan bahwa nirvana fallacy itu berbeda jauh dengan "berusaha mencapai kesempurnaan".
Critical Realism: Upaya mencapai kesempurnaan
Dalam pencarian solusi pada permasalahan sosial dalam pendekatan filsafat, ada keyakinan bahwa manusia punya keterbatasan menilai sebuah realitas objektif sehingga bisa saja keliru. Karena itu, suatu keputusan, kebijakan, atau hukum yang ditentukan manusia mesti terus dikritisi agar terus disempurnakan, alias "berusaha mencapai kesempurnaan".
Filsuf di era modern, Roy Bhaskar (1944-2014) memperkenalkan apa yang kemudian kita sebut sebagai "critical realism", yang awalnya ditujukan mengkritisi pemikiran positivisme yang terlalu percaya pada data empiris. Karena realitas itu menurut Bhaskar, terdiri dari tiga tingkatan yakni; real (sebuah sistem/struktur yang ada), aktual (apa yang dihasilkan dari sistem/struktur tersebut), dan empirikal (apa yang diamati/dialami).
Sebagai contoh, sebuah sistem/struktur/mekanisme yang ada atau eksis tersebut adalah gempat bumi. Maka apa yang dihasilkan dari mekanisme tersebut adalah getaran di tanah. Sedangkan, orang-orang yang berlarian karena gempa tersebut, itu adalah apa yang dialami/amati. Dari kondisi tersebut, gempa bumi adalah real, getaran di tanah adalah aktual, dan orang berlarian adalah empirikal.
Critical realism adalah bentuk mendekati "real" secara kritis. Itu berarti, Anda akan lebih mencari akar struktural/sistemik dari masalah tertentu untuk mencari solusi yang lebih tepat. Karena, dokter pun tidak akan mengobati sebuah penyakit kalau masih belum tahu apa akar dari penyakitnya.
Kita bayangkan misalnya ada seseorang punya luka di kaki yang tidak sembuh-sembuh. Lalu, Anda berusaha untuk mengambil obat luka yang paling keras untuk mengobati luka menganga tersebut. Tapi, ternyata akar masalahnya adalah si pasien mengidap diabetes melitus.
Dalam prinsip kausalitas, kita mesti menangani akar penyakitnya, sebelum mengobati gejala yang tampak. Bila akar penyakitnya tidak tersentuh, dan kita terlalu sibuk mencari langkah praktis untuk mengobati luka di luarnya (tanpa menangani diabetesnya) maka kita hanya akan berputar-putar pada masalah yang sama selama bertahun-tahun.
Dan, dalam sebuah obrolan Gubernur Jawa Barat pada seorang anak yang kecanduan alkohol lalu dikirim ke barak militer, terbuka bahwa si anak "melarikan diri" ke minuman keras, karena tidak tahan dengan pertengkaran antara ayah dan ibunya di rumah. Karena itu, si anak justru merasa bersyukur karena bisa lepas dari orang tuanya dan berada di barak militer (Kompas 6 Mei 2025).
Lihat apa yang terjadi? Yah, akar masalahnya langsung terlihat. Apakah orang tuanya juga sebaiknya dikirimkan ke barak militer? Atau, apakah anak-anak korban konflik rumah tangga harus ke barak militer, tapi mengabaikan orang tuanya yang menjadi sumber masalah?
Dalam analogi ini, konflik rumah tangga adalah diabetes melitus. Anak kecanduan alkohol adalah luka yang tak sembuh-sembuh di kaki.
Second Order Thinking: memeriksa konsekuensi jangka panjang
Ray Dalio, seorang investor dan bisnisman dari Amerika Serikat, berkata: "Failing to consider second- and third-order consequences is the cause of a lot of painfully bad decisions, and it is especially deadly when the first inferior option confirms your own biases. Never seize on the first available option, no matter how good it seems, before you’ve asked questions and explored."
Kegagalan melihat konsekuensi kedua, ketiga, dan seterusnya akan berakibat fatal. Ini adalah kecenderungan untuk mengambil langkah cepat penyelesaian masalah, namun menghasilkan masalah lain yang berkepanjangan di kemudian hari.
Kira-kira digambarkan oleh Farnam Street seperti grafik di bawah ini:
Howard Marks dalam buku berjudul The Most Important Thing menyatakan bahwa pemikiran tingkat pertama, sifatnya sederhana dan dangkal. Akan disetujui lebih banyak orang dalam waktu cepat. Sedangkan pemikiran tingkat kedua, sifatnya kompleks, berbelit, mendalam, dan akan dibenci oleh banyak orang di awalnya karena dianggap sebuah solusi yang buruk.
Ini yang disebut second order thinking. Sebuah metode berpikir dari orang-orang "cerdas" (menurut Howard Marks) yang menjadikan seseorang akan mengungguli orang lainnya.
Mari kita membayangkan lagi; ada dua orang sama-sama diberikan beberapa karung beras dan beberapa dus mi instan yang cukup untuk makan selama satu bulan.
Orang pertama akan memasak berasnya, dan menjadikan mi instan sebagai lauknya. Ini cara berpikir paling cepat dan instan. Tentunya, akan lebih banyak orang yang menyukai cara yang dipilih orang pertama.
Orang kedua memasak berasnya, lalu membuka warung makan mie dengan harga yang murah. Ia hanya memakan seadanya, bahkan hanya diawali dengan makan nasi putih saja, tanpa lauk. Sesekali, mungkin seminggu sekali, ia akan makan dengan mie. Lalu, uang yang didapatkan dari berjualan mie, ia putarkan untuk modal, keuntungannya untuk membeli sayur-mayur, telur, tempe dan tahu.
Dalam waktu tiga bulan, orang pertama masuk rumah sakit karena hanya mengonsumsi nasi dan mie instan setiap hari. Orang kedua telah memulai bisnis "warung mie" dan cukup baik keadaan kesehatannya.
Untuk masalah yang sama, dan keduanya sama-sama butuh makan. Namun, jalan yang dipilih orang kedua sangat kompleks, berbelit-belit, dan menyulitkan di awalnya. Jalan yang dipilih orang pertama sangat cepat, dan langsung tampak hasilnya.
Berpikir ke "tingkat kedua" adalah berpikir yang menghasilkan hal-hal negatif di awalnya, dan hasil positif justru baru hadir di tingkat berikutnya. Butuh lebih banyak kerja keras, membangun sistem, dan waktu.
Kembali lagi ke masalah "anak dikirim ke barak militer". Yah, solusi itu tampak sangat baik dan langsung terasa manfaatnya. Anak-anak akan takut untuk kembali tawuran, minum alkohol, mengunakan narkotika, bolos pelajaran, dan sebagainya. Tapi ingat, ini hanyalah tahap pertama.
Tahap keduanya adalah, bagaimana hubungan antara anak tersebut dengan orang tuanya setelah "masa hukuman" selesai? Akankah anak yang tadinya mabuk karena kesal dengan konflik rumah tangga itu akan memaafkan orang tuanya, sepulang dari barak militer?
Atau, apakah anak itu tidak marah, terluka psikologisnya, atau mungkin frustasi dengan orang tuanya? Apakah hubungan mereka akan baik-baik saja setelah hukuman itu terlewati?
Tahap ketiganya adalah, apakah yang akan terjadi bila anak dan orang tuanya terputus hubungan dan komunikasinya? Apakah orang tua yang terlalu mengekang (otoriter) dan terlalu melepas (permisif) sehingga anaknya menjadi bermasalah itu akan merasa apa yang mereka lakukan selama ini sudah tepat?
Jadi, Apa itu Nirvana Fallacy sebenarnya?
Yah, video YouTube yang punya ribuan penonton itu mungkin terlalu pendek untuk menjabarkan hal yang sebenarnya cukup kompleks. Jadi, wajar saja ada yang keliru menanggapinya.
Tidak ada batasan yang jelas antara nirvana fallacy dengan critical realism, atau di contoh yang kedua adalah second order thinking.
Misalnya, ada yang menolak penggunaan batu bara untuk sumber listrik. Tapi tidak mengusulkan apa-apa sebagai gantinya. Justru mengusulkan "mobil terbang". Yah, itu memang benar nirvana fallacy.
Jadi, apakah keputusan pemerintah yang diambil saat ini sudah tepat? Tentu saja, bersikap skeptis dan kritis adalah cara menjadi "warga negara yang baik". Nirvana fallacy tadi "hanya" disematkan pada kritik pada suatu keputusan, namun tidak melihat kondisi realistis.
Kalau seseorang bilang, lebih baik X dari pada Y dengan argumen tertentu, itu bukan nirvana fallacy. Nirvana fallacy itu kondisinya adalah X itu tidak sempurna, karena itu sebaiknya tidak usah sama sekali.