Masterclass Ruang Tumbuh Dalam Rangka World Dance Day, Hadirkan Ery Mefri, Rianto dan Hartati -->
close
Pojok Seni
01 May 2020, 5/01/2020 12:07:00 AM WIB
Terbaru 2020-04-30T17:07:27Z
eventMedia Patner

Masterclass Ruang Tumbuh Dalam Rangka World Dance Day, Hadirkan Ery Mefri, Rianto dan Hartati

Advertisement

PojokSeni.com - Masih dalam rangkaian kegiatan memperingati Hari Tari Dunia (World Dance Day), Komunitas Ruang Tumbuh Padangpanjang menggelar kegiatan Master Class melalui Live (siaran langsung) Instagram. Berbeda dari kegiatan Sharing Session minggu lalu yaitu bincang-bincang dengan koreografer muda dan kritikus tari, Master Class merupakan forum bincang-bincang dengan tokoh tari Nasional.

Adapun tema yang diangkat sama dengan kegiatan Sharing Session sebelumnya, yaitu “Tubuh Tari Hari Ini”. Untuk mengisi waktu sore menjelang berbuka puasa, kegiatan Master Class dilangsungkan selama tiga hari berturut-turut pada tanggal 26-28 April 2020 sore yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.

Master Class Hari Pertama (Minggu, 26/4/2020)
Narasumber: Ery Mefri


Pada hari pertama (Minggu, 26/4/2020), yang menjadi pembicara Master Class adalah Ery Mefri, seorang koreografer dan pegiat tari yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Kegiatan dipandu oleh Roza Muliati, penulis tari sekaligus Direktur Komunitas Ruang Tumbuh. Acara berlangsung pukul 16.00-17.00 WIB. Ery Mefri adalah seorang tokoh tari Indonesia kelahiran Saniang Baka 23 Juni 1958, sebuah nagari yang terletak di pinggir Danau Singkarak, Solok Sumatera Barat.  Ery Mefri mengenal tari sejak kecil karena ayahnya adalah seorang seniman tradisi. Pendidikan formal di bidang tari ia dapatkan ketika menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Kerawitan (SMKI) Indonesia di Padangpanjang.

Tahun 1983, Ery Mefri menciptakan koreografi pertamanya berjudul Nan Jombang dan sekaligus menjadi nama group yang ia dirikan dan pimpin sampai sekarang. Bersama Nan Jombang, Ery Mefri telah mementaskan karya-karya terbaiknya seperti  Sarikaik (2007), Rantau Berbisik (2009), Sang Hawa (2010) dan Tarian Malam (2012) ke pelbagai festival tari dunia dan berkolaborasi dengan sejumlah seniman tari dari pelbagai negara. Ery Mefri juga menggelar sejumlah festival di kota Padang seperti Padang Bagalanggang, Kaba Festival, dan Festival Tanggal 3,  yang menjadi ruang pengembangan seni kontemporer di Sumatera Barat dan juga kesenian tradisional Minangkabau. 

Ery Mefri atau yang biasa disapa Da Ery belajar tari secara formal ketika bersekolah di SMKI. Namun jauh sebelumnya, Ery Mefri telah belajar tari dan kesenian tradisi Minangkabau secara langsung dari ayahnya yang seorang seniman tradisi. Dorongan Ery untuk terjun ke dalam dunia tari berawal dari lingkungan sekitar yang selalu menganggap ia tak bisa menari seperti ayahnya. Ia ingin membuktikan bahwa ia bisa menari lebih baik dari ayahnya. Menurut Ery, kita tidak bisa menyepelekan hal-hal kecil dari lingkungan sekitar, “Menyimak adalah membaca, menyimak sesuatu akan menjadi hal yang penting” ujarnya. Lalu ia juga menambahkan bahwa, “setiap karya tidak ada yang buruk, siapapun pengkarya tersebut”.

Membahas karyanya yang berakar pada tradisi, Ery melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi. Ia menjelaskan bahwa mempelajari tradisi adalah untuk menggali apa yang ada dalam tubuh, bukan memindahkan sesuatu ke dalam diri. Ia juga menambahkan bahwa “Dalam tubuh manusia sudah terdapat semuanya yang diinginkan, membaca ulang tradisi dan mampu mempelajari tradisi untuk menggali dalam tubuh itu sendiri”. Dengan kata lain, bahwa setiap tubuh manusia sudah memiliki tubuh tradisinya masing-masing. Misalnya, seorang penari A tidak akan sama dengan penari B walaupun pada gerakan yang sama.

Untuk menggali tubuh tradisi tersebut, seseorang bisa melakukan pembelajaran terhadap beberapa orang koreografer berbeda-beda. Setelah mempelajari itu, barulah dapat mengeluarkan apa yang ada pada diri sendiri menjadi sesuatu yang berbeda dengan yang lainnya. Ada hal menarik lainnya dari seorang Ery Mefri, pada saat ia menyaksikan sebuah karya tari, setelah itu ia akan memejamkan mata dengan maksud untuk membawa karya tersebut ke dalam memori ingatannya sampai terbawa mimpi agar tidak ada pembatasan atau sekat bahwa ia adalah penonton.

Tari juga tidak lepas dengan istilah koreografi. Koreografi yang menjadi ciri khas Ery  adalah komponen yang tidak lepas dari tradisi, tetapi pembacaan ulang tradisi tersebut menjadi hal yang baru. Alasan yang melandasi ia berakar pada tradisi adalah banyaknya pesan yang disampaikan pada setiap pertunjukan karya tradisi yang banyak membuat penontonnya berfikir mengenai pesan yang disampaikan. Dalam proses penciptaan sebuah karya tari membuat Ery tidak mau membuat sebuah target karya itu harus ditingkat apa dan bagaimana, karena menurutnya dengan membuat target sama saja halnya seperti menentukan hidup dan mati.

“Mengikuti proses dan menjalaninya tanpa henti adalah kunci melatih tubuh agar selalu menemukan hal baru dalam tubuh tradisi pada setiap individu” ujar Ery.

Menurut Ery, kehidupan sehari-hari bisa dibuat ke dalam proses berkesenian. Ia mengatakan bahwa, “Seniman harus mampu meluapkan totalitas untuk karyanya, karena sekarang pun pemerintahan negara susah memodali dan memberikan ruang-ruang terhadap pelaku seni agar menuju kesuksesan”.

Ery juga menyampaikan pesan dan nasihat kepada para audiens Master Clas, “Seniman total adalah seniman yang memupuk diri sendiri untuk berkarya”.

Dalam sebuah karya tari, selain totalitas gerak tubuh juga ada pemikiran dan wacana didalamnya.
Ery membagikan pengalamannya pada saat proses penciptaan karya Rantau Berbisik yang merupakan salah satu karya terbaiknya. Pada proses Rantau Berbisik, ia mengharuskan penari melakukan pencarian terhadap tubuh yang akan menghasilkan perbedaan pada setiap penari walaupun pada gerakan yang sama. Ibarat ada beberapa orang pada sebuah lorong yang hitam, lalu ada seseorang yang menemukan cara berbeda melewati lorong itu, itulah yang akan menjadikan orang itu berbeda dengan yang lainnya.

Menurutnya, “Membangun motivasi pada diri sendiri agar berbeda itu sangat penting, karena sekarang kita lihat bahwa banyak penari masih menirukan apa yang dilakukan orang atau diarahkan oleh koreografer”. Kemudian Ery menambahkan “Seseorang harus bisa mencari kenikmatan terhadap yang dilakukan agar bisa juga dinikmati oleh orang lain saat melihat dan kenikmatan itu bisa didapatkan dari proses”.

Intinya ia berpesan bahwa seorang seniman jangan pernah berhenti atau cepat puas pada satu proses, lakukan pencarian melalui proses. Pada saat pandemi yang terjadi seperti sekarang ini, Ery mengatakan “Jangan membuat rugi diri sendiri dengan keadaan yang seperti ini, karena seniman tidak mau merugi. Bangun kreativitas dan selalu berkreasi apapun keadaannya”.

Sebelum menutup perbincangan, Ery membagikan mengenai arti tari bagi dirinya. Tari bagi Ery adalah Ibadah, lepas dari keterkaitan religious yang maksudnya adalah tari membawakan anugerah tersendiri dan membawa perubahan dalam kehidupannya. Ia juga membagikan harapan mengenai dunia tari, “kita harus saling berbagi dan memberi, jangan berkhianat terhadap siapa yang telah memberi itu”, karena ia percaya bahwa karma tetap akan datang.

Master Class Hari Kedua (Senin, 27/4/2020)
Narasumber: Rianto


Pada Master Class hari kedua (Senin, 27/4/2020), yang menjadi pembicara adalah Rianto, seorang koreografer sekaligus penari Indonesia berdarah Banyumas yang sekarang menetap di Jepang. Acara ini dipandu oleh Sherli Novalinda, yang juga seorang koreografer sekaligus salah satu pendiri komunitas Ruang Tumbuh. Acara berlangsung pukul 16.00-17.00 WIB.

Rianto dikenal di kancah dunia dengan lenggernya. Lengger atau disebut juga ronggeng adalah kesenian tari tradisional asli Bayumas. Karya lengger Rianto sempat menuai kontroversi, pada saat karya lengger tersebut difilmkan dengan judul “Memory of My Body atau Kucumbu Tubuh Indahku”. Film ini sempat mendapat kecaman untuk diputarkan di beberapa daerah, tetapi dibalik itu semua sebenarnya Rianto ingin memperkenalkan tubuh Lengger itu sendiri.

Rianto merupakan aktor sekaligus naratornya. Perjalanan dan pengalaman mengenai ketubuhan Rianto yang menjadi inspirasi pada film tersebut. Pada tahun 2003, Rianto menetap di Jepang dengan mendirikan sanggar tari tradisional Jawa, Dewandaru Dance Company. Melalui sanggar tersebut, ia memperkenalkan seni pertunjukan Jawa di Jepang.

Mengulik singkat kisah hidup Rianto yang lahir dalam keluarga yang tidak memiliki basik seni apapun, kedua orang tuanya bekerja sebagai petani. Saat masih bayi, Rianto memiliki tanda di antara alisnya yang pada masyarakat awam dipercaya bahwa itu menandakan bahwa hidup anak tersebut akan mendapat kesusahan. Singkat cerita ketika berusia kurang lebih dua bulan, orang tuanya membawa Rianto pada sebuah pertunjukan lengger, salah satu penari mendekat dan memberikan usapan dengan bedak penari tersebut ke tanda yang dimiliki Rianto. Dari situlah ia percaya bahwa tubuhnya dipilih untuk membawakan tari lengger.

Saat masih anak-anak, tubuh Rianto selalu bergerak mengikuti irama, baik itu radio, dan irama-irama musik yang ia dengarkan, lalu ia langsung menari. Hal semacam itu membuat persepsi orang yang melihat dan mulai melakukan bullying bahwa ia adalah anak perempuan atau dianggap berjiwa feminim. Bullying yang terjadi tidak mematahkan semangatnya untuk menari, malah menjadi motivasinya dalam menari. Saat remaja Rianto sempat ingin masuk sekolah mesin (STM) karena pengaruh pergaulan sekitarnya, tetapi hatinya memilih untuk sekolah di SMKI Swasta yang ada di Solo dan melanjutkan studi di STSI Solo, lalu tamat pada tahun 2004.

Muncul sebuah pertanyaan kenapa Rianto memilih lengger yang berasal dari kultur agraris?  Rianto melihat sisi lain dari lengger tersebut, bahwa dulu lengger memang ditarikan oleh laki-laki saja. Lengger adalah upacara penyembahan kesuburan Dewi Sri (Dewi padi), di sini Rianto melihat bagaimana seorang laki-laki menari untuk penyembahan kesuburan dewi perempuan. Ia melihat bagaimana peleburan sisi maskulin dan feminim secara bersamaan. Rianto juga menambahkan bahwa tubuh adalah perpustakaan memori tentang histori kehidupan yang terjadi pada manusia itu sendiri.

Perwujudan ini dituangkan Rianto pada karya Soft Machine yang menceritakan tentang ketubuhan Rianto, bahwa tubuh bisa berbicara lebih lembut dari sebuah mesin. Lalu, bagaimana ia memperlakukan tubuh tradisi atau spirit tradisi itu menuju karya yang kontemporer. Rianto menjabarkan bahwa tradisional maupun kontemporer ataupun istilah lainnya hanyalah sebuah penyebutan istilah, karena pada dasarnya tradisi atau kontemporer itu adalah tubuh itu sendiri walau sudah dikembangkan dalam bentuk baru sekalipun.

Melalui peleburan tubuh maskulin dan feminim ini, Rianto membagikan kisahnya kepada Choy Ka Fai yang merupakan seorang seniman asal Singapura dalam awal pertemuan pada residensi beberapa seniman di India, Choy penasaran melihat Rianto yang Maskulin tetapi saat menari juga terlihat feminim. Choy Ka Fai lalu bertanya-tanya apakah tubuh Asia semua seperti Rianto. Karena penasaran inilah Choy mengajak Rianto bergabung pada proyek yang kisaran tahun 2014 lalu di pentaskan. Rianto juga menjabarkan bahwa tari menurutnya adalah aktivitas kehidupan dengan tubuh sebagai mediumnya yang kadang statis, kadang dinamis dan bisa merasakan keindahan dari kehidupan. Ia juga setuju dengan Ery Mefri yang menyebut tari sebagai ibadah, karena sudah ada dalam aktivitas kehidupan manusia melalui tubuh.

Pada kesempatan Master Class ini, Rianto juga menari dengan spontan. Rianto juga memberikan sebuah skema saat ia menemukan suatu ide karya, yaitu dengan merekam yang keluar dari gerakan tubuhnya, lalu mencatat semua koreo tersebut dengan dinamika yang telah dibuatnya, setelah itu ia membuat latihan secara terus menerus baru dapat ditampilkan.

Salah seorang audiens menanyakan bagimana pendapatnya mengenai pelarangan film “Kucumbuh Tubuh Indahku.” Kekecewaan Rianto terhadap pelarangan ini sebenarnya membuat Rianto bertanya, kenapa harus di sangkut pautkan dengan religi. “Karena dasarnya pembuatan film ini adalah untuk mengenalkan kesejarahan tubuh Indonesia melalui kesenian lengger” jawabnya.

Master Class Hari Ketiga (Selasa, 28/4/2020)
Narasumber: Hartati

Pada hari ketiga (Selasa, 28/4/2020), yang menjadi pembicara adalah Hartati, seorang koreografer dan pegiat tari nasional. Acara ini dipandu kembali oleh Roza Muliati, penulis tari sekaligus Direktur Komunitas Ruang Tumbuh. Acara berlangsung pukul 16.00-17.00 WIB. Hartati adalah seorang koreografer dan pegiat tari berdarah Minangkabau yang mengembangkan kreativitasnya di Jakarta.

Hartati adalah seorang koreografer dan pegiat tari keturunan Minangkabau. Hartati lahir di Jakarta 27 Februari 1966, namun dibesarkan di kampungnya Muara Labuh, Solok Selatan. Hartati merupakan murid dari Gusmiati Suid dan turut membesarkan kelompok tari yang didirikan oleh Gusmiati Suid, Gumarang Sakti Dance Company. Di dalam karya-karyanya, Hartati tidak saja dipengaruhi oleh tradisi tari Minangkabau yang berakar dari silat, tetapi juga menyerap pengaruh lain seperti balet dan yoga.

Sejumlah karya Hartati seperti Suap (1997),  Sayap Yang Patah (200), (Membaca Meja (2002), In (Sight) sorong (2007), In/Out (2010), Serpihan Jejak Tubuh (2012) dan Wajah (2013) telah dipentaskan diberbagai festival tari. Hartati juga menginisiasi sejumlah ferstival tari di Jakarta.

Masuk kedalam dunia tari sebelumnya tidak pernah ada dalam perencanaan/menjadi cita-cita dari Hartati, awal mula ia terinspirasi yaitu ketika duduk dibangku SD saat menyaksikan kegiatan mahasiswa KKN dari ASKI (sekarang ISI) Padangpanjang di Solok Selatan seperti pertunjukan tari, musik dan randai. Dari sini Hartati ingin menjadi seperti mereka tampil dipanggung dan dilihat orang-orang. Sejak SD Hartati sudah aktif di kegiatan kesenian baik tari, musik, dan yang lainnya.  Ia pun pada akhirnya memantapkan diri untuk menjadi seorang penari ketika bersekolah di SMKI dan mulai serius mendalami tentang tari. Hal ini yang mendasari Hartati melanjutkan studinya di Institut Kesenian Jakarta.

Selama menempuh studi D3-S2 di IKJ, banyak pengalaman yang ia dapatkan, Ia bisa belajar dan berguru dari tokoh-tokoh tari seperti Deddy Luthan, Sardono W Koesumo, Tom Ibnur, Wiwiek Sipala, Sentot S, Retno Maruti, Farida Utoyo, Yulianti Parani, Boi G Sakti, dan Sukarji Sriman.  Hal ini yang membuat Hartati selalu menuliskan nama mereka didalam biografinya, dikarenakan Hartati bisa sampai ketitik sekarang karena ia terbentuk dari banyak guru-guru yang merupakan tokoh tari. Hartati mendapat banyak pelajaran tentang dunia tari, sebelumnya ia hanya belajar tentang Minang yang sebenarnya pun hanya belajar teknik gerak, dan belum belajar tentang kebudayaan dan tradisi masyarakatnya.

Selama kuliah di IKJ, Hartati melihat warna baru tari, yakni belajar berbagai tarian yang ada di Indonesia. Tentu hal ini membuat Hartati lebih membuka diri dan mau belajar lebih dalam lagi tentang tari seperti halnya belajar tari Sulawesi. Lagu dengan bahasa bahasa Sulawesi Selatan Pakarena  yang membuat Hartati terkesan dan ingin menjadi seperti mereka, ditambah lagi selama kuliah ia melihat para dosen yang terus berkarya dan berproses tentu menambah semangat Hartati dalam berkarya. Dosen-dosen selalu mendukung dan mengapresiasi mahasiswanya dalam berkarya, Hartati merasa beruntung dan merasa dalam setiap pertumbuhan karyanya selalu ditemani oleh tokoh-tokoh hebat.

Bergabung dalam Gumarang Sakti dan menjadi murid Gusmiati Suid, tokoh ini sangat berpengaruh dalam karirnya. Hartati mengatakan “Gusmiati Suid tidak pernah memaksakan kita untuk bagaimana memahami Minang, kita tidak harus paham melainkan selalu membuka ruang bagi kita untuk mengeksplor sendiri. Cara itu mengajak kita untuk mau melakukan riset, mencari pengetahuan adalah dengan selalu membuka wacana kita”. Hal ini yang membuat Hartati bangga terhadap beliau seperti halnya ketika ia ditempatkan Gusmiati Said di desa Pariaman dengan ke dua temannya.
“Bagi Gusmiati Suid kita bukan hanya bisa menggerakan silat/ahli dalam gerak silat, melainkan ada hal-hal yang harus kita kuasai dari silat yakni sikap dan karakter seperti sikap waspada, sikap menguasai ruang dan sikap bagaimana berjalan dan berlari itu yang harusnya dituntut untuk dipelajari” ujarnya.

Bagi Hartati, Gusmiati Suid selalu punya cara lain dalam memberi pelajaran tentang kebudayaan.
Sebuah pertanyaan dilontarkan kepada Hartati. Bebicara tentang silat dan tari yang di Minangkabau adalah permainan laki-laki, bagaimana Uni sebagai perempuan menubuhkan silat yang bisa dibilang “maskuin,” dan bagaimana Hartati memaknai silat sebagai seorang perempuan Minangkabau. Hartati menjawab, didikan Gusmiati Suid yang membuatnya melihat silat bukan dari bentuk dan geraknya tapi esensinya, Ia belajar silek Kumango lebih dari satu semester di Batusangkar yang merupakan salah satu program dari IKJ yang pada saaat itu memiliki kurikulum yang mengharuskan mahasiswanya untuk cuti, agar mereka mencari tahu tujuan sebenarnya mau kemana ketertarikannya dan kearah mana.

Lalu Hartati memilih silek Kumango. Hartati menceritakan bahwa setiap malam ia menyaksikan, sebagai penari ia ingin bergerak dan menari namun gurunya mengatakan “duduk aja jangan berdiri, amati saja dulu”. Setiap hari Hartati melakukan hal seperti itu dan timbulah pertanyaan dalam benak hatinya, “kenapa saya harus begini? Ini apa?” ujar Hartati. Akhirnya ia tahu bahwa dalam belajar silat/silek, yang paling utama adalah mengamati.

Hartati juga merupakan koreografer Minang yang suka bereksperimen dengan tubuh tradisi selain Minangkabau, seperti dalam karya In/out dan Serpihan Jejak Tubuh ia memasukkan balet, yoga, dan juga tubuh urban. Alasan Hartati memasukkan gerak tersebut karena ia melihat bahwa kita tidak bisa lagi membuat batasan-batasan antara tradisi dengan kita, tapi tuntutanya adalah “apasih yang dapat dari tradisi yang bisa kamu visualkan”. Tapi disini Hartati mencoba bagaimana memanfaatkan tradisi itu ke dalam tubuh-tubuh yang berbeda.

“Setelah saya belajar berbagai tradisi, kemudian saya bertanya pada diri sendiri apa yang saya dapat dan saya manfaatkan dari tari tradisi bukan hanya bentuk ketika saya menggali tradisi lain, dan saya hanya berfokus menemukan bentuk saja maka itu sama saja dengan orang-orang diluar sana. Saya mengeskplorasi tubuh saya dan menyatukannya dengan teknik modern seperti balet, yoga dan gerak urban. Saya memanfaatkan hal-hal esensial dari budaya kita itu justru memperkaya eksplorasi kita kemudia teknik-teknik barat itu saya gunakan hanya sebagai tools saja lalu kita mengisinya dengan nilai budaya kita tadi” ujar Hartati.

Ads