Sekilas Tentang Efoni, Irama dan Matra dalam Karya Sastra -->
close
Adhyra Irianto
21 January 2021, 1/21/2021 04:50:00 AM WIB
Terbaru 2021-01-20T21:50:50Z
ArtikelBeritaSastra

Sekilas Tentang Efoni, Irama dan Matra dalam Karya Sastra

Advertisement

pojokseni.com - Rene Wellek dan Austin Warren menyebut bahwa karya sastra adalah "urutan bunyi yang menghasilkan makna". Tapi, setelah itu mereka juga menegaskan bahwa stratum bunyi di karya sastra "bukan hal yang penting".


Hal itu dikarenakan dalam sejumlah karya sastra, terutama prosa dan naskah drama, stratum bunyi memang tidak begitu terlihat fungsinya. Namun, perlu dicatat bahwa stratum fonetik dalam karya sastra merupakan sebuah prasyarat makna, meski hanya bersifat kuantitatif. Kita tidak bisa membedakan bahwa karya tertentu merupakan jenis prosa dan karya lainnya sebagai puisi hanya berdasar pada stratum bunyi.


Pendekatan analisis karya sastra bisa juga dengan membedah  dari sisi efek bunyi. Namun, sebelum bicara terlalu jauh tentang efek bunyi ini, terlebih dulu kita mesti memisahkan antara "karya tulisan" dengan "karya lisan". Kita anggap saja puisi misalnya, ketika berbentuk tulisan dan dibacakan, maka keduanya menjadi "karya yang berbeda".


Yah, yang satu karya seni sastra dan yang satu lagi "performing art" atau seni pertunjukan. Seperti itu juga terjadi pada naskah drama. Ketika dipentaskan, ia menjadi "seni teater" dan bukan lagi "seni sastra". Ini bukan karena ingin meng-kotomi atau mengotak-ngotakkan seni seperti yang dikatakan banyak seniman anti-kotomi. Tapi, agar kita tahu jelas konvensi dan aturan dari karya tersebut. Karena aturan pada karya sastra, sangat jauh berbeda dengan aturan di teater, seni pertunjukan, seni musik dan sebagainya. 


Maka "bunyi" yang dimaksud di atas bukanlah "bunyi" yang hadir dalam penyajian lisan. Dengan kata lain, baik irama maupun matra yang akan dianalisis dalam puisi, prosa atau karya sastra lainnya, tidak berdasar pada "penyajian lisan" ataupun "pertunjukan", tapi murni dari "teks".


Hal kedua yang juga harus dicatat adalah stratum bunyi bukan "hal wajib" atau bahkan "hal penting" dalam karya sastra. Satu karya sastra tidak bisa dinilai kualitasnya berdasarkan stratum bunyi. Anda juga tidak bisa menganalisis "bunyi" tanpa mengindahkan makna. Karena karya sastra memang bukan semata perkara bunyi-bunyian. Maka stratum bunyi memang bukan hal yang utama dalam keseluruhan karya sastra.


Bunyi dalam Karya Sastra


Efek musikal atau efoni dalam karya sastra berdasar pada "bunyi yang melekat". Sedangkan irama dan matra berdasar pada "bunyi yang terkait". Nah muncul lagi pertanyaan, apa itu bunyi yang melekat dan apa pula bunyi yang terkait? 


Bunyi yang melekat adalah bunyi khas dari huruf, frase, hingga kata. Bunyi yang dihasilkan huruf "B" misalnya tentu berbeda dengan huruf "C". Atau kata yang berakhir dengan huruf "T" (nekat, misalnya) akan memiliki bunyi yang sangat berbeda dengan kata yang berakhir dengan huruf "D" (tekad, misalnya). Yah, meski mirip (nekat - tekad) namun ada bunyi yang khas dari setiap huruf tersebut. Itu yang disebut bunyi yang melekat. Ini yang menjadi dasar untuk menganalisis efek musikal (efoni) dalam karya sastra.


Bunyi yang terkait adalah bunyi yang dihasilkan dari tekanan, jeda, titinada, timing, dan sebagainya. Berbeda dengan bunyi yang melekat, bunyi yang terkait bisa saja menjadikan pembacaan dua kata yang sama menjadi berbeda. Misalnya dalam kalimat berikut ini:


"Kenapa kita harus mati? Bukankah mati itu adalah akhir dari segala impian kita? Aku tidak mau mati!"


Di atas itu ada 3 kata "mati". Satu menempel dengan tanda tanya (?), satu menjadi subjek dan satu lagi menjadi objek dan berdekatan dengan tanda seru (!). Maka Anda akan membaca ketiga kata "mati" tersebut dengan nada yang berbeda, bukan? Nah itu yang dimaksud dengan bunyi yang terkait. Perbedaan lainnya dengan bunyi yang melekat, bunyi yang terkait bisa diukur secara kuantitatif, baik tinggi rendahnya, keras lemahnya dan sebagainya. Bunyi yang terkait inilah yang menjadi dasar untuk menganalisis irama dan matra dalam karya sastra.


Irama dalam karya sastra, terkait dengan intonasi. Namun, intonasi tidak terkait dengan melodi (pada musik) meski sama-sama berkaitan dengan "nada". Bila di seni musik ada keteraturan yang tegas antara ketukan, jarak antar not, dan naik turunnya. Tapi, intonasi tidak seteratur itu. Tidak ada aturan jarak antar nada, naik turun, dan ketukan yang tegas.


Meski demikian, seorang sastrawan yang mengatur dengan baik "bunyi" di dalam karya sastranya juga disebut sebagai sastrawan yang menggunakan "teknik orkestrasi". Meski meminjam istilah musik, tapi harus dibedakan dulu antara teknik orkestrasi dalam sastra (seperti yang sering disebut Rene Wallek, atau sejumlah peneliti sastra dari Rusia) dengan orkestrasi dalam musik. Keduanya adalah hal yang berbeda, bahkan perbedaannya begitu tegas dan kentara, meski menggunakan istilah yang sama. Dengan kata lain, khusus untuk membicarakan "orkestrasi" dalam karya sastra, kita harus menjauhkan dulu musikalitas dan hal-hal yang terkait dengan musik lainnya.


Dulu, beberapa abad yang lalu, aliran romantik memang sering "menyambung-nyambungkan" seni musik dengan puisi. Namun, nyatanya memang "hubungan" dan "sambungan" dari keduanya juga hanya metafora saja. Alias, hanya untuk "perumpamaan" saja.


Terkait Irama, Matra dan Efoni


Efoni bisa diartikan sebagai efek musikal. Meski demikian, sejumlah karya sastra, justru menghasilkan "efek anti-musikal" yang sering disebut kakofoni. Ciri khas kakofoni adalah puisi yang menghadirkan efek bunyi yang ekspresif dan kasar, serta "tidak orkestratif". Salah satu yang sering dianalisis dalam karya sastra (misalnya puisi) adalah rima. Rima ini yang paling dominan memiliki fungsi efoni di dalam karya sastra.


Sedangkan irama dan matra (dalam urusan orkestrasi) ini yang sering membuat "kegaduhan" dan bias seperti di era romantik. Kadang-kadang, para penganut aliran simbolik juga terlalu sering menyambungkan irama dan matra ini dengan seni musik. Hasilnya, tak tampak batas yang jelas antara seni musik dengan sastra untuk urusan irama dan matra. Bila Anda mencoba mencari definisi keduanya, maka Anda akan mendapatkan ratusan definisi, mulai dari yang kongkrit sampai yang metafisik dengan penjelasan yang "berbunga-bunga" seperti penjelasan filsafat. Tidak hanya pada sastra, bahasa hingga musik, bahkan irama ini juga hadir dalam berbagai jenis seni ataupun bukan seni lainnya. Irama alam, irama membaca ayat suci, irama pidato dan sebagainya, yang akhirnya makin mengaburkan definisi kata "irama".


Namun di dalam sastra, kita bisa mengambil beberapa definisi yang mudah untuk irama. Definisi irama dalam karya sastra diartikan sebagai bunyi yang berulang secara periodik (sine qua non). Ini definisi yang pertama dan paling sering digunakan. Meski demikian, karena menyebut irama sebagai bunyi yang berulang secara periodik maka definisi ini bisa meluas hingga meliputi konfigurasi gerak yang berulang. Namun demikian, definisi ini seakan menolak irama prosa. Karena itu, konsep semacam ini disebut pula bertentangan dengan definisi "irama" sebenarnya, bahkan juga disebut sebagai "metafora belaka".


Kemudian, ada penelitian dari Sievers yang berkesimpulan bahwa ujaran seseorang yang paling tidak teratur sekalipun (ceracau) ternyata  tetap memiliki irama yang khas. Karena itu, bisa dipastikan bahwa prosa juga memiliki irama. Hal itu ditegaskan dengan penelitian dari Joshua Steele yang menganalisis dengan tajam irama prosa. 


Meski demikian, Anda telah memasuki wilayah sastra bila sudah menerangkan sifat irama prosa, kekhasannya serta penggunaan prosa berirama. Hal itu yang membedakan prosa sastra dengan artikel atau jenis tulisan non-sastra lainnya. Penggunaan irama dan melodi dalam karya sastra (dalam hal ini prosa) akan begitu menarik perhatian, bahkan untuk orang yang awam sastra sekalipun. Tapi, bukan berarti penekanan irama prosa ini tidak menimbulkan masalah!


Yah, bisa dikatakan irama prosa yang artistik justru akan menimbulkan masalah yang lain. Ada teknik penulisan yang diperkenalkan WM Patterson yakni "sistem sinkopasi". Sistem sinkopasi dengan jelas diterangkannya dalam buku berjudul Rhytem of Prose. Sistem sinkopasi adalah teknik memindahkan kata-kata normal untuk mencapai irama yang artistik. Namun pada akhirnya, penggunaan yang kurang tepat justru membuat makna akan kalah dengan irama.


Seperti itu pula yang diterangkan oleh George Saintsbury dalam History of English Prose Rhytm. Ia mengatakan bahwa irama prosa berdasar pada "keragaman" bukan "kesamaan" bebunyian. Karena kecenderungan irama prosa justru akan membuat pola matra yang kaku. Jadi pada akhirnya, kita menemukan kesimpulan untuk irama dalam puisi dan prosa adalah hal yang berbeda, meski sama-sama "sastra". Irama artistik dalam prosa hanya akan ditemukan apabila kita terlebih dulu membedakan irama pada puisi dengan irama pada prosa. 


Anda akan menemukan istilah isokronisme (keteraturan selang waktu antara tekanan nada) dalam irama puisi, tapi tidak dalam irama prosa. Meski demikian, beberapa peneliti sastra dari Rusia menegaskan bahwa ada kesan "keteraturan" dalam irama prosa. Keteraturan tersebut diperkuat oleh beberapa hal, antara lain teknik fonetik dan sintaksis, pola bunyi tertentu, anak kalimat yang paralel dan keseimbangan anti thesis.

Ads