Advertisement
Oleh Zackir L Makmur*
Harusnya, Indonesia tidak hanya memperkaya sejarah seni, tetapi juga memastikan bahwa seni perempuan mendapatkan tempat yang layak dalam pembentukan identitas budaya kita yang lebih inklusif dan berkeadilan. Linda Nochlin, dalam esainya yang terkenal "Why There Have Been No Great Women Artists?", menyoroti ketidakhadiran perempuan dalam narasi besar sejarah seni. Ia berpendapat bahwa ketidakmampuan perempuan untuk menonjol dalam sejarah seni bukan disebabkan oleh kekurangan bakat atau kemampuan, melainkan oleh struktur sosial dan institusional yang membatasi mereka.
Lubang Kosong Narasi Sejarah Seni
Tidak adanya perempuan yang tercatat sebagai “seniman besar” dalam sejarah seni, menurut Nochlin, adalah hasil dari sistem yang telah menghalangi mereka untuk berkembang dan diakui. Penting untuk memahami bahwa ketidakhadiran perempuan dalam sejarah seni bukanlah akibat dari ketidakmampuan mereka dalam berkarya, melainkan dampak dari sistem yang mengatur akses terhadap pendidikan, sumber daya, dan pengakuan dalam dunia seni.
Sejarah seni yang lebih banyak mengangkat tokoh, laki-laki sebagai perwakilan utama pencapaian artistik, telah mengabaikan kontribusi signifikan dari perempuan yang sering kali terpinggirkan. Struktur sosial yang patriarkis ini menciptakan ketidaksetaraan yang mendalam dalam pengakuan terhadap seniman perempuan. Dengan menyadari hal ini, harusnya kita melihat kembali narasi sejarah seni yang telah dibangun selama berabad-abad.
Arsip-arsip sejarah seni yang tersembunyi harus digali kembali untuk menemukan karya-karya perempuan yang telah lama dilupakan. Melalui penelitian dan pengarsipan yang lebih inklusif, kita dapat memperkaya pemahaman kita tentang seni, sekaligus memberikan ruang yang lebih adil bagi kontribusi perempuan dalam bidang ini. Salah satu langkah penting, adalah memberi tempat yang layak bagi para seniman perempuan yang karyanya telah terpinggirkan. Ini bukan hanya soal revisi sejarah, tetapi juga soal menciptakan ruang di mana seni perempuan dapat dihargai dalam konteks yang lebih luas.
Menyusun ulang narasi seni yang lebih adil akan memperkaya wacana seni itu sendiri, mengakui keragaman suara, dan memberikan representasi yang lebih setara di dunia seni. Dengan demikian, tantangan terbesar kita bukan hanya mengakui ketidakhadiran perempuan dalam sejarah seni, tetapi juga memastikan bahwa kesenjangan ini diperbaiki dengan memberikan mereka tempat yang adil dalam sejarah yang akan datang. Ini adalah panggilan untuk meruntuhkan struktur yang telah mendiskreditkan kontribusi perempuan dan membangun dunia seni yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Perempuan dalam Seni Indonesia yang Terabaikan
Akan tetapi dalam seni rupa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kontribusi luar biasa, yang telah diberikan oleh seniman perempuan, justru narasi sejarah seni yang sering kali ditulis oleh dominasi laki-laki, suara perempuan sering kali terpinggirkan. Dalam perjalanan sejarah seni rupa Indonesia, nama-nama seperti Emiria Sunassa, Umi Dachlan, Siti Adiyati, Arahmaiani Feisal, dan Mella Jaarsma hadir sebagai figur penting yang membuka jalan bagi generasi seniman perempuan selanjutnya. Namun, meskipun pencapaian mereka besar, pengakuan terhadap karya-karya mereka sering kali terlambat atau bahkan terabaikan.
Emiria Sunassa, yang lahir pada tahun 1895, adalah salah satu pelopor seni lukis modern Indonesia dan anggota pendiri PERSAGI. Melalui karyanya, seperti Pengantin Dayak, Emiria tidak hanya menggambarkan keindahan Nusantara, tetapi juga memperjuangkan keberagaman dan resistensi terhadap kolonialisme. Ia membuktikan bahwa perempuan dapat memberikan perspektif yang berbeda dalam menggambarkan realitas sosial masyarakat. Namun, sering kali namanya terpinggirkan dalam narasi besar seni rupa Indonesia, yang lebih menonjolkan sosok laki-laki sebagai pelopor seni modern.
Begitu juga dengan Umi Dachlan, seorang pionir seni lukis abstrak di Indonesia. Sebagai murid Ahmad Sadali, Umi menggabungkan spiritualitas, alam, dan musik dalam karya-karyanya yang penuh warna dan makna. Sebagai perempuan yang juga berperan dalam dunia pendidikan seni, Umi tidak hanya mendedikasikan hidupnya untuk berkarya, tetapi juga membuka jalan bagi perempuan lainnya untuk berkiprah di dunia seni. Sebagai dosen perempuan pertama di FSRD ITB, ia memecah dominasi laki-laki dalam dunia akademik, sekaligus menguatkan posisi perempuan dalam ranah seni rupa.
Namun, pengakuan terhadap seniman perempuan ini tidaklah mudah. Siti Adiyati, salah satu pendiri Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI), menolak pembakuan dalam seni dan menghadirkan karya-karya seni instalasi yang penuh dengan kritik sosial dan politik. Ia juga terlibat dalam dunia penulisan dan pengarsipan seni, sebuah langkah yang penting untuk memperkuat ekosistem seni yang lebih inklusif terhadap suara perempuan. Keberanian Siti untuk menantang norma-norma yang ada dalam dunia seni rupa Indonesia membuka jalan bagi generasi seniman perempuan lainnya untuk melangkah lebih jauh, meskipun tetap dalam bayang-bayang dominasi seni laki-laki.
Di dunia seni pertunjukan, Arahmaiani Feisal menorehkan jejak penting dengan karyanya yang mengusung isu gender, agama, dan ketimpangan sosial. Karya-karya seperti Traditions/Tension dan Lingga Yoni menghadirkan provokasi yang menggugah kesadaran masyarakat tentang peran perempuan dalam budaya dan agama. Arahmaiani menghadapi banyak tantangan, mulai dari stigma hingga sensor, namun tetap mampu menyampaikan pesan yang kuat tentang identitas dan kepercayaan yang terpinggirkan dalam masyarakat.
Di sisi lain, Mella Jaarsma, melalui karya-karya instalasi dan kostumnya, mengungkapkan jejak kolonialisme dan identitas perempuan yang terlupakan. Ia berhasil memberikan ruang baru bagi perempuan seniman untuk merebut kembali narasi yang selama ini didominasi oleh struktur patriarki. Tidak hanya mereka yang telah menorehkan sejarah, seniman perempuan dari generasi baru seperti Maharani Mancanagara, Lala Bohang, Ines Katamso, dan Andrita Yuniza Orbandi terus menghidupkan dunia seni rupa Indonesia dengan eksperimen material dan eksplorasi tema-tema yang lebih personal dan kontemplatif.
Mereka menggabungkan unsur sejarah pribadi, postkolonialisme, ekologi, dan keberlanjutan dalam karya-karya mereka. Maharani dan Lala menyentuh emosi dan memori, sementara Ines mengangkat isu ekologi dalam instalasi seni yang berbicara tentang hubungan antara manusia dan alam. Andrita Yuniza mengeksplorasi keanekaragaman hayati dan bahan terbarukan untuk menciptakan seni yang tidak hanya estetis, tetapi juga berkelanjutan.
Mereka menunjukkan bahwa seni rupa tidak hanya soal estetika, tetapi juga tentang keberlanjutan dan kesadaran sosial yang semakin penting dalam dunia yang terus berubah. Melihat perjalanan panjang seni rupa perempuan Indonesia, kita seharusnya merenung dan bertanya: apakah sudah saatnya kita memberi tempat yang lebih layak bagi mereka dalam sejarah seni rupa Indonesia?
Meskipun telah ada kemajuan dalam pengakuan terhadap karya-karya mereka, masih banyak ruang yang perlu dibuka agar perempuan seniman Indonesia bisa mendapatkan tempat yang setara dengan seniman laki-laki. Jika kita benar-benar ingin menciptakan dunia seni yang lebih inklusif dan beragam, sudah saatnya kita merayakan kontribusi besar perempuan dalam seni rupa Indonesia dan memberi mereka ruang yang lebih besar dalam narasi sejarah seni.
Menuju Sejarah Seni yang Inklusif dan Interseksional
Masalah utama yang perlu kita hadapi, adalah pemahaman yang masih menganggap seni perempuan sebagai kategori terpisah. Konsep ini telah memperkuat pandangan bahwa karya seni perempuan tidak seberharga atau sekuat karya seni laki-laki. Padahal, seni perempuan memberikan perspektif yang unik, menyuarakan pengalaman dan perjuangan yang jarang terwakili dalam narasi utama sejarah seni.
Dengan merangkul karya seni perempuan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wacana seni, kita akan lebih banyak mendapatkan wawasan yang memperkaya pemahaman kita tentang seni itu sendiri. Selain itu, seni bukan hanya soal keindahan visual, tetapi juga soal komunikasi dan kritik sosial. Karya seni perempuan sering kali mencerminkan pertarungan sosial, politik, dan gender yang berlangsung dalam masyarakat.
Dalam banyak karya perempuan, kita bisa menemukan refleksi tentang ketidaksetaraan, kesadaran akan identitas, serta kritik terhadap norma-norma yang telah mapan. Oleh karena itu, mengintegrasikan lebih banyak karya seni perempuan dalam sejarah seni, akan membuka mata kita terhadap kompleksitas kehidupan dan berbagai lapisan realitas sosial yang seringkali terabaikan.
Langkah untuk menyusun ulang sejarah seni dengan perspektif yang lebih adil dan inklusif ini adalah langkah penting menuju seni yang lebih representatif dan bernilai. Hal ini tidak hanya akan memberikan ruang bagi perempuan untuk mendapatkan pengakuan yang setara, tetapi juga menjadikan seni sebagai alat yang lebih kuat dalam menyuarakan keadilan sosial.
Kita perlu berhenti melihat seni perempuan sebagai kategori minor dan mulai mengakui bahwa seni, dalam segala bentuknya, adalah cerminan dari perjuangan bersama untuk kesetaraan, keadilan, dan pengakuan. Inilah saatnya bagi dunia seni untuk lebih terbuka, lebih inklusif, dan lebih adil dalam memberi ruang bagi semua pihak yang telah berkontribusi dalam sejarah panjang seni rupa.
Menghormati Warisan, Mengukir Arah Baru
Maka pada akhirnya bahwa di tengah perayaan Hari Kartini atau Emansipasi, penting bagi kita untuk merenung sejenak tentang bagaimana seni—baik itu seni rupa, teater, maupun sastra—telah menjadi ruang di mana perempuan sering kali terpinggirkan, namun juga di mana mereka berjuang untuk mendapatkan suara. Menghormati warisan seni berarti mengakui perjalanan panjang yang telah dilalui oleh seniman perempuan, dari yang telah melegenda hingga yang kini tengah mengukir langkah baru. Karya-karya seni perempuan ini bukan sekadar estetika, tetapi juga refleksi dari perjuangan identitas dan ruang bagi perempuan untuk menyuarakan pengalaman mereka.
Namun, penghormatan terhadap warisan seni tidak boleh berhenti pada sekadar mengenang atau melestarikan karya-karya yang telah ada. Sebaliknya, itu harus menjadi pijakan untuk mengukir arah baru, terutama di dunia seni yang semakin berkembang dan beragam. Dalam seni rupa, misalnya, semakin banyak seniman perempuan yang menghasilkan karya-karya yang menantang batasan-batasan tradisional.
Karya-karya mereka tidak hanya berbicara tentang keindahan, tetapi juga mencakup kritik sosial dan politik yang mencerminkan realitas sosial yang dihadapi perempuan. Perempuan tidak lagi hanya menjadi subjek yang digambarkan dalam seni, tetapi juga sebagai pelaku aktif dalam menciptakan seni yang berbicara lebih jauh tentang ketidakadilan dan pemberdayaan.
Di dunia teater, seniman perempuan telah mengubah cara pandang terhadap peran mereka. Mereka tidak lagi sekadar berperan sebagai karakter pendukung atau simbol kelemahan, melainkan sebagai pengarah, penulis naskah, dan produser yang berani menantang norma-norma patriarkal. Karya teater yang dihasilkan oleh perempuan sering kali menggugah kesadaran sosial, dengan mengangkat tema-tema ketidaksetaraan gender, kekerasan, dan kebebasan berekspresi. Perempuan dalam seni teater kini memiliki kesempatan untuk menciptakan ruang bagi diri mereka sendiri, bukan hanya untuk menjadi bagian dari cerita, tetapi juga untuk menjadi penggagas perubahan dalam narasi yang ada.
Sastra perempuan, meskipun telah mengalami perjalanan panjang, tetap menjadi ladang perjuangan bagi perempuan untuk mendapatkan pengakuan yang layak. Sastra yang ditulis oleh perempuan sering kali memberikan suara bagi pengalaman yang jarang terdengar dalam sejarah. Karya-karya sastrawan perempuan seperti Dewi Lestari atau Laksmi Pamuntjak tidak hanya menawarkan cerita, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan tentang ketidaksetaraan dan perjuangan.
Sastra perempuan menjadi jembatan bagi masyarakat untuk lebih memahami kompleksitas pengalaman perempuan dalam berbagai lapisan sosial dan budaya, sekaligus mengajak pembaca untuk merefleksikan pandangan mereka tentang dunia.Dalam konteks ini, menghormati warisan seni dan mengukir arah baru dalam dunia seni perempuan bukanlah sekadar upaya mengakui kontribusi mereka. Ini adalah langkah konkret untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan dalam representasi.
Seni memiliki kekuatan untuk membentuk pandangan kita terhadap dunia, dan dengan memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara melalui seni, kita menciptakan dunia seni yang lebih inklusif dan reflektif terhadap perubahan zaman. Seni bukanlah sekadar pencapaian estetika, tetapi juga alat untuk menciptakan dialog, perubahan, dan pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sebagai masyarakat.***
*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku “Manusia Dibedakan Demi Politik” (2020), serta kumpulan puisi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa” .