Pesan Ekologis Dari Pertunjukan Sanggar Riang Au Desa Nurabelen Di Festival Bale Nagi 2025 -->
close
Pojok Seni
27 April 2025, 4/27/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-04-27T01:00:00Z
Artikel

Pesan Ekologis Dari Pertunjukan Sanggar Riang Au Desa Nurabelen Di Festival Bale Nagi 2025

Advertisement

Festival Balenegi 2025

 

Oleh: Zaeni Boli

 

Dahaga saya akan pertunjukan Teater yang berkualitas akhirnya terpenuhi malam ini , terima kasih pada tim kurator acara Festival Bale Nagi 2025, sebagai awam yang ingin menikmati suasana Festival Bale Nagi dengan ragam rangkaian acaranya. Saya benar benar merasa senang dan bahagia, beberapa rangkaian acaranya buat saya lebih baik atau meningkat meski mungkin terjadi penurunan pengunjung atau penonton pada gelaran tahun ini. Tapi, sebagai penikmat seni justru suasana tidak terlalu ramai ini membuat nyaman untuk menonton.

 

Kembali ke Sanggar Riang Au, sanggar di Desa Nurabelen adalah sebuah kelompok yang saya bayangkan tubuh atas dasar kesamaan daerah atau berada dalam desa yang sama yakni Nurabelen. Kalau dicari tau, termasuk dalam daerah yang masuk Zona merah dari bencana Erupsi gunung Lewotobi di Flores Timur. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka berproses hingga akhirnya karya yang hebat ini bisa tersaji dalam Festival Bale Nagi tahun 2025 di hari kedua Festival tepat pada tanggal 25 April 2025 .

 

Pertunjukan ini terasa sekali pesan yang ingin disampaikan dan penonton turut merasa , meski hari hari ini Flores Timur dihadapkan pada bencana yang berkepanjangan dari mulai erupsi gunung Lewotobi , jalan rusak di Adonara dan Tanjung Bunga tapi masyarakat tetap saja bisa menemukan cara untuk bergembira entah caranya benar atau salah hantam saja.


Kembali ke Pertunjukan Sanggar Nurabelen, sebagai penonton yang sangat ingin pertunjukan yang paling tidak baik saya baru mendengar ada sebuah kelompok seni khususnya Teater Tradisional yang se keren ini untuk ukuran Flores Timur.

 

Ok mari kita tak usah bicara teknis karena ini semacam pekerjaan rumah yang tak selesai selesai dari panitia pelaksana dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur. Tapi, mari kita fokus pada pertunjukan kali ini . Adegan dimulai dari sekumpulan orang yang menambang pasir secara ilegal juga ada orang orang yang menebang pohon secara brutal sementara sekumpul orang dengan pakaian adat terpaku di bawah atap rumah mereka menyaksikan mereka , saya tidak begitu paham apakah maksudnya seperti itu atau orang orang yang berada di belakang panggung sisi kanan paling tidak sudah masuk dalam frame panggung dan terlihat menyatu dengan pertunjukan itu sendiri.

 

Gesek antara sekop ke lantai yang menimbulkan suara seperti sebuah jeritan kecil yang tak dipedulikan oleh orang orang rakus hal yang terus berulang ulang sampai tak tau lagi cara untuk berhenti yang manusia hanya pandai menyakiti bumi tepat ia berpijak.

 

Adegan berpindah kepada dua orang suami istri yang mencari mata air pada bagian ini saya sedikit ingin tersenyum dengan permainan kata dari pasangan ini khususnya pada peran suami , apakah romantisme ini memang benar benar ada di daerah mereka romantisme yang menggunakan kata kata dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa daerah yang membuat saya gagal fokus saat suami memanggil istrinya dengan panggilan mama.

 

Iya gitu mereka biasa mereka menyebut atau memanggil pasangan dengan panggilan papa mama, lepas benar atau tidak, ah biar saja kadang pertunjukan tak harus mengadaptasi bulat bulat kenyataan yang ada karena realitas panggung berbeda dengan realitas kehidupan.

 

Singkat cerita mata air yang mereka cari ditemukan, setelahnya kabar gembira ini sampai di kampung mereka dibuatkan adat, pertunjukan dua bahasa ini kental sekali nuansa tradisional tapi tak meghilang esensi dari kenyataan hari ini yakni peristiwa erupsi gunung Lewotobi Flores Timur.

 

Lalu terjadi bentrok antara penambang pasir liar dengan warga . Kemudian sosok perempuan muncul dari kerumunan penonton menyampaikan pesan pesan tentang alam bagaimana cara kita mesti berdampingan dengan alam ia sampai dengan mata yang menyala.

 

Saya sementara visual dibelakangnya ada sekumpulan yang rata rata penambang yang terkena abu panas erupsi gunung. Sebuah pilu yang nyata dan kami penonton merasa dekat dengan cerita ini . Kemudian kepala adat pun turut memberikan petatah petitih tentang bagaimana semestinya kita  menjaga alam dan kehidupan pertunjukan diakhiri dengan damai . Dengan simbol para pemain bergandengan tangan menghadap penonton . Meski disajikan dalam dua bahasa yakni bahasa Indonesia dan bahasa daerah saya sangat pesan yang ingin mereka sampaikan akan sampai pada penonton. Kesenian sebagai media komunikasi dan edukasi telah memberikan kita pelajaran penting tentang menjaga alam tanpa kerakusan manusia.

 

Sayang saya tak punya cukup kamera untuk bisa mengambil dokumentasi karena memang jarak antara panggung dan penonton cukup jauh. Tapi sekali lagi pertunjukan ini berhasil menghipnotis kesadaran kami akan pentingnya menjaga alam.

Ads