Advertisement
Helat tari memadati Taman Budaya Provinsi Riau, namun karya-karya yang tampil masih jauh dari kesadaran artistik dan keberanian menggugat realitas sosial.
Oleh: Aditiya Hariyadi*
Hari itu memang benar-benar terik. Matahari menyengat tanpa kompromi sejak pagi, seolah hendak menguji daya tahan siapa pun yang hendak melangkah keluar rumah. Tak ada bayangan awan, tak ada jeda angin sejuk. Bahkan hingga sore menjelang malam, panas itu belum juga reda. Tapi justru di tengah himpitan cuaca seperti itu, Taman Budaya Provinsi Riau menjadi titik temu bagi ratusan tubuh yang bergerak. Udara yang gerah tak menghalangi langkah. Peluh yang menetes justru menjadi bagian dari semangat. Panggung sederhana tanpa atap, tanpa dekorasi rumit, hanya backdrop dan terik yang berbagi ruang. Namun justru dari kesederhanaan inilah lahir perayaan yang jujur. Inilah wajah Semarak Hari Tari Dunia 2025, sebuah helat tari yang digagas oleh Forum Tari Riau (FTR) dengan sepenuh semangat gotong royong. Diselenggarakan pada Sabtu 17 Mei 2025, dari pukul 16.00 sampai pukul 23.00 WIB. Acara ini bukan sekadar panggung hiburan, melainkan perwujudan tekad bahwa seni mesti tetap hidup, meski tanpa sokongan megah institusi.
Meski Hari Tari Dunia sejatinya jatuh pada 29 April, perayaan ini tidak lantas kehilangan makna. Justru, jeda waktu seolah memberi ruang bagi persiapan yang lebih organik. Sebanyak 30 komunitas melibatkan lintas generasi dari anak-anak, remaja, dewasa, bahkan para sesepuh yang masih setia menjadikan tari sebagai denyut hidup harian. Mereka datang dari berbagai latar institusi pendidikan, sanggar independen, komunitas-komunitas kecil yang bergerak dalam senyap, hingga penari tunggal yang menapak jalan sunyi seni dengan cara mereka sendiri. Di helat ini, penonton yang datang mencapai 500 orang, jumlah yang cukup besar mengingat minimnya acara serupa dalam beberapa tahun terakhir.
Di tengah berlangsungnya acara, saya sempat duduk di sisi panggung bersama Wanharun Ismail, ketua Forum Tari Riau. Di sela hiruk dan dentum musik pengiring, kami berbual singkat. Dengan suara tenang dan mata yang tak lepas dari keramaian penonton, Wanharun berkata, “Kegiatan ini sepenuhnya swadaya. Kami hanya membuka ruang bagi siapa yang mau menjadi donatur.” Ia menarik napas sejenak, lalu melanjutkan, “Yang luar biasa, banyak komunitas yang tampil malah ikut menyumbang dana. Mereka bukan hanya tampil, tapi juga turut menghidupi acara ini.”
Apa yang diucapkan Wanharun bukan sekadar informasi teknis, melainkan pernyataan nilai. Dalam dunia yang kian kapitalistik, ketika banyak panggung hanya lahir dari sponsor, proposal, dan proyek, gerakan seperti ini terasa seperti oasis. Sebuah pengingat bahwa seni bisa tumbuh dari keyakinan, dari kerja kolektif, dari rasa percaya yang ditanam bersama.
Namun di balik euforia kebersamaan itu, ada ruang kosong yang menganga. Dari 30 karya yang ditampilkan, tidak ada yang berani mengambil risiko artistik. Semuanya masih berkutat dalam pola lama, gerakan yang rapi, kostum meriah, musik pengiring yang familiar, namun nyaris tanpa muatan gagasan. Tubuh-tubuh itu bergerak, ya, tapi seperti tak tahu hendak ke mana. Mereka menari, tapi tak menggugah. Yang lebih mencemaskan adalah absennya ruang refleksi. Tidak ada sesi diskusi. Tidak ada ajang tukar pikiran. Tidak ada forum di mana seniman bisa membongkar proses kreatifnya, menguji gagasan, atau sekadar mempertanyakan “Untuk apa saya menari?” Padahal, dalam sebuah momentum besar semacam ini, semestinya ruang kritis menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perayaan. Tanpa itu, helat seni hanya menjadi pesta tubuh, bukan pesta pikiran.
Banyak pelaku tari di Riau saat ini masih terjebak dalam pola produksi berbasis pesanan. Tari dijadikan dekorasi dalam pernikahan, pengiring dalam acara pemerintahan, pemanis dalam festival wisata. Fungsi estetis lebih diutamakan ketimbang fungsi ekspresif. Gerak kehilangan nyawa. Karya kehilangan makna. Bahkan yang lebih memprihatinkan, banyak pelaku tari di Riau hanya beberapa yang pernah muncul sebagai karya tunggal. Mereka hadir hanya ketika ada event tari, lomba tari, atau job tari untuk mengisi acara-acara hiburan dan seremoni. Tidak ada eksplorasi yang mendalam tentang tubuh, ruang, dan konteks sosial. Hal ini memperlihatkan bahwa karya tari tidak lahir dari kebutuhan ekspresif yang mendalam, tapi lebih pada rutinitas administratif dan komersial belaka.
Padahal, Riau menyimpan banyak luka dan narasi yang layak digali. Dari konflik agraria, krisis ekologis, eksploitasi budaya lokal, hingga persoalan identitas masyarakat pascakolonial semua itu adalah bahan bakar yang bisa menyalakan api dalam karya tari. Namun yang tampil di panggung justru karya-karya yang seolah tuli terhadap konteksnya. Tubuh-tubuh yang menari dalam kehampaan. Sebuah ironi yang menyedihkan. Kita harus bertanya: mengapa tari kita begitu jinak? Mengapa tak ada keberanian untuk mengusik kenyataan? Apakah karena kita terlalu takut kehilangan panggung? Terlalu patuh pada selera pasar? Atau karena kita belum benar-benar menyadari bahwa tari bukan sekadar hiburan, melainkan alat tafsir dan penggugah kesadaran?
Desember tahun lalu, sebuah helat bernama Pasar Tari Kontemporer (PASTAKOM) sempat memberi harapan. Ditaja oleh Pusat Latihan Tari Laksmana, acara itu menampilkan karya-karya yang berani, menyentuh persoalan sosial, dan menjebol batas-batas estetika lama. Namun sayangnya, itu masih menjadi pengecualian. Arus utama seni tari di Riau masih berkutat pada zona aman yang tidak mengguncang.
Berbeda halnya dengan ekosistem seni pertunjukan di Yogyakarta. Kota ini telah lama menjadi simpul penting perkembangan seni kontemporer di Indonesia, terutama karena ekosistem yang tumbuh secara organik dan ditopang oleh jejaring komunitas yang kuat, infrastruktur seni yang memadai, serta kultur belajar yang terbuka. Di Yogyakarta, ruang-ruang alternatif seperti Teater Garasi, Lifepatch, Kedai Kebun Forum, hingga Seni Bantul tidak sekadar menjadi tempat pertunjukan, melainkan juga berfungsi sebagai inkubator gagasan dan laboratorium artistik. Di sana, karya tidak hanya dilahirkan untuk disaksikan, tetapi juga untuk dipertanyakan, diperdebatkan, dan dikembangkan secara kolaboratif.
Misalnya, Teater Garasi telah bertahun-tahun membangun pendekatan interdisipliner dalam penciptaan karya yang tidak hanya berbicara soal estetika, tetapi juga menyentuh dinamika social politik kontemporer. Mereka mengembangkan proyek seperti Jejak-Jejak Tanah atau Waktu Batu yang menggali arsip lokal, konflik agraria, dan memori sejarah sebagai dasar penciptaan koreografi dan teater. Ini bukan sekadar pertunjukan, tetapi bagian dari upaya merawat kesadaran kritis melalui tubuh dan ruang. Sementara itu, Art Jog, meskipun dikenal sebagai festival seni rupa kontemporer, juga memberi dampak penting pada perkembangan seni pertunjukan. Banyak karya yang ditampilkan di Art Jog bersifat lintas medium menggabungkan seni visual dengan elemen performans, bunyi, bahkan instalasi hidup dan ini membuka peluang besar bagi seniman tari dan pertunjukan untuk berkolaborasi dalam format yang lebih eksperimental. Keberadaan Art Jog sebagai ruang terbuka mempertemukan seniman dari berbagai daerah dan disiplin telah menciptakan semacam medan temu gagasan yang sangat produktif.
Ekosistem seperti itu tumbuh karena adanya kesinambungan antara ruang, jejaring, edukasi, dan kepercayaan terhadap seniman muda. Di sinilah letak pekerjaan rumah bagi Riau untuk membangun ekosistem, bukan sekadar helat tahunan. Membuka ruang yang terus hidup, yang merawat tubuh-tubuh penari agar tak hanya bisa menari dengan lincah, tetapi juga berpikir, bertanya, dan berani bicara lewat geraknya.
Semarak Hari Tari Dunia 2025 patut dihargai sebagai ruang yang telah dibuka. Tapi ruang ini baru tahap awal. Ia belum sampai pada kedalaman. Ia belum menjadi forum yang menyulut kegelisahan. Ia belum cukup menantang. Maka, pekerjaan kita ke depan adalah bagaimana mengisi ruang itu dengan keberanian baru. Keberanian untuk keluar dari kenyamanan. Keberanian untuk mengusik. Keberanian untuk menjadikan tari sebagai jalan perlawanan, pencarian, dan penciptaan makna. Forum Tari Riau telah menghidupkan ruang. Kini saatnya seniman menyalakan nyala. Bukan dengan gerakan yang indah semata, tetapi dengan gerakan yang punya arah. Jika tidak segera disadari, tari di Riau akan terus berjalan di tempat, sibuk bergerak, tapi tidak pernah sampai ke mana-mana.
Penulis adalah pengiat seni teater di Riau dan konseptor seni pertunjukan.