Advertisement
Oleh Ikhsan Satria Irianto*
“Tetapi najisnya, malah kita yang dijajah oleh bangsa yang belum merdeka! Anjing-anjing itu sedang dijajah bangsa lainnya pula! Dulu di setiap pintu-pintu kantor tertulis dilarang masuk untuk anjing dan pribumi! dan kalian tau, semboyan itu bahkan disebar luas di seluruh sudut kota di negeri ini”
Pertunjukan teater “Nata Sukma” karya dan sutradara Tatang R. Macan merupakan produksi dari Studio Teater Insitut Seni Indonesia Padangpanjang yang bekerja sama dengan UPTD Taman Budaya Jambi. Pertunjukan yang dihelat pada hari Sabtu dan Minggu (26-27/04/2025) di Teater Arena Taman Budaya Jambi ini didukung oleh Kanti Becakap, Komunitas Baselang, dan Himpunan Mahasiswa Jurusan Teater ISI Padangpanjang. Karya yang telah dipentaskan di beberapa kota di Indonesia dan Malaysia ini telah melalui proses riset yang panjang dan juga telah dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah, seperti Jurnal Mudra (2018), Technium Social Science Journal (2024), Manassa (Yogyakarta) dan Oceania Press (2024).
Karya “Nata Sukma” merupakan eksplorasi kreatif pengkarya atas folklor Sunda yang berjudul “Wawacan Nata Sukma” yang berlatar di tanah Priangan pada tahun 1833. “Nata Sukma” mengisahkan tentang praktik kolonialisme dan politik kekuasaan melalui berbagai kesaksian para saksi sejarah. Tokoh-tokoh sejarah hadir kembali untuk menyampaikan kesaksiannya tentang peristiwa pahit di masa lalu. Kisah yang dikabarkannya adalah tragedi tentang para pribumi yang ditindas di tanah mereka sendiri. Orasi perjuangan ini disuarakan oleh tokoh yang bernama Nata Sukma.
Meskipun karya ini berlatar pada peristiwa sejarah tahun 1833, namun secara tematik karya “Nata Sukma” masih memiliki relevansi yang sangat kuat dengan problematika sosial dan politik yang terjadi hingga saat ini. Persoalan penindasan, kekerasan simbolik, kondisi korup, penyalahgunaan kekuasaan dan eksploitasi identitas yang dikritik oleh karya “Nata Sukma”, nyatanya masih kontekstual dengan kondisi demokrasi hari ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persoalan masa lalu ternyata terus terulang. Masyarakat hari ini tetap saja terperangkap dalam penderitaan dan terjebak pada alur silkuler dari ketidakteraturannya rezim kekuasaan. Kiranya karya “Nata Sukma” berusaha untuk menyadarkan penonton untuk segera keluar dari lingkaran setan ini.
Kesaksian atas pengalaman traumatik para tokoh dalam “Nata Sukma” disampaikan secara eksplisit melalui dialog-dialog agitatif. Pemilihan pola dialog ini tentunya tidak dimaksudkan untuk memaparkan cerita, tetapi lebih fokus kepada memprovokasi pemikiran kritis penonton melalui dialog yang tanjam dan persuasif. Setiap dialog menghancurkan konsep empat dinding untuk menjalin komunikasi langsung kepada penonton. Sepanjang karya, alur dramatik digarap dalam intensitas emosi yang tinggi sehingga menawarkan semacam teror yang membuka paksa mata penonton untuk dapat memahami kenyataan di sekitarnya. Teror yang dihadirkan tidak hanya menyerang emosi penonton tetapi juga menggelisahkan kognisi penonton. Teror ini menjerat penonton untuk terlibat secara utuh dan turut serta dalam merasakan penderitaan yang dialami para tokoh. Karya “Nata Sukma” tidak hanya berfokus untuk menghasilkan efek katarsis, namun juga berusaha membangkitkan kesadaran kritis penonton. Pilihan metode penyampaian makna ini tentunya sangat efektif untuk menjalin dialog yang agitatif.
Selain berfokus pada kekuatan dialog secara verbal, Tatang sebagai pengkarya juga mengeksplorasi komposisi audio-visual untuk menciptakan keutuhan spektakel yang apik. Komposisi visual dibangun melalui dua kekuatan emphasis yang menciptakan balans di atas panggung, yaitu kursi emas yang terletak di bagian kiri belakang atas dan dangau berada di bagian kanan depan bawah. Sementara para aktor masuk dari empat sisi panggung dan mengeksplorasi ruang untuk menciptakan perubahan titik fokus yang halus. Tidak ada ruang yang tidak tersentuh dan tidak ada posisi yang tumpang tindih. Garis-garis blocking yang diciptakan tidak berulang dan membentuk formasi yang variatif.
Sedangkan, komposisi audionya dibangun melalui efek suara yang diciptakan melalui eksplorasi suara masyarakat pegunungan yang bersautan. Efek audio ini menghasilkan teriakan-teriakan yang saling berinteraksi dan menciptakan nuansa kehidupan masyarakat agraris di dataran tinggi. Suara-suara itu juga memberikan impresi yang kuat untuk menggambarkan bagaimana suara penderitaan yang terus bergema dari segala arah. Pola audio ini juga membawa penonton ke dalam suasana pendesaan untuk dapat merasakan langsung penderitaan para pekerja dalam sistem tanam paksa. Komposisi audio ini memberikan irama fluktuatif yang memperkuat suasana setiap peristiwa.
Komposisi audio-visual yang dinamis ini mengisi setiap transisi dari dialog agitatif. Komposisi ini menciptakan spektakel yang memiliki kekuatan unity dan clarity, sehingga setiap fragmen peristiwa terjalin dengan erat. “Nata Sukma” menyuguhkan sebuah pertunjukan yang tidak hanya kuat secara isu dan makna, tetapi juga menawan secara audio-visual. Secara keseluruhan, karya ini telah berhasil menyediakan ruang kontemplatif dan diskursif tentang hak hidup layak bagi umat manusia. Semoga karya ini tidak berhenti bertumbuh dan terus menyuarakan tentang perjuangan kaum tertindas. Tabik.
*Dramaturg dan Akademisi Teater