Advertisement
Dahaga saya akan pertunjukan Teater yang
berkualitas akhirnya terpenuhi malam ini , terima kasih pada tim kurator acara
Festival Bale Nagi 2025, sebagai awam yang ingin menikmati suasana Festival
Bale Nagi dengan ragam rangkaian acaranya. Saya benar benar merasa senang dan
bahagia, beberapa rangkaian acaranya buat saya lebih baik atau meningkat meski mungkin
terjadi penurunan pengunjung atau penonton pada gelaran tahun ini. Tapi, sebagai
penikmat seni justru suasana tidak terlalu ramai ini membuat nyaman untuk
menonton.
Kembali ke Sanggar Riang Au, sanggar di Desa Nurabelen adalah sebuah
kelompok yang saya bayangkan tubuh atas dasar kesamaan daerah atau berada dalam
desa yang sama yakni Nurabelen. Kalau dicari tau, termasuk dalam daerah yang
masuk Zona merah dari bencana Erupsi gunung Lewotobi di Flores Timur. Saya
tidak bisa membayangkan bagaimana mereka berproses hingga akhirnya karya yang
hebat ini bisa tersaji dalam Festival Bale Nagi tahun 2025 di hari kedua Festival tepat pada tanggal 25 April
2025 .
Pertunjukan ini terasa sekali pesan yang ingin
disampaikan dan penonton turut merasa , meski hari hari ini Flores Timur
dihadapkan pada bencana yang berkepanjangan dari mulai erupsi gunung Lewotobi ,
jalan rusak di Adonara dan Tanjung Bunga tapi masyarakat tetap saja bisa
menemukan cara untuk bergembira entah caranya benar atau salah hantam saja.
Kembali ke Pertunjukan Sanggar Nurabelen,
sebagai penonton yang sangat ingin pertunjukan yang paling tidak baik saya baru
mendengar ada sebuah kelompok seni khususnya Teater Tradisional yang se keren
ini untuk ukuran Flores Timur.
Ok mari kita tak usah bicara teknis karena ini
semacam pekerjaan rumah yang tak selesai selesai dari panitia pelaksana dalam hal ini Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur. Tapi, mari kita fokus pada
pertunjukan kali ini . Adegan dimulai dari sekumpulan orang yang menambang
pasir secara ilegal juga ada orang orang yang menebang pohon secara brutal
sementara sekumpul orang dengan pakaian adat terpaku di bawah atap rumah mereka
menyaksikan mereka , saya tidak begitu paham apakah maksudnya seperti itu atau
orang orang yang berada di belakang panggung sisi kanan paling tidak sudah
masuk dalam frame panggung dan terlihat menyatu dengan pertunjukan itu sendiri.
Gesek antara sekop ke lantai yang menimbulkan
suara seperti sebuah jeritan kecil yang tak dipedulikan oleh orang orang rakus
hal yang terus berulang ulang sampai tak tau lagi cara untuk berhenti yang
manusia hanya pandai menyakiti bumi tepat ia berpijak.
Adegan berpindah kepada dua orang suami istri
yang mencari mata air pada bagian ini saya sedikit ingin tersenyum dengan
permainan kata dari pasangan ini khususnya pada peran suami , apakah romantisme
ini memang benar benar ada di daerah mereka romantisme yang menggunakan kata
kata dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa daerah yang membuat saya gagal
fokus saat suami memanggil istrinya dengan panggilan mama.
Iya gitu mereka biasa mereka menyebut atau memanggil pasangan dengan
panggilan papa mama, lepas benar atau tidak, ah biar saja kadang pertunjukan tak harus
mengadaptasi bulat bulat kenyataan yang ada karena realitas panggung berbeda
dengan realitas kehidupan.
Singkat cerita mata air yang mereka cari
ditemukan, setelahnya kabar gembira ini sampai di kampung mereka dibuatkan adat,
pertunjukan dua bahasa ini kental sekali nuansa tradisional tapi tak meghilang
esensi dari kenyataan hari ini yakni peristiwa erupsi gunung Lewotobi Flores
Timur.
Lalu terjadi bentrok antara penambang pasir
liar dengan warga . Kemudian sosok perempuan muncul dari kerumunan penonton
menyampaikan pesan pesan tentang alam bagaimana cara kita mesti berdampingan
dengan alam ia sampai dengan mata yang menyala.
Saya sementara visual dibelakangnya ada
sekumpulan yang rata rata penambang yang terkena abu panas erupsi gunung.
Sebuah pilu yang nyata dan kami penonton merasa dekat dengan cerita ini .
Kemudian kepala adat pun turut memberikan petatah petitih tentang bagaimana
semestinya kita menjaga alam dan
kehidupan pertunjukan diakhiri dengan damai . Dengan simbol para pemain
bergandengan tangan menghadap penonton . Meski disajikan dalam dua bahasa yakni
bahasa Indonesia dan bahasa daerah saya sangat pesan yang ingin mereka
sampaikan akan sampai pada penonton. Kesenian sebagai media komunikasi dan
edukasi telah memberikan kita pelajaran penting tentang menjaga alam tanpa
kerakusan manusia.
Sayang saya tak punya cukup kamera untuk bisa mengambil dokumentasi karena memang jarak antara panggung dan penonton cukup jauh. Tapi sekali lagi pertunjukan ini berhasil menghipnotis kesadaran kami akan pentingnya menjaga alam.