Polemik Musikalisasi Puisi; Halalkah Sastra Dinyanyikan? -->
close
Adhyra Irianto
20 April 2020, 4/20/2020 03:17:00 AM WIB
Terbaru 2020-04-19T20:17:17Z
MusikSastra

Polemik Musikalisasi Puisi; Halalkah Sastra Dinyanyikan?

Advertisement
Musik puisi
pojokseni.com - Beberapa seniman bersikukuh dengan pendapat bahwa sastra adalah karya yang ditulis, dibukukan dan kemudian dibacakan. Maka dengan demikian, karya sastra (dalam hal ini puisi) tidak boleh "dinyanyikan", tentunya cukup ironis. Meski demikian, mesti ada landasan yang penting untuk menjadikan proses itu menjadi "kenapa boleh" dan "kenapa tidak"?

Alasan dari banyak orang untuk menyatakan kenapa tidak boleh adalah bahwa penampilan musikalisasi puisi, berarti "memperkosa puisi". Beberapa tahun terakhir, muncul beberapa pendapat bahwa musikalisasi puisi adalah cara alias jalan tengah dari seorang sastrawan untuk memperkenalkan puisi-puisinya lewat musik. Banyak yang berpendapat, alasan utamanya adalah musik lebih mudah diterima masyarakat, terutama musik pop, apabila dibandingkan dengan puisi.

Atau pendapat lainnya, puisi dan lagu adalah dua hal yang sama-sama memiliki roh sendiri. Tak bisa dibaurkan, karena ada "gap" semacam perbedaan jenis kelamin. Dalam rahim puisi ada diksi, setting, majas, sajak, rima, pesan dan sebagainya. Sedangkan di dalam lagu, unsur-unsurnya adalah irama, nada, harmonisasi, notasi, ritme, melodi dan sebagainya. Maka, ketika puisi berubah menjadi lagu, unsur-unsur dari keduanya mesti ada dan melebur.

Tahun 1990, album Hujan Bulan Juni dirilis, dengan duet Ari dan Reda yang memunculkan perspektif baru dalam "memperkenalkan puisi pada khalayak". Hujan Bulan Juni adalah sajak-sajak karya Sapardi Djoko Damono dan hasil dari proses musikalisasi tersebut diterima banyak kalangan.

Apa alasannya? Pesan, perasaan, imaji dan bayangan yang tertangkap ketika mendengarkan lagu yang dinyanyikan duet Ari-Reda itu adalah yang sama dengan apa yang berhasil ditangkap ketika mendengarkan puisi itu dibacakan. Untuk itu, silahkan simak video berikut ini:

Video Musikalisasi Puisi: Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco - Sapardi Djoko Damono




Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Franscisco

kabut yang likat dan kabut yang pupur
lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan
matahari menggeliat dan kembali gugur
tak lagi di langit! berpusing di pedih lautan

1971
Sapardi Djoko Damono

Maka bagaimana sebenarnya musikalisasi puisi itu? Coba kita telusuri secara etimologis, musik berarti bunyi-bunyian yang teralun dalam harmoni tertentu (Esti Endah, 2008). Hal ini langsung memberi tembok pada pengertian musik, bahwa tidak semua bunyi-bunyian termasuk musik, bila tidak ada harmoninya. Karena, tanpa harmoni, maka bunyi tadi akan hadir sebagai sesuatu yang justru menyakitkan telinga.

Bagaimana dengan "musikal"? Musikal diartikan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan musik, memiliki kesan musik dan memiliki rasa peka terhadap musik (KBBI). Kata musikal ditambah imbuhan -sasi, yang berarti proses. Maka "musikalisasi" menjadi kata kerja, yakni proses menjadikan sesuatu menjadi musik (KBBI).

Maka di sini ada proses alih bentuk, dari karya sastra menjadi karya musik. Dari puisi bertransformasi menjadi lagu. Kalau ada pertanyaan termasuk karya apa ini? Yah jelas, ini karya musik. Ini bukan karya sastra lagi. Maka aturannya sudah pasti mengikuti aturan dalam seni musik.

Semacam novel berubah bentuk menjadi film, maka film itu bukan karya sastra lagi, tapi sudah menjadi sinema.

Seperti novel yang menjadi film (ekranisasi) maka puisi yang menjadi lagu sudah tak terlihat lagi. Ia telah menjadi "ruh", sedangkan tubuh yang dipertontonkan jelas adalah musik. Pertanyaannya, apakah ini salah? Jelas tidak. Ini tidak salah, sama sekali.

Sekarang apa bedanya dengan seseorang yang menulis lirik lagu seperti Ahmad Dhani membuat lirik lagu "Separuh Nafas" tapi musiknya dibuat oleh Andra Ramadan. Bukankah itu juga proses musikalisasi lirik? Apakah boleh?

Dalam drama musikal, teks dari naskah drama juga dinyanyikan. Pertanyaannya, apakah itu juga proses musikalisasi naskah? Dan apakah tidak boleh?

Namun dari pemaparan tersebut, setidaknya ada dua syarat utama agar proses musikalisasi puisi menjadi tepat. Pertama ada seorang yang "expert" dalam menulis syair, dan bersama dengan seorang yang "expert" dalam menggubah lagu. Berarti ada seorang penyair yang bekerjasama dengan komposer. Atau, bisa juga diganti dengan seorang yang mahir dalam menganalisis puisi, mendapatkan pesan, imaji, suasana dan sebagainya dari dalam puisi, yang kemudian oleh musisi dieksekusi menjadi sebuah lagu.

Seperti pada contoh puisi berjudul Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Franscisco di atas. Hasil dari tangan seorang penyair, Sapardi Djoko Damono bertemu dengan musisi yang piawai, Ari-Reda. Kolaborasi yang apik akan menghasilkan karya yang epik.

Bila puisi menceritakan keindahan dan sejuknya suasana pagi, tentunya menggunakan chord minor akan kurang cocok. Kelamnya malam yang gelap dan sepi, serta dingin tentu akan kurang cocok pula menggunakan chord mayor. Hanya expert di bidang musik yang bisa mengeksekusi hal ini dengan baik.

Tapi, belum tentu pula musisi tersebut mampu menerjemahkan puisi. Ini bisa jadi adalah kerja seorang yang punya kemampuan menafsirkan puisi dengan baik. Pengetahuannya pada ranah sastra dan linguistik tentunya akan membantu mendapatkan apa yang ada dalam puisi ini.

Itu baru klop! Saya menyebutnya dengan dua tangan. Kalau satu tangan kurang cakap, maka hasilnya juga akan kurang baik. Kolaborasi antar dua disiplin ilmu seni, apakah ini terlarang? Tidak.



Lupakah Anda bahwa sejak seni masih digunakan untuk memuja dewa, drama+tari+musik+sastra merupakan satu kesatuan utuh dan saling mendukung. Maka wajar-wajar saja bila di kemudian hari, ada dua atau tiga seni yang juga kembali hadir sebagai satu kesatuan.

Masalahnya adalah, banyak karya musikalisasi puisi justru hadir dari satu tangan. Bila ada yang memasalahkan proses musikalisasi puisi ini, berarti mereka lupa sejarah bahwa di Prancis sejak abad ke-11 sudah ada proses ini, yang disebut Troubadur. Di abad ke-16 hingga 18, kesatuan musik-sastra juga terasa kental di Italia. Bagaimana pula dengan Inggris sekitar era 1770-an, ketika para musisi setempat "memusikalkan" puisi Ben Johnson?

Musik Puisi


Sekarang lebih banyak yang memilih untuk menyebut Musik Puisi. Ini secara harfiah bisa diartikan sebuah karya musik dengan roh puisi. Puisi yang ditransformasikan menjadi karya musik. Atau lebih tepatnya, teks puisi menjadi lirik lagu, yang kemudian dinyanyikan.

Apakah karya ini merupakan hal yang baru? Sebuah inovasi dan sebagainya? Sejarah mencatat proses ini sudah terjadi sejak abad ke-11. Maka apa yang baru?

Tapi terpenting adalah, karya musik puisi (yang berasal dari proses memusikkan puisi) adalah salah satu alternatif untuk memperkenalkan puisi pada khalayak. Dengan cara tersebut, puisi bisa diterima oleh banyak orang dan pesannya tersampai pada banyak orang. Apabila pesan itu berhasil mengubah, atau menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu, maka fungsi sastra berjalan dengan baik.

Bukankah itu alasan seseorang membuat puisi?

Ads