Komunikasi Estetik: Ketika Karya Seni dan Penonton Berinteraksi -->
close
Pojok Seni
14 January 2023, 1/14/2023 03:58:00 AM WIB
Terbaru 2023-01-13T20:58:11Z
ArtikelEstetika

Komunikasi Estetik: Ketika Karya Seni dan Penonton Berinteraksi

Advertisement
Komunikasi Estetik

Pojok Seni - Karya seni, sebagai sebuah objek estetis, tentunya membangkitkan pengalaman-pengalaman yang unik bagi pemirsanya. Francis Hutcheson (1694 - 1746), seorang filsuf asal Irlandia Utara, menyebut tentang persepsi estetis. Persepsi estetis adalah perasaan yang didapatkan ketika seseorang memandang, menonton, menikmati, dan mengapresiasi sebuah objek estetis.


Hasil dari sebuah persepsi estetis adalah kebahagiaan indrawi, dan kebahagiaan rasional. Bila kebahagiaan indrawi mengacu pada kesenangan indra luar ketika menikmati karya seni, maka kebahagiaan rasional adalah sebuah kontemplasi (perenungan intelektual) dan proses pengejaran kepentingan diri. Setidaknya, menurut Hutcheson (dalam Suryajaya, 2016), karya seni yang baik akan memberikan kedua efek tersebut bagi pemirsanya.


Di sinilah terjadi komunikasi antara karya seni sebagai objek estetis, dengan pemirsanya. Komunikasi estetik ini menjadi salah satu bahasan yang menarik dalam diskusi bertajuk "Seni Pertunjukan dan Seni Visual di Era Digital: Peluang dan Tantangan" yang digelar oleh Prodi Pengkajian Seni, Pasca Sarjana ISBI Bandung, pada Selasa (10/1/2023) lalu. 


Seminar daring yang dipandu oleh Fahdi Hasan sebagai pembawa acara, serta Budi Dalton dan Euis Karmila sebagai moderator ini, menghadirkan beberapa narasumber antara lain Bhatara Sena Sunandar Sunarya (dalang wayang golek), Suparma (dalang wayang kulit), Dr Supriatna, S.Sn., M.Sn (dosen ISBI Bandung), dan Dr. Irma Damajanti, M.Sn (Dosen ITB) sebagai narasumber. Salah satu di antara para narasumber yakni Supriatna, membahas tentang komunikasi estetik. Komunikasi estetik diartikan sebagai sebuah peristiwa komunikasi di dalam seni yang mengandung relasi nilai keindahan (estetik) sebagai sebuah pesan bermakna antara seniman dengan publiknya, menurut Jaeni dalam papernya berjudul Komunikasi Estetik dalam Seni Pertunjukan Teater Rakyat Sandiwara Cirebon. (Jaeni, 2013) 


Sedangkan komunikasi visual adalah sebuah proses pertukaran pesan dengan melibatkan visual (konsep yang dilihat dengan mata), misalnya video, foto, gambar, lukisan, dan sebagainya (Kenney, 2009). Dalam hal ini, sebuah pesan visual (sesuatu yang ditampakkan) akan dibangun dengan kesadaran estetik, lalu menjadikan sebuah interaksi sosial dalam wahana operasional komunikasi. Komunikasi bisa berbentuk verbal seperti di teater konvensional, juga non verbal yakni dengan tanda-tanda atau simbol tertentu (Hauskeller, 2015).


Pertanyaan tentang Terminologi "Statis" dan "Dinamis"


komunikasi estetik
Melihat "foto" di atas, apakah termasuk dalam kategori "komunikasi statis"? Atau, memunculkan semacam "pola imajiner"?

Hanya saja, satu yang menjadi pertanyaan adalah terminologi dan pembatasan "statis" dan "dinamis" yang dipaparkan oleh Dr Supriatna. Supriatna membagi komunikasi visual menjadi dua, yakni statis (untuk objek tak bergerak) dan dinamis (untuk objek bergerak). Objek dinamis diartikan sebagai objek yang memiliki pola tertentu (kinetik, koreagrafi, dan konfigurasi) yang membangun pola-pola imajiner di kepala pemirsanya.


Namun, dalam tradisi fenomenologi, utamanya dari perspektif Mikel Dufrenne, sebuah "karya seni" bisa menjadi "objek estetis" atau tidak, itu tergantung dari persepsi orang yang melihatnya. Di sini kunci "komunikasi" terjadi. Komunikasi adalah proses dua arah, maka keduanya baik pengirim pesan maupun penerima pesan, mesti sama-sama "aktif" dan tidak "statis (Dufrenne,1973).


Contoh kasus seperti ini; lukisan Monalisa karya Da Vinci tergantung di museum. Dua orang datang, satu di antaranya apresiator, dan satu lagi adalah satpam penjaga museum. Keduanya sama-sama masuk dan melihat lukisan tersebut. Hanya saja, pengunjung (apresiator) melakukan "komunikasi" dengan lukisan tersebut, sehingga terjadi proses penyerapan, penyaksian, pengilhaman, merasakan, dan mendapatkan pengalaman estetis dari pemirsa tersebut.


Sedangkan satpam museum, ia masuk dan melihat lukisan tersebut dengan tujuan memeriksa apakah lukisan tersebut masih ada di tempatnya, atau tidak. Ia tidak mengapresiasi lukisan tersebut, sehingga tidak merasakan keintiman (kesubliman) antara dirinya dengan karya, yang menghasilkan pengalaman estetis tertentu. 


Dalam hal ini, pemirsa (apresiator) melakukan komunikasi estetik dengan lukisan. Sedangkan satpam museum tidak melakukan komunikasi estetik dengan lukisan tersebut. Dalam hal ini, tidak ada istilah "komunikasi statis", karena yang ada hanyalah "berkomunikasi dengan objek estetis" atau tidak sama sekali (Suryajaya, 2016).


Contoh kasus lain; seseorang yang menggemari lukisan akan merasakan komunikasi yang intim dan menimbulkan kesubliman dengan sebuah lukisan. Hal itu justru tidak didapatkannya ketika menyaksikan pertunjukan teater. Maka, dalam hal ini lukisan yang "statis" justru menimbulkan "komunikasi yang dinamis". Sedangkan pertunjukan teater yang "dinamis" justru tidak menimbulkan komunikasi apapun. Karena itu, dalam kacamata fenomenologi (khususnya perspektif Dufrenne), suatu karya seni bisa menjadi "benda biasa" atau "objek estetis" tergantung dengan komunikasi yang terjadi.


Meski demikian, sangat menarik menyimak diskusi terkait komunikasi visual ini. Sebab, ada banyak peluang (juga tantangan) yang bisa didapatkan oleh seorang pengkarya untuk terus survive di era digital seperti saat ini. Selain pembahasan tentang "komunikasi visual", juga ada bahasan menarik tentang Dilema Digital Art: Peluang dan Tantangan Seni Visual Era Digital yang dipaparkan oleh Dr Irma Damajanti, M.Sn.



Rujukan:


  1. Ali, Matius. Estetika: Pengantar Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar Luxor, 2011.
  2. Dufrenne, Mikel. The Phenomenology of Aesthetic Experience. Evanston: Northwestern University Press. 1973.
  3. Hauskeller, Michael. Seni, Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto. Penerjemah Satya Graha dan Monika J. Wizemann. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
  4. Jaeni. "Komunikasi Estetik dalam Seni Pertunjukan Teater Rakyat Sandiwara Cirebon." Panggung, vol. 22, no. 2, 2012, doi:10.26742/panggung.v22i2.58.
  5. Kenney, Keith. Visual Communication Research Designs. New York & London: Routledge. 2009
  6. Suryajaya, Martin. Sejarah Estetika: era Klasik sampai Kontemporer. Jakarta: Gang Kabel, Indie Book Corner, 2016.

Ads