Apa Itu "High Art" dan "Low Art"? Ini Penjelasannya -->
close
Pojok Seni
24 February 2020, 2/24/2020 02:05:00 PM WIB
Terbaru 2021-06-05T06:26:47Z
ArtikelEstetikaSeni

Apa Itu "High Art" dan "Low Art"? Ini Penjelasannya

Advertisement


pojokseni.com - Dalam dunia seni, khususnya di luar negeri, ada istilah yang sering digunakan yakni Seni Tinggi (high art) dan sebagai perbandingannya adalah seni rendah (low art).

Kita mulai dari definisi. Seni tinggi atau high art digunakan untuk menggambarkan karya seni yang dianggap mencapai puncak estetika, produksinya "menantang" dan kemudian tidak bisa diakses oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, (baik secara intelektual maupun penghasilan).

Seni rendah atau low art, diartikan sebagai seni yang menyenangkan (secara estetika), tidak menantang dalam hal produksi karena bisa diproduksi banyak dan cepat, tanpa perlu latihan yang keras, pengetahuan yang mumpuni, lalu seniman penciptanya akan terkenal (secara budaya), karya terlalu mengedepankan "rasa", abai pada teknik, dan bisa diakses oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, baik secara intelektual maupun penghasilan.

Sampai di sini, tampak ada "kesenjangan sosial" yang diciptakan oleh adanya dua jenis budaya ini, budaya tinggi dan budaya rendah ini. Meski demikian, high art ini memiliki harga yang sangat tinggi. Sedangkan low art memiliki harga yang cukup rendah, namun lebih populer dan lebih mudah ditemukan di mana saja.

Tapi sayangnya, untuk memasukkan suatu karya dalam kategori "high art" maupun "low art" bisa jadi sangat subjektif. Setidaknya, itu yang dikatakan Clifford Geertz pada tahun 1994.

Jadinya, ada otoritas seperti kekuasaan, yang mampu mengarahkan mana karya yang bisa masuk kategori high art. Kategori tersebut telah direkonstruksi untuk kepentingan tertentu, yang menjadikan nama-nama tertentu muncul ke permukaan dengan karyanya yang "entah kenapa" dimasukkan dalam kategori high art.

Di dunia seni barat, high art cenderung memiliki ciri-ciri seperti ini, karya tersebut mendapatkan review yang sangat bagus, mengedepankan teknik, tidak populer dan sulit dimengerti oleh orang awam. Ditambah lagi, karya itu hanya "beredar" di tempat-tempat yang status sosialnya tinggi, misalnya di antara kaum intelektual, kalangan atas, rombongan seniman dan sebagainya.


Sedangkan low art adalah kebalikannya. Low art sangat populer dan diketahui oleh banyak orang, semua kalangan. Seniman dan karyanya menjadi sesuatu yang mudah ditemukan di mana saja.

Tapi di Indonesia, kasusnya cukup berbeda. Sebab, sejumlah seniman beranggapan ada lagi istilah yang bisa ditemukan di Indonesia, yakni "very low art" dan "very low and not art", namun dikategorikan oleh banyak orang sebagai karya seni, dan penciptanya juga dikategorikan "seniman".

Maka, untuk mencapai level "low art" saja, sudah membuat seni tersebut mendapatkan hal (bila di barat) hanya didapatkan oleh "high art". Karya seni para seniman yang sebenarnya masuk di kategori "low art" bisa diterima saja sebagai "high art" dalam berbagai kesempatan.

Ditambah lagi, seni di Indonesia mulai bermunculan sebagai "pelengkap" atau sekunder saja. Misalnya, seni tari digunakan sebagai pembuka atau penyambut tamu dalam sebuah acara yang digelar pemerintahan dari level desa sampai negara. Maka perlahan-lahan, seni tari sebagai tontonan dan tuntunan mulai tergerus, karena masyarakat sudah kerap melihat sebuah tarian dalam acara apapun, baik acara formal pemerintahan maupun acara kawinan sekalipun.

Maka seni tari tertentu yang dulunya hanya dipertontonkan pada kaum bangsawan, menjadi seni tari yang bisa dipertontonkan pada siapa saja. Dulu, seorang penari akan berlatih setiap hari, membentuk tubuhnya demi kesempurnaan estetika. Namun, untuk seni tari yang kerap menempel jadi hiburan pada acara tertentu, proses latihannya cenderung lebih cepat.

Seni sastra, beberapa contoh yang muncul akhir-akhir ini misalnya ada kumpulan beberapa orang (kadang pejabat) yang mungkin belajar sastra ketika masih sekolah menengah atas, berkumpul bersama dan "menerbitkan buku antologi puisi".

Dengan otoritas sebagai kumpulan orang yang memiliki kuasa, maka mereka masukkan karya mereka sebagai "high art". Bahkan, ada seorang tokoh yang menyebut dirinya sebagai "tokoh sastra berpengaruh" meski baru satu atau dua buku yang dibuatnya dan ternyata tidak memberi pengaruh apa-apa.

Begitu juga yang terjadi pada seni rupa, seni teater dan musik. Hasilnya, dewasa ini pengkategorian seni menjadi high art dan low art menjadi sangat kabur. Dan muaranya, meski di budaya Barat, perbedaan antara high art dan low art masih sangat kentara, di Indonesia pengkategorian macam itu sudah sangat sulit untuk digunakan lagi. (ai/pojokseni.com)

Ads