Advertisement
Oleh Zackir L Makmur*
Hari Kartini, yang diperingati setiap 21 April, bukan hanya sekadar mengenang perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi juga sebagai momen penting bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan pentingnya emansipasi wanita. Sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi, Kartini telah membuka jalan bagi perempuan untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan, kesetaraan gender, dan persamaan status sosial.
Namun, salah satu perjuangan Kartini yang juga sangat relevan hingga kini, adalah hak untuk bebas berekspresi, yang juga menjadi bagian integral dari emansipasi wanita. Kebebasan berekspresi ini terkait erat dengan kebebasan perempuan untuk berkarya dalam berbagai bentuk seni, yang menjadi sarana untuk menyuarakan pandangan dan perasaan mereka.
Dengan begitu pemikiran Kartini mengenai emansipasi wanita jauh melampaui sekadar akses pendidikan atau status sosial. Kartini juga mendorong perempuan untuk merdeka dalam mengekspresikan diri mereka, baik melalui kata-kata, tulisan, atau karya seni. Pada zamannya, seni sering kali dipandang sebagai ranah laki-laki, namun Kartini dengan tegas menyuarakan pentingnya perempuan untuk memiliki kesempatan yang setara dalam mengembangkan bakat dan kreativitas mereka.
Kebebasan berkesenian, bagi Kartini, menjadi salah satu cara agar perempuan dapat memperjuangkan hak-hak mereka, sekaligus menunjukkan identitas mereka sebagai individu yang memiliki suara dan kemampuan yang setara dengan laki-laki. Maka seni, dalam berbagai bentuknya, bukan hanya soal estetika atau hiburan belaka, melainkan juga sebuah alat ekspresi ide, kritik, dan pandangan dunia.
Bagi perempuan, seni memberikan ruang untuk menyuarakan pengalaman hidup mereka, tantangan yang mereka hadapi, serta visi mereka terhadap masyarakat yang lebih adil dan setara. Kartini, yang hidup dalam masyarakat patriarkal, berjuang agar perempuan dapat bebas mengungkapkan perasaan dan pendapat mereka melalui seni, tanpa dibatasi oleh norma-norma sosial yang sering kali menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Dengan kebebasan berkesenian, perempuan tidak hanya mampu mengekspresikan diri, tetapi juga berperan aktif dalam menantang ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang masih mengakar dalam masyarakat.
Keberanian perempuan dalam berkarya seni mencerminkan semangat yang diperjuangkan Kartini, yakni hak untuk mandiri dan berdaya. Melalui karya seni, perempuan dapat membangun ruang bagi diri mereka untuk berbicara tentang berbagai isu sosial dan budaya, serta memberikan pandangan yang lebih inklusif dan beragam.
Di zaman sekarang, semakin banyak perempuan yang terlibat dalam dunia seni, dan semakin banyak pula karya-karya mereka yang diakui oleh masyarakat. Sebagai contoh, karya-karya seni yang mengangkat isu gender, keadilan sosial, dan hak-hak perempuan menjadi sangat relevan dan mampu menggugah kesadaran publik untuk lebih menghargai kebebasan berekspresi. Ini adalah salah satu warisan perjuangan Kartini yang terus berlanjut.
Kendati banyak pencapaian yang telah diraih, tak urung kebebasan berekspresi dalam seni masih menghadapi berbagai tantangan. Dalam beberapa konteks, ekspresi seni yang mengangkat isu-isu perempuan, atau ketidakadilan sosial, masih sering mendapat hambatan atau pembatasan. Oleh karena itu, memperingati Hari Kartini harus menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk kebebasan berekspresi bagi perempuan tidak boleh berhenti.
Tantangan Kebebasan Berkesenian di Era Modern
Melanjutkan perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama kebebasan berekspresi dalam seni, masih menjadi tantangan besar di era modern ini. Meskipun banyak pencapaian yang telah diraih, ekspresi seni yang berkaitan dengan isu gender dan emansipasi perempuan masih menghadapi hambatan.
Hambatan ini tidak hanya datang dari sisi sosial, tetapi juga politik dan budaya yang kerap membatasi ruang bagi perempuan untuk mengungkapkan pandangan dan perasaan mereka. Oleh karena itu, peringatan Hari Kartini bukan hanya sekadar mengenang jasa seorang pahlawan, tetapi juga menjadi momen penting untuk merefleksikan kembali betapa pentingnya melanjutkan perjuangan kebebasan berekspresi, terutama bagi perempuan. Lantaran kebebasan berekspresi dalam seni bukan hanya sekadar kebebasan untuk menciptakan karya, tetapi juga memberikan ruang bagi suara perempuan untuk didengar dan dihargai.
Kartini telah membuka jalan bagi perempuan untuk berbicara dan berkarya –tanpa rasa takut. Perempuan ini memahami bahwa seni, adalah sarana penting untuk menyuarakan pendapat dan mengungkapkan diri. Dalam konteks ini, kebebasan berkesenian bukan hanya tentang menciptakan karya estetis, tetapi juga tentang memberikan perempuan hak untuk menyampaikan pandangan dan kritik terhadap ketidakadilan yang ada dalam masyarakat.
Meskipun kebebasan berkesenian telah memberikan banyak kesempatan bagi perempuan untuk mengekspresikan diri, tantangan terhadap kebebasan ini masih ada. Dalam banyak kasus, ekspresi seni yang mengangkat isu-isu perempuan atau ketidakadilan sosial sering kali mendapatkan hambatan atau penolakan, baik dari masyarakat, institusi, maupun pihak berwenang.
Namun, melalui karya-karya seni yang berani dan menggugah, perempuan dapat terus menunjukkan bahwa mereka memiliki hak untuk mengungkapkan pemikiran mereka –tanpa dibatasi oleh norma-norma yang konservatif atau patriarkal. Ini adalah warisan perjuangan Kartini yang harus terus diperjuangkan di masa kini.
Sebagai bangsa, kita harus mendukung dan merayakan kebebasan berekspresi, terutama yang berkaitan dengan emansipasi dan kesetaraan gender. Kartini telah memberikan contoh yang jelas tentang pentingnya kebebasan untuk berkarya dan menyuarakan hak-hak perempuan. Dalam dunia yang semakin berkembang ini, kebebasan berkesenian menjadi bagian integral dari upaya untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan setara. Setiap perempuan berhak memiliki ruang untuk mengekspresikan dirinya melalui seni, dan ini harus dihargai dan dihormati.
Bukan Menambah Jumlah Seniman Perempuan
Kemudian lebih mendalam lagi mengarustamakan pemikiran perempuan dalam seni, baik di Indonesia maupun di dunia, bukan sekadar menambah jumlah seniman perempuan dalam panggung seni. Ia adalah kerja struktural untuk mengkritisi dan membongkar sistem sejarah seni yang dibentuk oleh dominasi laki-laki dan kelas sosial tertentu. Dalam berbagai peradaban, perempuan telah lama menjadi pelaku seni, namun kontribusinya kerap diabaikan karena dianggap berada di luar kategori “seni tinggi.”
Dalam konteks ini, inspirasi emansipasi dari Kartini atau pun idiomatik premise feminisme seni, hadir bukan sekadar menuntut representasi, tetapi mendesak perubahan paradigma tentang siapa yang dianggap sah dalam menciptakan, menafsirkan, dan mengarsipkan seni. Di Indonesia, warisan seni yang diproduksi oleh perempuan sangat kaya dan beragam. Tenun dari Nusa Tenggara, batik dari Jawa dan pesisir, serta kerajinan sulam dan anyaman di berbagai wilayah Nusantara merupakan contoh karya yang bukan hanya indah secara estetis, tetapi juga sarat makna sosial, simbolik, dan spiritual.
Sayangnya, karya-karya ini lama ditempatkan dalam kategori “kriya” atau “kerajinan tangan,” yang sering diposisikan lebih rendah dibanding seni rupa modern yang identik dengan media lukis, patung, atau instalasi yang lazim dikerjakan oleh laki-laki. Padahal, karya-karya perempuan ini menjadi bagian penting dari memori kolektif dan identitas budaya bangsa. Fenomena serupa juga terjadi di dunia internasional.
Karya seni perempuan seperti tekstil, keramik, dan bordir dalam banyak budaya dianggap sebagai seni domestik dan tidak memiliki tempat dalam museum besar dunia hingga dekade terakhir. Namun, gerakan feminisme seni sejak tahun 1970-an mulai menggugat hal ini. Seniman seperti Judy Chicago melalui “The Dinner Party” (1979), atau “Faith Ringgold dengan story quilts”-nya, menunjukkan bahwa seni perempuan dapat menjadi medium politik dan pengingat sejarah yang terlupakan.
Di Asia Tenggara, seniman seperti Amanda Heng (Singapura) dan Arahmaiani (Indonesia) juga menembus batas antara seni dan aktivisme, membawa pengalaman tubuh dan identitas perempuan ke ruang publik yang sebelumnya eksklusif. Sementara di Indonesia sendiri, transformasi ini mulai tampak melalui berbagai pameran dan riset kuratorial yang mengangkat karya perempuan sebagai wacana utama. Proyek seni berbasis komunitas yang melibatkan perempuan desa telah menjadi ruang untuk mendekolonisasi narasi seni nasional.
Namun, upaya ini masih menghadapi tantangan serius: dominasi lembaga seni arus utama, kurator yang kurang sensitif gender, serta pasar seni yang lebih menghargai nama besar laki-laki. Dengan demikian, mengarusutamakan pemikiran perempuan dalam seni Indonesia dan dunia, merupakan langkah penting menuju keadilan kultural. Ini bukan semata soal menambahkan nama-nama baru ke dalam kanon seni, melainkan menggugat dan merekonstruksi ulang cara kita memahami seni itu sendiri: siapa yang berhak disebut seniman, apa yang layak disebut seni, dan bagaimana seni bekerja dalam masyarakat.
Seni Perempuan dalam Tradisi dan Ritualitas
Seni perempuan di Indonesia telah lama menjadi bagian integral dari tradisi budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Dari tenun ikat di Nusa Tenggara, songket di Sumatra, hingga sulaman di Kalimantan, karya-karya ini bukan sekadar benda indah; mereka mengandung nilai sosial, spiritual, dan identitas kolektif.
Namun, tak hanya seni rupa yang diciptakan oleh perempuan yang sering terpinggirkan. Seni tari, lukisan, sastra, dan teater yang dihasilkan oleh perempuan juga kerap kali terabaikan dalam narasi sejarah seni yang lebih besar. Karya-karya ini memainkan peran penting dalam mempertahankan dan menyebarkan nilai-nilai budaya, serta menjadi medium penghubung antara generasi. Di banyak komunitas, seni perempuan bukan hanya ekspresi estetis, tetapi bagian dari upacara adat, ritual keagamaan, dan penanda status sosial.
Dalam tarian-tarian tradisional, perempuan tak hanya menjadi penari, tetapi juga penjaga kelestarian budaya dan penghubung antar generasi. Begitu pula dengan sastra, di mana penulis perempuan telah berkontribusi pada pembentukan cerita rakyat dan narasi budaya yang mendalam. Lukisan dan teater, meski lebih sering dikaitkan dengan laki-laki dalam konteks seni modern, pada kenyataannya juga dipenuhi dengan karya perempuan yang berbicara tentang pengalaman hidup, perlawanan, dan pemberdayaan.
Seiring dengan berkembangnya seni modern yang didominasi oleh institusi seni global, karya-karya seni perempuan ini sering kali dikelompokkan dalam kategori “kerajinan tangan” atau “seni minor.” Ini bukan hanya soal pengurangan kualitas, tetapi juga bentuk distorsi terhadap esensi karya itu sendiri. Karya perempuan—baik dalam bentuk tenun, tari, lukisan, sastra, atau teater—sering kali dianggap tidak sesuai dengan standar seni tinggi yang diakui oleh dunia internasional.
Padahal, seni perempuan sering kali lebih mendalam dalam melibatkan aspek komunitas dan spiritualitas, bukan hanya ekspresi individu atau objek estetis semata. Pergeseran makna seni ini semakin diperburuk oleh logika komodifikasi. Karya seni yang dulu memiliki kedalaman makna sosial dan budaya, kini lebih sering dijadikan produk konsumsi pasar atau objek pameran tanpa narasi yang mendalam. Sebagai contoh, tari tradisional yang awalnya menjadi bagian dari ritual keagamaan sering kali dijadikan tontonan hiburan –tanpa memperhatikan konteks spiritual dan simbolis yang terkandung dalam gerakan-gerakan tersebut.
Begitu pula dalam seni lukis, di mana karya-karya perempuan sering kali dipinggirkan, dan hanya sedikit yang memperoleh tempat di panggung seni rupa mainstream. Sastra perempuan, meskipun kaya dengan cerita dan perspektif yang unik, sering kali terabaikan dalam sejarah sastra Indonesia yang lebih dominan mengangkat suara laki-laki. Fenomena ini, meski berjalan dengan halus, merupakan bentuk penghapusan sejarah yang mendalam.
Ketika seni perempuan diposisikan dalam kerangka “kerajinan” atau “seni minor,” kontribusi mereka dalam membentuk identitas budaya bangsa ikut terhapuskan. Tidak hanya sebagai karya seni, tetapi juga sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan sosial yang penting bagi pembentukan masyarakat. Dalam banyak hal, sejarah seni Indonesia masih terjebak dalam narasi yang mengabaikan peran perempuan, baik dalam konteks domestik maupun publik.
Oleh karena itu, sangat penting bagi dunia seni Indonesia dan global untuk melakukan rekontekstualisasi terhadap karya-karya seni perempuan. Ini bukan hanya soal memberi pengakuan, tetapi juga tentang memulihkan makna yang terkubur dan menggali kembali nilai-nilai yang terkandung dalam karya-karya tersebut. Upaya ini memerlukan keberanian untuk membuka ruang bagi seni perempuan, baik dalam tradisi lokal maupun seni modern, agar dapat berbicara dalam konteks yang lebih luas. (Bersambung)
*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku “Manusia Dibedakan Demi Politik” (2020), serta kumpulan puisi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa” .