Advertisement
![]() |
Menulis kritik seni yang baik dengan metode Terry Barret |
Oleh: Adhyra Irianto
Dalam menulis kritik seni, setiap kritikus akan punya cara berbeda. Sebagian besar kritikus di dunia akan menggunakan teknik penulisan kritik seni tertentu. Paling populer adalah menggunakan metode Feldman (dibahas dalam artikel berjudul Empat Tahapan Kritik Seni Berdasarkan Metode Feldman). Namun, metode penulisan kritik seni ala Terry Barret juga cukup banyak digunakan.
Bagaimana menulis kritik seni ala Terry Barret?
![]() |
Terry Barret, kritikus dan professor emeritus di Ohio State University |
Perbedaan utama metode penulisan kritik seni ala Terry Barret dengan Edward S Feldman sudah terlihat sejak tahapan pertama. Tahap pertama adalah mendeskripsikan karya. Bagi Feldman, deskripsi mengarahkan apa saja yang terinderakan secara estetis lewat sebuah karya seni, dideskripsikan dengan netral dan menghindari pandangan subjektif.
Terry Barret menganggap bahwa tahap mendeskripsikan ini justru ditujukan untuk membentuk interpretasi dan penilaian. Dengan kata lain, penilaian dari seorang kritikus pada sebuah karya sudah bisa terlihat dari proses mendeskripsikan karya.
Tahap I: Deskripsi Karya
![]() |
Lukisan Van Gogh, Starry Night |
Mendeskripsikan, menurut Barret, adalah tindak penunjukan verbal oleh seorang kritikus. Tujuannya, agar fitur-fitur dari sebuah karya seni bisa lebih diapresiasi oleh pembacanya. Deskripsi yang tidak akurat menjadikan penilaian dari seorang kritikus menjadi patut dipertanyakan. Itu artinya, pengamatan dari seorang kritikus harus benar-benar cermat.
Ada tiga topik utama yang dibahas dalam tahapan ini, pertama tema atau pokok bahasan dari karya tersebut. Kedua, medium yang digunakan. Ketiga, bentuk dari karya tersebut. Ini yang kemudian disebut Barret sebagai kumpulan "informasi internal"
Akan lebih baik bila informasi yang dideskripsikan oleh kritikus adalah hal-hal yang "tidak terlihat" secara verbal dan vulgar dalam karya yang sedang dibicarakan. Bagian ini biasanya membahas kaitan dengan konteks, dan nilai historis; kaitan dengan karya serupa, kaitan dengan situasi geopolitik di lokasi pengkarya, dan lain-lain. Ini disebut Barret sebagai kumpulan "informasi eksternal".
Selain itu, kata kunci dalam kritik ala Barret ini adalah; penafsiran dan penilaian sudah ditemukan sejak tahapan deskripsi.
Tema/Materi Pokok
Ketika seorang seniman bernama Nancy Spero memamerkan sebuah karyanya, seorang kritikus bernama Dana Shottenkirk menuliskan:
"Spero represents the historical nightmare that constitutes women’s relationship to culture. Her representations of victims of medieval torture, Nazi sadism. and sexual abuse are handprinted and ollaged onto empty white backgrounds next to pornographic images. Prehistoric female running figures, and defiantly vulgar women; it’s the story of power struggles played out on the bodies of women.“
(Tulisan kritik Dana Shottenkirk pada Nancy Spero dari pameran di Josh Baer Gallery. Ditulis di Artforum)
Apa yang ditulis oleh Dana Shottenkirk ini adalah informasi penting yang mengantarkan pembaca karya kritik, dan pemirsa dari karya Nancy Spero pada interpretasi dan deskripsi sekaligus. Kalimat pertama, mulai dari "Spero represents ..." bentuknya adalah interpretasi. Sedangkan kalimat yang dimulai dari "Prehistoric female...." bentuknya adalah deskriptif.
Apa yang diinterpretasi dan dideskripsikan oleh kritikus Dana Shottenkirk adalah subjek karya Spero yang dijelaskan dengan lebih spesifik. Subjek karya (dalam istilah Terry Barret disebut Subject Matter) memiliki perbedaan signifikan dari "subjek" yang biasanya akan merujuk pada sosok senimannya. Subjek karya ini adalah tema, materi pokok, atau topik yang dibicarakan dalam proporsi paling besar di dalam karya yang sedang dibahas.
Untuk menunjukkan subjek karya ini, maka seniman biasanya akan menggunakan citraan tertentu yang direncanakan menjadi perhatian utama. Citra ini yang kemudian dibaca oleh kritikus sebagai pokok bahasan dari karya seni.
Penjelasan "apa subjeknya" dijelaskan secara deskriptif, sedangkan penjelasan "bagaimana subjeknya" dijelaskan secara interpretatif.
Medium
Medium berbeda dengan "media", karena medium adalah bentuk tunggal, media bentuknya jamak. Biasanya, medium digunakan untuk pengelompokan yang lebih umum, seperti karya film, sinetron, dan dokumenter akan dikelompokkan dalam "karya dengan medium video". Tapi, medium juga kadang digunakan untuk istilah yang lebih spesifik, seperti "lukisan dengan medium, cat akrilik yang dilapisi resin".
Tapi, dalam konteks penulisan kritik, medium punya arti lebih, yang mungkin lebih personal dan filosofis, khususnya bagi pengkarya dan karyanya. Wendy Beckett seorang kritikus menulis kritik tentang medium fiber yang digunakan oleh Magdalena Abakanowicz dalam karya patungnya seperti ini:
“When the Nazis invaded Poland, Magdalena Abakanowicz saw drunken troopers fire at her mother, leaving her mutilated. It was then that the realization came to her that the body was like a piece of fabric--that it could be tom apart with ease. Years later, as an adult artist. it has been her deliberate choice to work in fiber, the humblest of materials, fragile and yielding. The very softness was a challenge to her. She felt a terrible need to protest against the comfortable, the useful, the compliant, the soft.“
Maka tulisan Wendy Beckett tersebut justru mengarahkan kita pada suatu fakta yang menjawab kenapa Magdalena Abakanowicz memilih fiber sebagai medium utama karyanya. Jawabannya ternyata terkait dengan pengalaman historis tentang Nazi yang menginvasi Polandia, dan itu tentunya terkait dengan fakta biografis Magdalena Abakanowicz (sebagai info ia merupakan professor seni di Polandia, lahir di Polandia, dan ikut merasakan mengerikannya perang dan pasca perang di zaman itu).
![]() |
Pameran karya Magdalena Abakanowicz berjudul "80 Backs". Karya instalasi ini dibuat pada tahun 1976 - 1980 dari bahan resin dan goni. |
Wendy Beckett juga memasukkan interpretasinya dalam tulisannya, tidak hanya deskripsi. Misalnya, kalimat yang digunakan Wendy Beckett untuk menggambarkan fiber/serat itu adalah "terlihat rendah hati, namun rapuh dan ingin menyerah". Itu adalah interpretasi pribadi dari Wendy Beckett.
Maka bisa dilihat di bagian ini, lagi-lagi interpretasi dan deskripsi akan tercampur dengan penilaian. Informasi yang mungkin bisa membantu penonton untuk mendalami sebuah karya seni juga muncul sebagai kekuatan dari karya kritik seni, harus sudah muncul di bagian ini.
Form/Bentuk
Setelah menjelaskan dua bagian sebelumnya, yakni tema dan medium, maka yang dijelaskan berikutnya adalah bentuk/form dari karya seni tersebut. Entah bentuknya abstrak, representasional, non-representasional, realistis, improvisasi, well-made play, dan sebagainya. Bagian ini adalah hal yang penting untuk dipaparkan.
Kritikus akan memaparkan materi yang disajikan oleh seniman, lewat medium yang dipilih. Mulai dari menceritakan komposisi karya tersebut, elemen formal seperti titik, garis, shape, cahaya, value, dan sebagainya. Juga penting untuk menjelaskan teksture, massa, space, volume, dan sebagainya yang biasanya menjadi prinsip mendesain sebuah karya.
Sebagai contoh, Nancy Graves membuat sebuah karya patung berbentuk perunggu besar dengan tambahan patina polikrom pada tahun 1983. Patung tersebut diberi nama Cantileve. Kritikus Wendy Beckett menulis kritiknya pada karya tersebut. Pada bagian "form" ini ia menulis perlakuan Nancy Graves pada bahan tersebut seperti ini:
"The real joy of this gigantic work. Over two meters high, is the miraculous marriage of lightness and weight. It seems to float, airily suspended, both supremely confident and infinitely frail."
Maka bisa disimpulkan bahwa bagian dari elemen formal diperhatikan oleh kritikus, dan diinterpretasi, sekaligus dinilai dalam deskripsinya. Komentar terhadap informasi internal maupun eksternal yang didapatkan juga "dicampurkan" dalam deskripsi tersebut.
Syarat Deskripsi
Dari ketiga inti deskripsi di atas (tema, medium, dan form) bisa disimpulkan bahwa bagian Deskripsi, menurut Terry Barret, bukanlah "pembuka" kritik, melainkan kritik itu sendiri. Dengan kata lain, kritik berupa penilaian dan interpretasi sudah dipaparkan di bagian deskripsi ini. Deskripsi mesti ditulis dengan hidup, meski terdengar klinis dan ilmiah, namun bahasa yang digunakan tetap jernih. Kritik mesti ditulis dengan penuh semangat, bukan tulisan yang sangat lepas dan penuh emosi, bukan pula tulisan yang begitu dingin secara intelektual seperti skripsi.
Tulisan kritik dibuat untuk dibaca. Maka, perhatian dan imajinasi pembaca menjadi poin utamanya. Tulisan kritik, terutama di bagian deskripsi, mesti dibuat untuk mengantarkan pembaca seakan melihat sebuah karya yang sedang diulas. Atau, bila pembaca karya kritik adalah orang yang sudah menonton pertunjukan, maka ia akan lebih mendalami lagi pengalaman estetisnya ketika menikmati sebuah karya.
Selain tulisan yang hidup, bagian deskripsi ini juga mesti menjadi sumber informasi tambahan, baik internal maupun eksternal dari sebuah karya. Itu artinya, kritikus akan lebih banyak tahu tentang karya, senimannya, bentuknya, latar belakang historis, dan informasi lainnya untuk disampaikan pada pembaca. Argumen, baik berupa penilaian maupun interpretasi, juga diperkuat dengan pernyataan, teori, dan landasan yang kuat.
Syarat yang paling utama dari penulisan bagian deskripsi adalah "jujur". Bagian deskripsi ini berupa sebuah klaim dari kritikus yang dibuat dalam bentuk deskriptif dengan pengamatan yang lebih detail. Namun, perlu dicatat bahwa deskripsi ini semuanya berkaitan dengan fakta. Fakta akan bergantung pada teori, maka evaluasi dan interpretasi juga bersifat teoritik. Kritikus mesti menulis deskripsi secara jujur, dan tidak memaparkan preferensi pribadi, atau informasi yang bias untuk menutupi sesuatu.
Sampai ke titik ini, Anda telah menyelesaikan tahap pertama dari penulisan kritik dengan metode Terry Barret, yakni Deskripsi Karya. Mari kita masuk ke tahapan berikutnya yakni, Interpretasi Karya.
Tahap II: Interpretasi Karya
Bagian berikutnya setelah deskripsi adalah penafsiran atau interpretasi Anda pada karya seni. Setiap karya seni punya sesuatu yang disebut "aboutness", dan tentunya ini butuh interpretasi dari pemirsanya. Setiap karya bisa saja menghasilkan interpretasi yang sangat menarik.
Buku berjudul Languages of Art karya Nelson Goodman mialnya. Atau buku Arthur Danto berjudul Transfiguration of the Commonplace adalah contoh bagaimana menjabarkan sebuah karya seni sebagai objek ekspresif, bukan objek pasif seperti pohon atau batu. (Kedua buku tersebut bisa Anda unduh di Perpustakaan Pojok Seni)
Seni selalu punya sesuatu yang "harus" diinterpretasikan. Jadi, pendapat bahwa "seni berbicara pada dirinya sendiri" atau "Anda tidak bisa berbicara tentang seni orang lain" itu adalah pendapat yang keliru, karena menganggap suatu karya seni sama seperti objek pasif; seperti pohon, batu, atau kayu.
Interpretasi adalah argumen persuasif. Di sini kata kuncinya; interpretasinya adalah sebuah argumen, berbasis landasan yang kuat, dan tujuannya untuk mempersuasi. Biasanya, seseorang yang mempersuasi akan jarang menggunakan argumen logis. Tapi, tidak untuk karya kritik.
Sebagai contoh, mari kita lihat lukisan berjudul My Manhattan yang dilukis oleh Elizabeth Murray di bawah ini.
![]() |
Lukisan berjudul My Manhattan karya Elizabeth Murray. |
Seorang kritikus bernama Ken Johnson menuliskan argumen persuasifnya pada karya di atas. Ken Johnson menyebutkan bahwa lukisan di atas adalah lukisan yang dipenuhi simbol-simbol hubungan seksual. Itu argumennya, dan apa yang memperkuatnya?
Ken Johnson menulis seperti ini:
A cup and a hugely swollen, weirdly flexible spoon. The spoon is turgid and unnaturally fluid. The spoon’s handle is serpentine and winds around the canvas’s edge and enters the cup from below. The spoon’s handle does not end like a normal spoon with a broad end, but rather it turns into a knob with a hole in it. The knob penetrates an actual hole in the shaped canvas. At the point where the spoon splashes the liquid in the cup, giant droplets shoot out from the cup.
Argumen dari Ken Johnson membuat pemirsanya "terpaksa" melihat lagi, mana cangkir yang dimaksud, dan mana sendok yang sangat cair atau fleksibel tersebut. Dan, beberapa pemirsanya baru menyadari bahwa bulatan warna oranye di tengah adalah sebuah cangkir, dan guratan yang berbentuk mirip "sperma" dan berakhir di atas bulatan oranye adalah sebuah sendok. Premis-premis yang dipaparkan Ken Johnson tersebut mengarahkan kita pada sebuah kesimpulan; lukisan tersebut menyimbolkan hubungan seksual yang terkait (atau mungkin diawali) dengan "minum teh".
Argumen persuasif tersebut adalah sebuah interpretasi seorang kritikus. Tujuannya membantu pemirsa yang tadinya kesulitan untuk mengartikan apa yang ingin disampaikan suatu karya, menjadi lebih jelas. Hasilnya, akan ada banyak interpretasi lain yang hadir karena tulisan kritik tersebut.
Perlu dicatat bahwa, bisa jadi interpretasi dari setiap karya akan jauh berbeda. Namun, bukan perkara "perbedaan penafsiran" tersebut, tapi bagaimana seorang kritikus membangun narasi logis untuk memperkuat argumennya tersebut. Karena itu, bagian penafsiran ini akan lebih tampak seperti sebuah esai sastra yang persuasif. Bukti, fakta, dan landasan yang diajukan kritikus, dibalut dengan bahasa yang menarik untuk diikuti menjadikan sebuah karya kritik bisa lebih "dipercaya" ketimbang karya kritik lainnya. Pengetahuan, pengalaman estetik, dan pengalaman artistik seorang kritikus akan sangat penting untuk menghasilkan interpretasi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Juga perlu dicatat bahwa bagian interpretasi ini dibangun juga berdasar "perasaan". Nah, perasaan estetis ini adalah pemandu interpretasi. Perlu seimbang antara emosional dengan intelektual untuk memahami sebuah karya seni. Pikiran dan perasaan akan sangat terkait erat dan saling mendukung. Tanpa emosional yang kuat, sebuah karya kritik hanya menjadi tumpukan teori yang tak menarik. Tanpa intelektual, maka sebuah karya kritik akan terbaca seperti racauan awam yang hanya menceritakan selera seninya; suka atau tidak suka.
Ini yang menjadikan keragaman interpretasi bisa ditemukan dalam sejumlah karya kritik. Yah, sejumlah sumber menyatakan bahwa bila suatu karya menghasilkan lebih banyak interpretasi yang saling berkait, maka karya tersebut menjadi karya yang kaya akan makna. Tapi, bukan berarti karya yang cenderung punya interpretasi tunggal juga karya yang jelek.
Karena estetika berbicara tentang dua hal yang saling berkait; kesubliman dan keindahan. Indah namun tidak sublim, berarti karya tersebut yang ditujukan untuk industri, dan kejarannya hanya laku atau viral. Sublim namun tidak indah, berarti karya tersebut ditujukan untuk dinikmati sendiri oleh sang seniman.
Apakah interpretasi harus selalu benar? Yah, ukuran dari benar atau tidak benar adalah; meyakinkan, mencerahkan, logis, dan informatif. Bisa jadi interpretasinya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan pengkarya, tapi bila meyakinkan, mencerahkan, logis, dan informatif, maka bisa jadi senimannya pun teryakinkan bahwa makna sesungguhnya dari karya yang ia buat adalah apa yang ditulis oleh kritikus tersebut.
Sebagai contoh, seorang fotografer bernama Minor White menulis bahwa ia sering menemukan sebuah karya fotografi yang indah dan sublim. Namun, ketika fotografernya menuliskan tentang karyanya, maka menjadi "lebih dangkal" dari karyanya yang begitu dalam. Apa yang ditulis oleh kritikus, terkadang jauh lebih dalam dari apa yang diketahui oleh fotografer tentang karyanya sendiri. Ini manfaat keberadaan seorang kritikus, dan juga karya kritik seninya.
Objek Interpretasi adalah Karya Seni, bukan Seniman
Ini sering juga disalah artikan. Hal yang sering menjadi objek pembicaraan dari sebuah karya seni justru adalah senimannya. Senimannya yang ditafsirkan juga dinilai. Padahal, objek yang harusnya diinterpretasi oleh kritikus adalah karya seni itu sendiri. Yah, informasi biografis atau mungkin latar belakang dari pengkarya bisa berguna dan terkait erat dengan karyanya. Bukan berarti membahas "senimannya" tapi membahas hal-hal yang menjadi pengalaman seniman, terkait dengan karya seninya. Objek utamanya tetap karya seni itu sendiri.
Misalnya, karya Beverly Buchanan berjudul Shuck South: Inside and Out. Karya satu ini merupakan instalasi berbentuk sebuah gubuk dengan penuh tambalan. Anda bisa melihat karya tersebut di bawah ini.
![]() |
Shuck South: Inside and Out karya Beverly Buchanan |
Seorang kritikus bernama Curtis James menuliskan kritiknya, dengan menyertakan informasi biografis Beverly Buchanan. Curtis James menulis seperti ini;
"Buchanan is from Athens, Georgia. As a child she traveled with her father, a professor of agriculture who documented the lives of black farmers. She saw many shacks like this and perceived how each inhabitant put his or her own stamp. or imprint, on the dwelling, an imprint that identified the individual in the community. Buchanan’s loving ability to capture that individual imprint made Shack South an image of humble nobility.“
Lihat bagaimana argumen persuasif tersebut menggambarkan karya Beverly Buchanan dengan sangat baik, dengan menyertakan sedikit informasi biografis dari pengkaryanya? Kritikus memuji kemampuan Buchanan yang dengan penuh cinta bisa menangkap setiap jejak individu dari apa yang dilakukan ayahnya, ketika mendokumentasikan setiap gubuk para petani.
Sebagaimana keilmuan yang terus "saling mengoreksi", seperti itu juga karya kritik sebagai pengejawantahan keilmuan pengkajian seni. Setiap penafsir serius, pada akhirnya akan mengoreksi penafsiran sebelumnya yang kurang tepat. Sehingga penafsiran terhadap suatu karya seni bisa semakin sempurna.
Intinya, interpretasi ini mengajak kita, entah itu pengkarya, kritikus, maupun pemirsanya, untuk terus melihat ulang setiap karya seni dari perspektif yang berbeda. Terpenting, pada bagian interpretasi seni ini, Anda mesti mengutamakan keramahan, mesti memancing percakapan dan dialektika dengan para pembaca. Bukan menghentikan dialog pada suatu karya dengan pernyataan dogmatis.
Tahap III: Menilai Seni
Sebagai kritikus, maka tahap tiga ini adalah bagian utamanya. Bagian ini adalah aktivitas kritis dan berujung pada suatu tindakan penghakiman (judging). Meski dalam teknik Terry Barret ini, Anda sebenarnya sudah melakukan penilaian sejak tahap I (deskripsi).
Tindakan penilaian pada tahap III sudah pada membuat keputusan. Anda bisa memulai tahap III ini dengan kalimat yang to the point, seperti; Menurut saya, karya ini cukup baik karena...
Setelah itu, dilanjutkan dengan merumuskan argumen untuk mendukung kesimpulan, mengumpulkan kembali bukti-bukti untuk membuat keputusan tersebut, serta memberikan alasan yang logis.
Di bagian ini juga menjelaskan bahwa keputusan yang dibuat ini didasarkan pada kreteria "penilaian". Karya realisme akan didasarkan pada keakuratannya menggambarkan semesta ilusi di sebuah karya seni.
Karya ekspresionisme tentunya kontras dengan realisme. Pandangan ekspresionisme (yang kemudian sering dikaitkan dengan romantisisme) adalah pemaknaan sesuatu di luar tubuh kita, dengan pemahaman dari kita sendiri. Berarti, metafora yang bersifat antroposentris akan sangat mengambil peran di sini. Tikus misalnya, bisa menjadi punya makna sebagai "koruptor" karena manusia yang melabelinya, tidak ada kaitan sama sekali dengan sejarah evolusinya. Buaya, dilabeli sebagai seorang lelaki yang tidak setia, meski faktanya buaya jantan hanya menikahi satu buaya betina seumur hidupnya.
Karya formalisme misalnya, dinilai dengan cara yang sangat berbeda dengan dua kategori di atas. Formalisme kerap dinilai menjadi sifat otonom dari karya seni. Ketika karya seni mesti lepas dengan aktivitas manusia, moralitas, agama, politik, dan sebagainya. Untuk lebih mengetahui tentang apa itu formalisme, Anda bisa membaca tulisan Clive Bell tentang "bentuk bermakna" lewat artikel di Pojok Seni berjudul Sifat Apa yang Dikandung Sebuah Objek Hingga Memicu Emosi Estetis?
Atau ada juga kreteria instrumentalisme. Dalam konsep ini, seni menjadi lepas dari bahasan estetika. Apa yang dibahas dalam seni, akhirnya merupakan bahasan yang dianggap jauh lebih besar dan lebih penting dari estetika. Leo Tolstoy misalnya, ia menganggap seni harus menjadi kekuatan untuk menghasilkan perilaku etis yang luhur. Albert Camus, menganggap seni adalah bentuk pemberontakan pada hidup.
Tentunya masih ada banyak kreteria lain yang menjadi patokan bagi kritikus untuk menilai suatu karya seni. Ini tentunya adalah perkara ontologis (jangan lupa mengikuti Protol: Problem Ontologis oleh Pojok Seni di YouTube). Bila perkara ontologis masih salah, maka penilaiannya juga sudah dipastikan tidak tepat.
Bayangkan, bila musik metal dinilai dengan indikator penilaian musik dangdut. Maka, hasilnya adalah penilaian terhadap musik metal tadi akan bias dan gagal.
Intinya, penilaian kritis yang menjadi inti dari penulisan kritik seni, itu bukan sekedar opini. Tapi, penilaian kritis adalah argumen kritis yang terinformasi dari nilai sebuah karya seni. Tidak ada argumen yang bisa diberikan tanpa alasan dan landasan. Kreteria penilaian pun harus jelas. Tanpa landasan yang jelas, alasan yang tidak responsif dan informatif, maka penilaian ini tidak bisa diterima.
Terpenting, setiap penilaian ini harus terbuka pada revisi, yang berarti setiap kritik seni bersifat tentatif. Kritikus pertama akan memasang pondasi, dan bisa jadi ada hal yang mereka tidak sadari dan terlewat dari penilaian tersebut. Maka, karya kritik seni tidak boleh bersifat dogmatis atau doktriner.
Setelah membaca tulisan ini sampai selesai, tentunya Anda tidak akan bisa menulis sebuah kritik seni yang baik bila tidak mencobanya. Sekarang, waktunya memperkuat dan melatih ketajaman Anda dalam mendeskripsikan, menginterpretasi, dan menilai suatu karya seni lewat sebuah tulisan yang bernas, informatif, dan logis.