Malin Nan Kondang, Sebuah Reinterpretasi dan Dekonstruksi Kritis -->
close
Pojok Seni
13 September 2019, 9/13/2019 02:14:00 AM WIB
Terbaru 2019-09-12T19:14:26Z
teaterUlasan

Malin Nan Kondang, Sebuah Reinterpretasi dan Dekonstruksi Kritis

Advertisement
Pertunjukan Malin nan Kondang

“Ketika kokok ayam mengetuk fajar, langit selalu melukis warna yang sama. Penantianku yang tak pupus, sekalipun napasku koyak oleh kemalangan yang tiada putus. Pulanglah Malin, sekalipun yang kupunya hanyalah air mata.”
pojokseni.com - Pertunjukan teater Malin Nan Kondang merupakan capaian dari proses reinterpretasi dan dekonstruksi kritis terhadap kaba Minangkabau, yaitu Malin Kundang. Ide awal dari proses pembacaan ulang kaba ini digagas oleh Prof. Novesar Zamarun, kemudian dibantu oleh Edi Suisno sebagai penulis teks drama dan Wen Hendri sebagai sutradara serta Yesriva Nursam sebagai koreografer dan Alfalah sebagai komposer. Pertunjukan yang dipentaskan pada Jumat (06/09/2019) di Gedung Hoerijah Adam Institut Seni Indonesia Padangpanjang ini dihelat dalam rangka Pentas Pamit, sebelum akan dipentaskan kembali dalam pergelaran China Asean Theatre Weeks di Nanning, China.
Karya yang berdurasi 55 menit ini mengisahkan tentang tokoh Malin yang sukses di rantau dan menjadi kaya raya. Karena kesetiaan Malin kepada kekasihnya yang bernama Nilam, Malin tidak mencari jodoh diperantauan, melainkan ingin kembali ke kampung halaman untuk memperinstri Nilam. Sayangnya niat baik ini tidak direstui oleh Ibunda Malin, karena menurutnya Malin telah memiliki derajat tinggi dan seharusnya menikahi wanita yang memiliki derajat yang sama. Malin tidak setuju dengan ibunya dan lebih memilih untuk mempertahankan hubungannya dengan Nilam. Setelah mengetahui bahwa Nilam telah sangat menderita demi mempertahankan kesetiaannya kepada Malin, akhirnya sang Ibu menyadari kekhilafannya dan memutuskan untuk merestui hubungan Malin dan Nilam. 
Malin Nan Kondang mencoba melepaskan ikonisasi anak durhaka dari figur Malin Kundang. Kaba Malin Kundang secara frontal dan eksplisit menggambarkan bahwa Malin adalah anak yang durhaka dan seakan-akan tidak memiliki sisi baik. Secara dekonstruktif, Malin Nan Kondang memiliki keberpihakan kepada tokoh Malin dan menjadikan tokoh Ibu sebagai tokoh penentang atau antagonis. Karya ini mencoba menyuguhkan realitas yang ironis, dimana sang ibu turut campur tangan dalam menentukan pasangan hidup untuk anaknya. Sedangkan para ibu terkadang juga terjebak kepada keputusan-keputusan emosional yang justru mengukuhkan tradisi feodalistik. 

Proses reinterpretasi dan dekonstruksi kaba Malin Kundang ini sebenarnya juga sudah dilakukan oleh beberapa seniman Sumatra Barat, seperti Wisran Hadi pada tahun 1978, dengan kisah Malinnya yang mengkritik persoalan sosial dan budaya di Minangkabau. Kemudian A.A. Navis yang menulis cerita pendek dengan tema Ibu yang mendurhakai anaknya pada tahun 1990, lalu Irman Syah pada tahun 1994 juga menulis puisi yang berpihak kepada Malin Kundang dengan judul Pengakuan Malin Kundang. Baru-baru ini proses reinterpretasi dan dekonstruksi kaba Malin Kundang juga dilakukan oleh Mahatma Muahammad dengan karya teaternya yang mengisahkan tentang para ibu yang selalu mengutuki anak-anaknya sendiri.
Tokoh Malin dalam Malin Nan Kondang digambarkan sebagai seorang pemuda yang memiliki kesetiaan dan rasa tanggung jawab yang besar. Tidak hanya itu saja, Malin juga ulet, pekerja keras dan baik hati, sehingga ia dapat sukses di perantauan. Meskipun telah sukses di rantau, Malin tidak menjadi orang yang sombong dan tetap ingin pulang ke kampung halaman untuk membahagiakan dan berkumpul bersama keluarga serta orang-orang terkasih. Sang ibu mengalami perbaikan status sosial karena kekayaan anaknya, merasa memiliki kasta yang lebih tinggi dan tidak ingin anaknya menikahi wanita yang memiliki kasta yang rendah. Amanat yang dapat diambil dari karya Malin Nan Kondang ini adalah bagaimana materi dapat merubah karakter seseorang.
Salah satu kekuatan dari karya Malin Nan Kondang ini adalah teks dramanya memiliki kekuatan artikulasi yang kuat. Dialog-dialog puitis yang disuguhkan tidak hanya memanjakan penonton secara keindahan diksi, tetapi juga pada perkembangan alur dramatik yang menggigit. Namun terdapat beberapa adegan yang terasa jumping dan memiliki hubungan kausalitas yang cukup lemah. Seperti adegan resolusi atau ending yang menggambarkan tokoh ibu yang tersadar atas kekhilafannya. Perkembangan watak dari tokoh ibu terasa jumping, dimana tokoh ibu yang awalnya menentang keras keputusan anaknya untuk menikah, lalu kemudian luluh dengan mudah dan cepat oleh nasehat dari guru silat Malin. Menurut hemat penulis, antara adegan nasehat dan sadar, perlu diisi adegan kontemplasi tokoh Ibu sebagai adegan transisi. Penggambaran pertarungan tokoh ibu dengan pikirannya sendiri kemungkinan dapat memperkuat alasan dari keputusan sang ibu untuk merestui pernikahan anaknya, karena hal itu merupakan keputusan yang berat bagi tokoh Ibu yang telah tergila-gila oleh materi. 

Keputusan untuk tidak menghadirkan perjuangan tokoh Malin di rantau juga cukup disayangkan. Penulis beranggapan bahwa penonton membutuhkan adegan tersebut untuk mengetahui bagaimana tokoh Malin berjuang keras dirantau dan tetap teguh pendirian untuk setia kepada Nilam. Adegan tersebut tidak hanya menggambarkan tokoh Malin yang heroik, tetapi juga dapat memperkuat suasana pada adegan pertemuan Nilam dan Malin pada adegan selanjutnya. Tidak adanya adegan Malin di rantau, membuat kerinduan yang besar tokoh Malin kepada Nilam menjadi lemah dan kurang terasa kepada penonton. Namun secara keseluruhan pertunjukan Malin Nan Kondang sangat komunikatif, dimana para penonton dapat dengan mudah menikmati cerita yang disajikan dan dengan mudah pula dapat menangkap makna yang berikan. 

Proses reinterpretasi kaba secara dekosntruktif yang dilakukan dalam karya Malin Nan Kondang ini menjadi sangat penting dalam memperbaiki karakter anak-anak di Indonesia, khususnya di Sumatra Barat. Melalui cerita Malin Nan Kondang, anak-anak akan terhindar dari kisah tragis seorang ibu yang tega mengutuk anaknya sendiri menjadi batu.
Kisah tersebut tergantikan dengan sosok Malin yang baik hati, ulet, pekerja keras, cerdas dan berbakti kepada ibunya serta setia kepada kekasihnya. Proses pemaknaan ulang kaba ini juga dapat membuat kaba menjadi lebih menarik dan akrab, karena konteks dengan kondisi dan semangat zaman sekarang. (isi/pojokseni.com)

Ads