El Hoyo: Stratifikasi Sosial dalam Kurungan dan Kritik Atas Primitifnya Manusia -->
close
Pojok Seni
30 June 2020, 6/30/2020 11:06:00 AM WIB
Terbaru 2020-06-30T04:06:41Z
ArtikelFilm

El Hoyo: Stratifikasi Sosial dalam Kurungan dan Kritik Atas Primitifnya Manusia

Advertisement


PojokSeni.com - Setelah menonton film El Hoyo (The Platform) yang muncul di Netflix setelah berhasil di berbagai festival, maka sebenarnya ada sebuah premis sederhana tapi pelik; kita adalah jiwa-jiwa yang terkurung namun selalu takut untuk mengorbankan diri demi sebuah perubahan.

Kisah bermula dari seorang bernama Goreng yang terkurung bersama lelaki tua bernama Trimagasi. Yah, nama-nama yang cukup menggelikan bagi penutur bahasa Indonesia. Keduanya terkurung di ruang bernomor 48, dan bangunan itu memiliki ratusan tingkat ke bawah. Pembagian makanan dimulai dari tingkat 1 dengan makanan yang sangat melimpah ruah dan jatah makan sekitar 10 menitan. Lalu, sisa makanan turun ke lantai 2 begitu seterusnya. 

Hari pertama, di lantai 48, mereka masih begitu bahagia karena sisa makanan cukup banyak. Meski Goreng hingga hari ketiga masih menolak untuk makan sisa makanan 94 orang dari 47 lantai di atasnya. Pernah sekali Goreng mencoba mengambil sebuah apel dan menyimpannya, ternyata ruangan itu memanas karena tidak bisa menyimpan makanan ketika mimbar (meja berbahan batu) tidak ada di ruangannya lagi.

Setiap ruangan memiliki lubang berbentuk persegi panjang di tengahnya. Lewat lubang itulah, sebentuk meja batu turun membawa makanan. Tapi, makanan tersebut nyatanya hanya bertahan sampai lantai tengah saja. Lantai di atas 100 sudah tidak mungkin kebagian bahkan sebutir nasipun. Dalam kondisi itu, cara purba yang paling masuk akan digunakan, yakni makanlah temanmu sendiri.

Goreng hampir saja dimakan oleh Trimagasi, setelah hari keempat tidak kunjung mendapatkan makanan. Yah, selama satu bulan mereka akan berpindah ruangan. Dan sialnya, persahabatan mereka ketika sama-sama berada di ruang 48, berubah menjadi menakutkan ketika di ruang 128 bulan depannya. Goreng terbangun dalam kondisi tubuhnya terikat di kasur. Pelakunya tak lain, Trimagasi! Ia takut nantinya akan dimakan oleh Goreng yang jauh lebih mudah dan bertenaga, jadinya ia memilih melumpuhkan Goreng terlebih dulu.

Awalnya, kita akan dipertemukan dengan pesimisme khas Beckett atau Schopenhauer di awal-awal. Terutama ketika Goreng masih satu ruang dengan Trimagasi. Namun kemudian, semakin lama pemikiran filosofis yang disampaikannya semakin mengarah ke eksistensialisme ala Sartre.

Kemudian, Goreng beruntung karena terbangun di lantai 6, setelah sempat hampir mati di lantai 200-an. Setelah Trimagasi meninggal, ia berada satu kamar dengan resepsionis platform tersebut yang memilih mencoba membenahi platform tersebut. Mereka berada di lantai 60-an dan tentunya masih mendapatkan sisa makanan. Namun, bulan depannya ketika terbangun berada di lantai 200-an, resepsionis tersebut justru bunuh diri.


Di lantai 6, Goreng satu ruangan dengan Brahat yang terus mencoba untuk memanjat dan kabur dari platform tersebut. Tentunya, ia bahkan dilemparkan kotoran manusia oleh orang di lantai 5. Tak ada yang membantu atau bahkan sekedar membiarkan Brahat kabur dari sana. Goreng dan Brahat akhirnya mencoba naik di mimbar dan mencoba melihat bagian paling dasar di platform tersebut.

Pengorbanan, begitu yang digambarkan ketika Goreng dan Brahat mencoba untuk membagikan makanan secara adil bagi seluruh penghuni platform. Itupun dimulai dari lantai 50-an, sedangkan di atas itu harus puasa satu hari. Pengorbanan tersebut di satu sisi terlihat sebagai kekerasan, bahkan proses yang bisa saja menghancurkan bagi orang-orang yang terbiasa makan enak di lantai 1 sampai 51. Namun, pengorbanan itulah yang mesti dilakukan untuk mengubah keadaan platform yang membuat manusia kembali ke pola pikir purba, yakni melakukan apa saja untuk makan dan bertahan hidup. Pengorbanan, bagi mereka berdua adalah tiang dari esensi manusia.

Meski film ini disebut sebagai "film horor" atau "thriler" namun kedalaman dan beratnya bobot filosofis yang diangkat menjadikan film ini jauh lebih konsptual ketimbang "ketegangan" dan "menakutkan". Bagaimana cara melawan keegoisan dalam diri, serta melakukan sesuatu bahkan mengorbankan jiwa dan raga untuk melampaui hal itu, menjadi pesan paling dalam dari film ini. Lalu, dengan menghilangkan keegoisan manusia, apa yang akan tersisa? Yah, pengabdian bagi kemanusiaan, demi sebuah harapan yang disebut "masa depan".

Ads