Catatan Rudolf Puspa: Menjaga Lidah -->
close
Pojok Seni
26 June 2020, 6/26/2020 01:26:00 PM WIB
Terbaru 2020-06-26T06:26:29Z
Artikel

Catatan Rudolf Puspa: Menjaga Lidah

Advertisement
Rudolf Puspa


PojokSeni.com - Manusia dan binatang diciptakan yang salah satu karunia yang diberikan adalah alat pencecap yang diberi nama lidah. Namun kita bicarakan di ruang ini tentang lidah manusia. Sangat liat dan memiliki gerak yang elastis dan begitu fungsional karena melalui lidah manusia bisa membedakan setiap rasa yang ditemui khususnya mengenai makanan dan minuman. Secara instingtif sejak bayi lahir sudah memiliki kepekaan lidahnya dimulai ketika menyusui. Selanjutnya melalui jari tangannya akan memasukkan ke mulut dan dicecapnya. 

Makin besar ketika sudah bisa memegang barang maka apapun yang dipegang akan dimasukkan ke mulut dan bertemu dengan lidahnya. Jadi bisa disimpulkan seolah-olah hidup dimulai dari lidah. Dari yang dicecapnya maka akan timbul expresi pada wajah yang macam-macam untuk menggambarkan rasa masam, pahit, pedas, manis walau belum bisa mengatakan dengan kata-kata.

Begitu pentingnya lidah sehingga ketika mulai bisa bicara maka lidah akan sangat menentukan bunyi tiap hurufnya. Berarti ketika bicara maka lidah memainkan peran yang penting. Oleh karenanya sering terjadi mulut disumpal atau dibekap dengan plester agar tak bisa bicara meminta tolong misalnya. Lebih parah dan keji jika si jahat memotong lidah musuhnya yang tertangkap sehingga jika lepas ia tak bisa berkata-kata. Cobalah pegang lidah agar tak bergerak kemudian ucapkan kata-kata maka apa yang terjadi? 

Sebagai pemain drama sering diberi latihan senam lidah agar terjaga elasitasnya dan membantu pengucapan menjadi jelas artikulasinya. Untuk itu merawat kesehatan lidah betapa pentingnya.

Itu semua merupakan pengamatan lidah dalam arti harafiahnya. Namun masih ada lagi yang kadang terasa jauh lebih memiliki arti yang berhubungan dengan sikap laku hidup kita sehari-hari yang mungkin terasa abstrak. Masih ingat petuah lama seperti ucapan “jaga lidahmu”.  

Jelas ini bukan hubungannya dengan keperluan untuk makan tapi tentang keharusan menjaga kata-kata ketika bicara. Aktor memiliki pelajaran penting dalam hal berbicara atau berdialog di panggung. Salah ucapkan kata atau kelupaan satu kata, atau lupa kata akan merubah arti dari sebuah kalimat yang diucapkan. Apalagi jika improvisasinya tidak menemukan kata pengganti yang tepat. Kalau arti sebuah kalimat berubah tentu saja akan menyulitkan lawan bicaranya yang bisa menjadi bingung jawabannya. 

Adegan pengucapan rasa cinta dilakukan melalui ciuman. Jika secara harafiah mencium melalui hidung tapi dalam cinta melalui mulut dengan lidah memainkan peran utama. Bayangkan kalau ciuman dilakukan lewat hidung apa yang terjadi? Hanya bau yang didapat tapi bukan rasa. Oleh karenanya menjaga bicara atau dalam bahasa halusnya dikatakan menjaga lidah menjadi sangat penting untuk mendapat porsi perhatian yang utama. 

Slip of the tongue kata bijak dari benua tetangga cukup memperkuat keyakinan bahwa lidah memang bisa menjadi pemanis hubungan atau permusuhan. Salah ucap kata walau bermaksud baik jika tanpa perhitungan matang bisa terjadi ribut dengan pacar misalnya. Oleh karenanya ada korelasi yang kuat antara lidah dengan pikiran dan perasaan. Hidup sehari-hari tak ubahnya dengan kehidupan aktor di panggung. 

Harus selalu mampu berucap di depan ribuan penonton dari berbagai latar belakang etnis budaya dan adat istiadat. Dalam sehari-hari justru akan semakin luas dan kaya akan keberagamannya. Di panggung masih ada kemungkinan pemaafan atas keseleo lidah karena ada landasan kesadaran bahwa panggung adalah tontonan. Tapi di dunia nyata maka keseleo lidah bisa dituduh sebagai kesengajaan sehingga jawabannya adalah unjuk kekerasan. Hanya satu kata kepleset bisa tawuran antar kampung atau antar suku. Memang bisa diselesaikan dengan hadirnya moderator yang punya kekuasaan walau korban sudah jatuh seperti luka kena panah atau parang bahkan rumah terbakar. 

Lalu bagaimana pertanggung jawaban untuk memperbaiki semuanya?  Lewat pemberitaan jarang mendengar akhir ceritanya. Paling hanya sampai berita sudah kondusif.

Terbayang jika melalui pendidikan sejak dini kesenian yang menggunakan tutur kata sudah diajarkan. Melalui pelatihan seni bertutur bukan sekedar menjadikan anak didik sebagai aktor namun yang lebih penting adalah memiliki lidah yang jauh dari kekerasan. Justru akan mampu hadir dengan ucapan-ucapannya merupakan peneduh, penyejuk suasana yang sedang berlangsung di sekelilingnya. Bahkan dimungkinkan bisa menangkap dengan cepat lidah yang keseleo sehingga dapat diluruskan kembali sehingga yang awalnya muncul kesalah pahaman akan berakhir dengan berangkulan sambil ngopi bareng. Betapa indahnya melihat hidup anak, remaja, orang muda yang penampilan kesehariannya menyenangkan lalu lalangnya kehidupan. Panggung mereka adalah dunia. Dan dunia bukan panggung sandiwara. 

Jaga lidahmu kawan, maka bangsa yang sejak awal sudah dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah dan beradab bisa kembali menjadi kenyataan. 


Jakarta 26 Juni 2020
Rudolf Puspa
Email:pusparudolf@gmail.com 

Ads