Advertisement
Oleh: Amanda Paramerta
Fenomena di Bantargebang adalah sebuah potret langsung dari ketidakadilan lingkungan (environmental injustice). Indonesia secara teori, melalui Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat (1), menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Namun pada praktiknya, yang muncul justru adalah ketimpangan ekologis, dimana kota besar menikmati ruang hidupnya yang lebih sehat dan bersih sedangkan wilayah pinggiran atau penyangga yang minim kuasa politik dan akses pengambilan keputusan justru memikul tanggung jawab ekologisnya. Hal ini kemudian memunculkan sebuah pertanyaan: mengapa suatu wilayah harus menanggung beban yang tidak ia hasilkan?
Wilayah penyangga (buffer zone) atau yang disebut kota satelit adalah sebuah wilayah yang dibuat guna melindungi dan mendukung kawasan inti dari dampak-dampak negatif seperti kerusakan lingkungan berupa banjir sampai gangguan dari adanya aktivitas manusia. Dengan tugas utama yang demikian besar ditanggung di pundaknya, kota-kota satelit ini idealnya dibangun dengan perencanaan tata ruang wilayah yang matang serta dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung yang jauh lebih kuat.
Dalam kasus kawasan metropolitan Jakarta, melalui Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1976, Bekasi telah ditetapkan menjadi wilayah penyokong. Keberadaan Bekasi sebagai salah satu satelit Jakarta ini vital adanya untuk menyangga, tetapi jika melihat realita lapangan, apakah selama ini setiap pembangunan yang dilaksanakan di wilayah penyangga sudah dipetakan dengan baik? Atau sebenarnya definisi wilayah penyangga oleh pemangku kepentingan hanyalah sebagai tempat untuk menukar citra? Dimana citra buruk ibu kota ditukar atau dipindahkan ke wilayah penyangga yang tidak begitu terlihat, sehingga yang menerima citra buruknya tentu saja lagi-lagi daerah pinggiran.
Bantargebang sebagai salah satu kecamatan yang ada di dalam Kota Bekasi ini menjadi potret bagaimana daerah penyangga harus berjuang sendirian ketika teori dan praktik tidak berjalan beriringan. Wilayah ini awalnya adalah daerah agraris dengan ruang terbuka hijau dan sumber air bersih. Jika ditarik mundur, bisa dilihat dari nama Bantargebang itu sendiri yang berasal dari kata ban (sabuk), tar (pelataran), dan gebang (pohon). Sabuk disini memiliki arti sebagai ikatan atau batas, pelataran adalah halaman luas, dan gebang adalah sebuah jenis pohon yang tumbuh di daerah ini. Nama Bantargebang sesungguhnya menggambarkan karakteristik ruang Bantargebang yang dahulu, dimana terdapat banyak pohon-pohon gebang di lahan yang luas yang berfungsi sebagai zona batas alami. Sayangnya, Bantargebang itu hanya bertahan hidup di masa lampau.
Pada tahun 1989, akibat dari kenaikan drastis volume sampah di Jakarta serta kapasitas TPA sebelumnya sudah tidak memadai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui perjanjian kerja sama antar pemerintah daerah resmi mengoperasikan TPA Bantargebang menjadi tempat sampah-nya Jakarta. Demikian setiap tahun mengalami pembengkakan input limbah, sejalan dengan ekspansi lahan TPA yang turut membesar. Per tahun 2024, TPA Bantargebang setiap harinya menerima sebanyak 7-8 ton sampah, dengan 60% dari total sampah tersebut berasal dari Jakarta dan 40% lainnya diisi oleh Bekasi serta wilayah sekitarnya. Timbunan sampah yang kian menggunung tentu saja telah menciptakan efek buruk terhadap kualitas hidup dan lingkungan, mencemari mulai dari air, tanah, udara, sampai ke dalam paru-paru masyarakat.
Keadilan lingkungan (environmental justice) adalah sebuah kondisi dimana setiap orang, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau geografis berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Bukan hanya tentang bagaimana melindungi alam, namun memiliki intisari bahwa hak-hak manusia atas udara yang bersih, air yang jernih, serta tanah yang subur patut diperjuangkan. Pada kasus di Bantargebang, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa lingkungan di sekitar TPA Bantargebang amatlah jauh keadaannya untuk bisa dikatakan sudah memperoleh keadilan lingkungannya, jika dibandingkan dengan kota intinya.
Terdapat tiga aspek utama yang menjadi sorotan dalam studi keadilan lingkungan. Pertama, keadilan dalam distribusi beban dan manfaat lingkungan. Hal ini secara terang-terangan belum terpenuhi, dimana Jakarta tidak menuai apa yang ia ciptakan (sampah) serta dapat hidup dengan bersih dan nyaman, sedangkan segala residu negatif ditanggung oleh Bantargebang. Hal ini tercermin dari air lindi yang tidak dikelola dengan baik dan mencemari sungai (surface water) serta air tanah (underground water), berdampak pula pada tingkat kesuburan tanah, dan bebauan yang dibawa oleh udara yang sudah tidak sehat. Pengelolaan beban dan manfaat seharusnya dilakukan secara desentralisasi, sehingga tidak ada satu wilayah yang harus menanggung beban berlebihan dari apa yang tidak ia hasilkan. Kedua, akses terhadap pelibatan pengambilan keputusan. Warga Bantargebang berhak untuk menentukan nasib hidup dan nasih tanahnya sendiri, jadi dalam segala keputusan terkait Bantargebang seharusnya warga itu sendiri ikut dipartisipasikan. Sekarang tinggal berkaca, apakah sekiranya hal ini sudah dilaksanakan atau keputusan yang diambil masih berdasarkan kepentingan pihak tertentu? Ketiga, pengakuan terhadap hak-hak komunitas terdampak. Pengakuan ini berarti memastikan mereka diperlakukan secara setara dan didengarkan, ini menjadi landasan penting untuk membangun relasi yang lebih adil.
Kembali lagi terkait citra atau stigma pada masyarakat. Setiap mendengar nama Bantargebang, apa yang pertama kali hadir dalam imajinasi dan pikiran? Bagi banyak orang, nama tersebut identik dengan sampah, kotor, bau, dan turunan-turunannya. Stigma ini pada gilirannya dapat memperburuk ketidakadilan dan dapat mempersempit kesempatan masyarakat lokal. Warga Bantargebang yang seharusnya berhak atas kesempatan hidup yang lebih baik, justru terperangkap dalam lingkaran ketidakadilan struktural. Atas alasan ini, mulai muncul inisiatif oleh banyak pihak, baik dari Bantargebang itu sendiri maupun diluar wilayah. Salah satunya adalah pengadaan Festival Bantargebang (FBG) yang diinisiasi oleh Artery Performa, sebuah yayasan seni budaya di Bekasi.
Festival Bantargebang 2025 akan berlangsung selama 12 hari dengan peserta residensi adalah berbagai seniman dari berbagai disiplin dan asal daerah. Acara puncaknya berada di tanggal 10-12 Mei 2025, dimana akan ada pertunjukan dan pameran yang menjadi hasil karya dari seniman-seniman residensi berkolaborasi dengan warga setelah diberikan pembekalan dan lokakarya seni sebelumnya. Selain itu, festival ini menghadirkan kegiatan Ngobrol Bantargebang dan Penerbitan E-Book. Festival ini adalah salah satu bentuk upaya perubahan citra dan sebagai pernyataan keras bahwa Bantargebang lebih dari sekadar tempat sampah. Bantargebang adalah ruang hidup yang diisi oleh insan-insan yang juga berhak atas kehidupan yang nyaman, sehat, dan bersih.
Festival Bantargebang 2025 ingin membangun ruang seni budaya yang intensif-inklusif sebagai wadah inkubasi kreatifitas warga untuk memperbincangkan, memetakan, serta menyikapi persoalan sosial-politik, budaya dan ekologis di lingkungan TPST Bantargebang. Festival ini diselenggarakan oleh Yayasan Seni Budaya Artery Performa dengan segenap mitra kerja, didukung oleh Ciketing Udik Culture Fest, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Ciketing Udik, Kelurahan Ciketing Udik, dan merupakan bagian dari Jejaring AntarRagam-Garasi Performance Institute. Festival diselenggarakan pada 4 kelurahan di kecamatan Bantargebang, yaitu Ciketing Udik, Cikiwul, Sumur Batu, dan Bantargebang.
Festival Bantargebang 2025 merupakan salah satu penerima Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan (Dana Indonesiana) Program Layanan Produksi Kegiatan Kebudayaan Kategori Pendayagunaan Ruang Publik. Pelaksanaan program Dana Indonesiana dilakukan melalui kerja sama antara Kementerian Kebudayaan dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Menjawab pertanyaan di awal tulisan, mengapa suatu wilayah harus menanggung beban yang tidak ia hasilkan? Jawabannya, tidak seharusnya dan tidak untuk dinormalisasi. Bantargebang menunjukan pada kita bahwa beban ekologis seringkali dibagi secara tidak merata, melainkan dilimpahkan kepada mereka yang suaranya lebih lemah. Untuk itu, menegakan keadilan lingkungan bukan hanya tentang memperbaiki sistem, tetapi juga mengubah cara kita memandang dan mendefinisikan ulang hubungan antara manusia dan lingkungan itu sendiri.