Pendeta, Empu dan Pujangga -->
close
Pojok Seni
16 December 2019, 12/16/2019 03:25:00 AM WIB
Terbaru 2019-12-15T20:25:29Z
Sastra

Pendeta, Empu dan Pujangga

Advertisement

pojokseni.com - Puisi Dadang Ari Murtono menjadi viral di dunia maya karena disembur oleh "kritikus sastra fenomenal", Narudin Pituin. Salah satu puisinya dari buku berjudul "Jalan Lain ke Majapahit" berjudul Candi Siwa dikritik oleh Narudin Pituin dan disebut tidak layak mendapatkan sejumlah penghargaan seperti penghargaan Anugerah Sutasoma dan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan 2019. Berikut potongan puisinya berjudul Candi Siwa yang "dihajar" oleh Narudin Pituin itu;

Tapi selalu ada puisi bagi mereka yang kesepian
- puisi yang bukan kakawin, yang terusir dari hal-hal besar
dan tak disucikan dan ditulis oleh penyair yang bukan pujangga
yang tubuhnya ceking dan lapar dan bukan karena puasa,
melainkan kantong kering -
tapi ia memang tak tahu.

Mungkin ada baiknya pula melihat sedikit bagaimana celaan sang kritikus fenomenal tersebut pada potongan puisi karya Dadang Ari Murtono tersebut. Narudin menyebutkan bahwa "Penyair" dan "Pujangga" itu sinonim, menurut KBBI. Narudin juga mempertanyakan kalimat "ceking dan lapar bukan karena puasa, melainkan karena kantong kering" dan sambungannya "tapi ia memang tak tahu" yang disebutnya sebagai makna yang dangkal. Celaan Narudin terhadap puisi Dadang Ari Murtono kemudian banyak mendapatkan respon, salah satunya dari sastrawan Malkan Junaidi yang menuliskan tanggapan terhadap celaan tersebut.

Membaca sedikit potongan puisi yang dihajar oleh Narudin Pituin tersebut, justru memberikan kita sebuah fakta yang begitu menggugah. Pesan dan makna dari potongan puisi tersebut justru begitu dalam dan menyentuh berbagai konteks; historis, psikologis, sosiologi dan kultural. Dadang Ari Martono menyampaikan bahwa pujangga bukanlah penyair. Pujangga adalah sastrawan, orang yang ahli sastra (paham dengan benar ilmu sastra) dan menciptakan karya sastra. Sedangkan penyair adalah penulis syair, bisa diartikan belum tentu tahu dengan fasih ilmu sastra. Sastrawan, sejak berabad-abad silam menjadi orang-orang yang berdialektika melalui karya sastra. Sedangkan penyair, menulis luapan emosinya lewat sajak.

Sastrawan, disebutnya berada sejajar dengan empu (pembuat keris atau kakawin). Mpu bukan pandai besi, keduanya tidak sinonim, meski sama-sama membuat senjata berbahan besi. Kedua orang ini, sastrawan (pujangga) dan empu juga dijejerkan dengan pendeta, seseorang yang memiliki pengetahuan spritual yang dalam dan mumpuni, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Empu bukan hanya pembuat senjata biasa, karena karya-karya seorang empu akan menjadi sebuah mahakarya yang suci dan tinggi. Sebelum membuat kakawin, empu akan melakukan puasa (sumber: status Malkan Junaidi) bisa berupa bertapa, atau ritual tertentu. Hal ini demi mencapai sebuah karya yang luhur, disucikan dan tak terpengaruh hal-hal di luar kekaryaan. Maka dari itu, hasil yang dibuatnya adalah pegangan para raja, simbol kekuasaan dan jelas tidak pernah digunakan untuk memotong sayuran di dapur. Pembuat senjata dan pandai besi tentunya tidak melakukan hal tersebut, ia tidak berpuasa untuk menciptakan karyanya, maka karyanya tidak seluhur dan setinggi karya para empu.

Pujangga, disebut oleh Dadang Ari Murtono, juga seperti itu. Mereka menghasilkan sebuah puisi yang luhur dan tinggi. Puisi itu (meminjam syair Dadang Ari Murtono) bukan seperti kakawin yang terusir dari hal-hal besar dan tak disucikan yang lahir dari tangan penyair (bukan pujangga). Penyair itu, kata Dadang, memang kurus (ceking) dan lapar, tapi bukan karena puasa seperti para empu sebelum membuat kakawin. Pujangga mungkin ceking dan lapar karena puasa, tapi penyair bukan karena puasa. Mereka (penyair) ceking dan lapar karena kantong kering, alias kemiskinan.

Sementara kalimat "tapi selalu ada puisi bagi mereka yang kesepian - .... - tapi ia memang tak tahu" merupakan kalimat utama dari potongan syair tersebut. Bagian tengahnya menjelaskan puisi yang dimaksud. Puisi yang hadir untuk mereka yang kesepian, membutuhkan siraman rohani, makna dan keindahan atau estetika. Puisi tersebut bukan lahir dari tangan penyair, tapi dari tangan pujangga.

Pertanyaannya, bagaimana puisi yang begitu dalam maknanya ini, justru tampak begitu sepele di tangan kritikus sastra fenomenal Indonesia tersebut? (ai/pojokseni.com)

Ads