Tentang Gelap, Keterasingan dan Adaptasi -->
close
Pojok Seni
22 December 2019, 12/22/2019 01:32:00 AM WIB
Terbaru 2019-12-21T18:32:24Z
Artikel

Tentang Gelap, Keterasingan dan Adaptasi

Advertisement


pojokseni.com - Gelap, hanyalah kata lain dari ketiadaan cahaya. Seolah-olah menakutkan, namun tak ada apa-apa, bahkan sekedar gertakan sekalipun. Gelap hanya terasa akan menakutkan bagi orang yang tak terbiasa dengan ketiadaan cahaya.

Seperti ketika Anda sedang asyik membaca buku, atau di depan gawai, atau mungkin sedang menonton televisi. Dalam keadaan yang tentunya bercahaya cukup, tetiba mati lampu. Tentunya, tidak hanya mata, tapi seluruh tubuh Anda mengalami keterkejutan. Dari situasi yang bercahaya, tiba-tiba menjadi nir cahaya.

Dalam beberapa detik, Anda akan berusaha menguasai tubuh Anda sendiri. Entah itu perasaan takut, bingung, atau mungkin mulai mempelajari kegelapan itu. Sampai akhirnya, Anda tiba pada keputusan, mencari sumber cahaya baru (seperti lilin, lampu teplok, senter dan lain-lain) atau memilih berdiam diri.

Tidak sedikit yang memilih mencari sumber cahaya baru. Di tengah kegelapan, berusaha berdiri, berjalan sambil meraba-raba, bergeliat dalam kelam itu. Namun, juga tidak sedikit yang memilih untuk berdiam diri, menunggu cahaya datang lagi.

Kondisi itu juga yang terjadi ketika mengalami kesendirian, kesepian, keterasingan dan sebagainya. Hal-hal itu hanyalah kata lain dari ketiadaan "cahaya" yang awalnya mungkin menakutkan. Namun, seperti dalam kasus mati lampu tadi, Anda akan mencoba memilih antara dua pilihan, berdiam diri dan menunggu, atau memilih berdiri di atas kaki sendiri, meraba-raba dalam gelap.

Tubuh, pikiran dan jiwa memiliki satu hal yang ajaib, yakni kemampuan beradaptasi. Baik secara fisik, maupun dorongan pikiran dan perasaan, tubuh mencoba untuk menguasai dan berbaur dengan lingkungan sekitarnya. Dengan sekejap pula, tubuh akan langsung tahu, bagaimana cara merespon keadaan yang ada di sekelilingnya.

Namun, ada yang memaksakan lingkungan yang harus beradaptasi dengan dirinya. Misalnya, kaum yang beragama, menghancurkan atau membatasi berdirinya rumah ibadah di tempat ia tinggal, padahal (meski mayoritas) namun semua orang berhak beribadah sesuai ajaran agamanya masing-masing. Di lingkungan yang heterogen, namun memaksakan kebenaran menurut satu kaum tertentu, itu sama saja dengan memaksakan lingkungan untuk beradaptasi dengan satu individu atau kelompok.

Hal itu didasari dengan ketakutan terhadap "gelap" tadi, yang dianggap akan meruntuhkan cahaya. Padahal, cahaya tak akan pernah runtuh karena gelap, faktanya justru gelap yang akan runtuh dengan cahaya.

Gelap mengajarkan kita satu hal, beradaptasi dengan lingkungan. Kita yang jeli melihat seperti apa lingkungan kita, lalu berbaur dan mencoba beradaptasi. Tidak memaksakan diri agar lingkungan yang beradaptasi, adalah pilihan yang paling tepat. (ai/pojokseni.com)

Ads