Catatan Rudolf Puspa: Ingat Kartini, Ingat Pendidikan -->
close
Pojok Seni
21 April 2020, 4/21/2020 01:24:00 PM WIB
Terbaru 2020-04-21T06:24:38Z
Artikel

Catatan Rudolf Puspa: Ingat Kartini, Ingat Pendidikan

Advertisement

Tiap tanggal 21 April kita selalu memperingati hari lahir Kartini.  Tidak buruk sebagai ungkapan penghormatan kepada jasa-jasa pahlawan wanita kita. Begitu juga tahun 2020 ini kita pun perlu memperingatinya kembali bertepatan dengan sedang gencar2nya melakukan pembatasan sosial berskala besar untuk memutus mata rantai wabah Covid-19 yang sudah merebak sejak Februari 2020 hingga April ini. Tentu kita pun akan menjadi berbeda dalam memperingati jasa jasa seorang Kartini.

Banyak buku kumpulan catatan surat-surat Kartini kepada sahabat karibnya yang wanita Belanda yakni Ny.Abendanon yang telah ditulis banyak penulis. Tentu sudah banyak juga yang membacanya karena memang menarik kisah perjuangan Kartini atas kesadarannya bahwa pendidikan bukan hanya bagi anak laki2 tapi juga perempuan.  Walaupun ia keturunan ningrat pada zamannya yang cukup dekat dengan penguasa Belanda saat itu namun ia punya perhatian yang besar terhadap kaum wanita terutama dari kalangan rakyat bawah.

Tentu bukan hal yang mulus jalan perjuangannya karena kedudukan orang tuanya justru menjadi penghalang yang besar. Bahkan pernikahannya sendiri juga bukan seperti yang dicita2kan namun harus mengikuti kehendak orang tuanya yang saat itu tak punya kekuatan untuk menolak budaya feodal yang masih sangat kuat bahkan didukung penguasa Belanda yang tentu punya agenda tersendiri dibaliknya terutama untuk menguasai para penguasa daerah yang dijajahnya.

Lepas dari hal politik saat itu ada hal yang sangat menyentuh hatiku sejak aku membaca buku biografi Kartini karya Sitisoemandari Soeroto; yakni tentang ucapannya yang begitu tepat. “Pendidikan adalah jalan keluar dari semua masalah dan kesengsaraan bangsa”. Selanjutnya ada ungkapan lain dalam mencatat keburukan karakter kolonialisme yakni “yang selalu membiarkan rakyat bodoh dan melarat.  Bangsa yang bodoh dan melarat lebih mudah dikuasai daripada yang terdidik dan berpengetauhan tinggi.”

Sangat menggelitik menjadi pertanyaan apakah pendidikan kita masih bermasalah hingga saat ini? Salah satu contoh yang masih hangat kita ingat adalah kejadian2 yang mengusik rasa kemanusiaan tentang penguburan dari korban covid-19 yang ditolak. Perawat yang pulang ke kosnya ditolak tetangga2nya. Dua contoh betapa buruknya moral sebagian bangsa dalam menghadapi Covid-19.

Tentu moral seperti ini berbeda dengan penolakan mendoakan mayat di masjid karena mendukung calon gubernur dalam sebuah pilkada. Itu sudah ada unsur politik yang memang dengan kesadaran menggunakan agama sebagai alat politik. Kalau dicari dalilnya mana ketemu di kitab sucinya.

Kita rasanya perlu keberanian untuk menerima kenyataan bahwa sebagian bangsa kita memang kurang berhasil dalam pendidikan moralnya selain sadar atau tidak masih belum lepas dari apa yang dikatakan Kartini bahwa moral terburuk penjajahan adalah pembiaran rakyat bodoh dan melarat. Sepertinya bodoh dan melarat masih menjadi dua sisi mata uang logam yang saling terkait.

Padahal kalau dibilang melarat rasanya seperti kurang pas. Kominfo mencatat ada kurang lebih 100 juta pengguna telepon seluler di Indonesia. Mulai yang masih lama hingga yang paling canggih. Tidak sedikit yang kuota internetnya selalu cukup sehingga bisa membaca atau melihat berbagai berita yang sangat deras tiap saat muncul.

Cuma celakanya belum mampu menghabisi berita hoax secara otomatis.  Akhirnya justru berita hoax ini yang terus menerus memberi pupuk instan bagi kebodohan pembacanya. Perang melawan hoax hampir sama sulitnya seperti melawan teroris dan narkoba. Ini sungguh memprihatinkan dan jika Kartini masih ada betapa sakitnya melihat bangsa yang diperjuangkan untuk menjadi bangsa yang terdidik ternyata masih saja belum menjadi lebih baik.

Jangan2 justru masih lebih baik pada zaman beliau dalam tataran moral, etika atau budi pekertinya. Selain hape cukup besar jumlah rakyat di kampung, desa apalagi kota yang punya motor. Karena kurangnya pendidikan maka tidak heran jika banyak aturan dilanggar seperti pakai helm, melawan arus dan yang sedang ada aturan dilarang boncengan dan harus pakai masker toh banyak pelanggarnya.

Barangkali masih banyak yang mempertanyakan tentang kenapa presiden Sukarno mengangkatnya sebagai pahlawan bangsa? Toh perjuangannya hampir belum terlaksana pada zamannya, belum mencuat menjadi sebuah perjuangan nasional. Bahkan dia hanya bisa menulis surat saja kepada sahabatnya di Belanda dan hal itu dimungkinkan karena keluarganya dekat dengan penguasa Belanda sehingga mendapat kemudahan berkirim surat ke Belanda. Kalau kita hanya melihat hal hal yang sifatnya bagai sebuah “mimpi” seorang wanita di tahun-tahun sebelum kemerdekaan 1945 pastilah masih bisa diterima.

Namun jika mau membaca surat2nya pastilah juga kita bisa melihat bahwa di zaman bangsa masih dijajah Belanda  ternyata ada seorang wanita yang punya kesadaran yang kuat untuk “merdeka” dari penjajah. Ia menyadari bahwa penderitaan sebagai terjajah bukan hanya dirasakan oleh rakyat kecil namun juga dia sebagai anak bangsawan. Dan selanjutnya ia sadar bahwa lewat pendidikanlah bangsa ini akan bangkit. Dan dia sudah memulai mengajar anak2 di sekitarnya diluar pagar tembok rumah kebangsawanannya. Ia telah mampu melihat jauh kedepan bahwa perjuangan untuk bangkit harus dimulai dan ia sudah memulainya.

Jika hari ini 21 April 2020 kita kembali memperingati hari lahir Kartini tentu sebaiknya mulai kita mempelajari nilai-nilai apa yang telah dia lahirkan di Jepara hingga terdengar ke seluruh dunia lewat surat-suratnya yang justru ada pada teman karibnya Ny.Abendanon di Belanda. Sejalan dengan gagasan presiden Joko Widodo yang meminta mendikbud Nadiem Karim rombak besar2an sistem pendidikan di Indonesia dan mulai tahun ajaran 2020/2021 sudah harus bisa dilaksanakan.

Barangkali pengalamannya mendirikan gojek dapat diandalkan dalam menyiapkan sistem pendidikan yang sama sekali baru. Awalnya banyak yang sinis namun segera melunak dan sebaiknya memang hindari sikap apriori sebelum melihat hasilnya. Jika Kartini memulai pada saat negeri masih dibawah penjajahan yang nyata nyata otoriter sehingga kesulitannya sangat besar; tentu saja jika dibandingkan zaman milenial yang serba canggih seharusnya bisa menghasilkan perubahan besar bagi pendidikan di tanah air.

Maka akan terjawab apa yang dikatakan Kartini jauh sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia didapat yakni ““Pendidikan adalah jalan keluar dari semua masalah dan kesengsaraan bangsa”


Merdeka belajar.

Jakarta 21 April 2020.


Rudolf Puspa
pusparudolf@gmail.com

Ads