Di Indonesia, Wanita Tetap Ditakdirkan Menjadi Objek -->
close
Pojok Seni
09 January 2020, 1/09/2020 04:22:00 AM WIB
Terbaru 2020-01-08T21:22:42Z
Ulasan

Di Indonesia, Wanita Tetap Ditakdirkan Menjadi Objek

Advertisement


Apa yang akan muncul di media massa mainstream ketika ada kasus pemerkosaan? Judul-judul seperti "Gadis di bla-bla, diperkosa puluhan pria", "ibu muda di bla-bla diperkosa", "Gadis SMP diperkosa ayah tiri" seperti itu bukan?

Pertanyaannya, siapa objek dalam narasi tersebut? 

Indonesia, adalah negara dengan mayoritas masyarakat yang patriakis. Kadang, pemerkosaan di Indonesia dianggap normal, karena yang biasa disalahkan oleh sebagian besar masyarakatnya justru kaum wanita.

Mulai dari pakaian ketat, tidak pakai hijab, pakai rok mini dan berbagai kekangan aturan lainnya digunakan untuk menyalahkan si korban. Identitas korban juga sedemikian mudah dideteksi, karena dari mulut-ke-mulut sedemikian mudahnya memaparkan fakta yang semestinya rahasia tersebut.

Nafsu birahi pria merupakan hal yang normal, sedangkan tempat pelacuran adalah tempat yang jauh lebih nista ketimbang para pelaku pemerkosaan tersebut. Jadinya, menjadi korban pemerkosaan seakan sebuah takdir yang mesti siap diterima semua perempuan. Untuk "melindungi" perempuan, langkah yang diambil juga sedemikian lucu; razia kondom, razia tempat pelacuran, sensor belahan dada dan paha di televisi dan sebagainya.

Bahkan, isu perang dunia ketiga juga digunakan sebagian besar orang untuk menyerang perjuangan kaum feminis, persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Pertanyaan mereka simpel, apakah kaum perempuan juga mau meneriakkan bahwa mereka "berhak" ikut angkat senjata, dan ikut terjun dalam sebuah peperangan?

Indonesia, seperti beberapa negara ketiga lainnya, selalu menempatkan wanita dalam posisi objek. Maka wanita akan selalu berada dalam kelas dua dalam budaya patriarki, dan kritik terhadap itu terus disuarakan lewat berbagai media, termasuk seni.

Tapi, perjuangan itu tentunya jauh lebih sulit, karena budaya yang mengakar sejak lama membuat dukungan terhadap perjuangan itu justru semakin sedikit. Tidak hanya laki-laki, bahkan banyak wanita yang tidak mendukung ide tersebut.

Apa yang ada dalam kepala sebagian besar wanita Indonesia melihat wanita yang memotong rambutnya pendek seperti lelaki? (Tentunya, tidak tertutup hijab.) Maka, pandangan negatif akan segera dialamatkan pada mereka.

Bagaimana rancangan KUHP tentang pemerkosaan dalam perkawinan bahkan ditentang oleh banyak wanita. Padahal kasusnya sudah banyak, dan tidak sedikit yang meninggal dunia. Itu menjadi bukti bahwa sebenarnya perjuangan kaum feminis justru terbentur dengan sesama jenis kelaminnya sendiri.

Panggung teater, puisi, musik dan film sudah tak terhitung memuat kritik terhadap budaya patriarki itu. Betapa wanita ingin berada di kelas yang sejajar dengan laki-laki.

Tapi, di daerah-daerah, wanita lebih banyak bermimpi untuk cepat-cepat menikah, dengan lelaki mapan tentunya. Wanita berharap, ia bisa melayani suaminya, berada di tiga tempat yang ditakdirkan untuk mereka; dapur, sumur dan kasur.

Toh, dewasa ini, tiga tempat itu juga sudah "dikuasai" laki-laki. Chef terbaik, koki-koki di restoran mewah, kebanyakan didominasi oleh laki-laki. Untuk urusan "sumur", kecuali kerjaan seperti cuci piring, cuci baju dan sebagainya, masih milik kaum wanita. Tapi, penemu, produsen dan bos dari pembuat deterjen, pembuat sabun cuci dan tentunya pengairan, masih juga para laki-laki. Dan kasur? Eh, iya itu mungkin satu-satunya teritorial wanita yang tak tergantikan. Hanya lelaki dengan orientasi seksual yang berbeda saja yang memilih bukan wanita di kasurnya.

Tapi, justru wanita mesti menyadari bahwa di satu-satunya tempat itu, mereka bahkan tak punya hak lebih. Diperkosa oleh suami sendiri, diperkosa oleh orang-orang terdekat (yang seharusnya menjaga mereka) dan akhirnya tempat itu juga bukan milik mereka. Tentunya, tempat itu juga masih milik para laki-laki.

Ads