Berkenalan dengan The System Stanislavsky bagian 2 -->
close
Pojok Seni
21 July 2019, 7/21/2019 07:30:00 PM WIB
Terbaru 2019-07-21T12:30:05Z
Materi Teaterteater

Berkenalan dengan The System Stanislavsky bagian 2

Advertisement
Constantin Stanislavsky
Sebelum membaca artikel ini, sebaiknya Anda membaca Berkenalan dengan The System Stanislavsky bagian I

3. Mengubah Pengetahuan Menjadi Kata


Kecenderungan kita ketika berhadapan dengan naskah ( mulai membaca ) adalah tidak menemukan sesuatu yang spesifik, sehingga kalimat demi kalimat tidak singgah. Ini mengakibatkan kebosanan, kekeliruan tersebut bisa kita atasi dengan cara melatih diri unuk bertutur, namun alangkah baiknya kita benahi dulu cara kita membaca. Pada tahap ini pengetahuan yang kita peroleh lewat analisis akan mulai bekerja, kalimat yang kita baca lalu pahami, akan menuntun kita pada arah suasana tertentu  untuk menciptakan relasi yang tergambar dalam sebuah alur. Nah, demi menggapai itu marilah kita separasikan kemampuan kita untuk bicara ( kemampuan untuk mengucapkan kalimat)  dengan kalimat yang akan kita lontarkan.

Kalimat akan memiliki makna jika kalimat tersebut menggambarkan suasana lahiriah dan batiniah, Stanilavski dalam bukunya Membangun Tokoh menulis bahwa wicara adalah musik, kemampuan mengucapkan kalimat diibaratkan semacam orkestrasi. Contoh yang diberikan Stanislavski adalah dengan frasa ‘kembalilah- aku tidak bisa hidup tanpa dirimu!’betapa banyak cara menyanyikan frasa itu, dan selalu baru! Betapa banyak makna yang dituangkan kedalamnya! Beragam suasana hati! Cobalah memberi jeda dan memberikan tekanan di tempat- tempat berbeda; akan kau peroleh makna baru dan makna baru lagi.

Jeda pendek dipadu dengan penekanan menjadikan kata kunci terdengar tajam dan menghasilkan sesuatu yang berbeda. Jeda yang lebih panjang, tanpa suara, memungkinkan kata- kata diresapi dengan muatan makna baru dan segar. Ini semua dibantu dengan gerak, ekspresi, dan intonasi. Perubahan- perubahan ini menimbulkan suasana hati yang baru, memberi isi baru pada keseluruhan frasa.[10]

Kita beri contoh, kata pertama kembalilah diikuti dengan jeda penuh yang menggambarkan tiada harapan karena dia meninggalkan tokoh selamanya, berarti pembuka kalimat ini adalah sedih karena ditinggalkan bukan sedih karena kehilangan benda. Lalu, aku tak bisa mengambil jeda yang tidak penuh guna mempersiapkan kata kunci yaitu hidup yang merupakan kata puncak.

Untuk memberikan penekanan atau ruang yang lebih dan lapang sehingga kata itu lebih hidup dan menampakan diri sebagai kata kunci dalam frasa tersebut, disambung dengan jeda pendek tanpa dirimu secara akurat mengarah kepada suasana yang kongkrit.

Latihan di atas bisa kita terapkan pada setiap kalimat atau yang lebih panjang yang mengandung makna yang berbeda- beda. Namun, memiliki kesinambungan untuk mengungkapkan realitas yang ada pada peristiwa. Kata atau kalimat tidak terlepas pada suatu tujuan tertentu, atau memberikan semacam rangsangan kepada pendengarnya untuk menangkap rahasia.

Bagi aktor, kata bukan sekedar bunyi, melainkan pemunculan dan penciptaan- ulang citra. Jadi ketika kaliang sedang menjalin komonukasi verbal di panggung, berbicaralah lebih kepada mata ketimbang telinga.[11] Penjelasan tentang komunikasi tidak seperti kita berbicara dalam kehidupan sehari- hari, tetapi bisa memvisualkan sebuah images yang tertutup rapat, kemudian membukanya, sehingga scene partner dan segala perangkat teks di atas panggung memiliki nyawa, dan dimungkinkan hidup selaras dengan peristiwa.

Pengertian semacam itu apa yang di sebut oleh Stanislavski sebagai subteks atau segala yang tersembunyi di balik dan di bawah kata-kata. Secara tegas stanilasvski menulis subteks adalah manifestasi, ekspresi perasaan batin manusia dalam menjelma menjadi tokoh lakon, yang mengarus tak terputus di bawah kata- kata dalam teks dan menghidupi, serta menjadi dasar kehadiran kata- kata itu.

Subteks adalah jaringan berbagai pola batin yang tak terhitung banyaknya dalam suatu alakon atau suatu tokoh lakon, yang merupakan rajuta dari ‘pengandaian magis’, situasi tertentu, segala hasil imajinasi, gerak batin, sasaran perhatian, kebenaran besar maupun kecil serta keyakinan terhadapnya, adaptasi, penyesuaian, dan unsur- unsur lain semacam itu. Subteks-lah yang membuat kita mengeluarkan kata-kata yang kita ucapkan dalam memainkan suatu lakon.[12]

Bagaimana melacak sesuatu yang ada di bawah kata- kata? Kata adalah hasil abstaksi manusia kepada hal- hal yang ia resap dan mewujud dalam ekspresi, ucapan. Artinya manusia mempunyai suatu gambaran tertentu yang sudah tertanam tentang hal yang kongkrit itu, terlepas dari pedebatan yang panjang tentang mana yang dulu. Ketika kita mendengar kata kursi, perangkat imajinasi langsung mengarah kepada benda yang terbuat dari kayu, besi yang berfungsi untuk duduk, dan segala aspek pembentuknya.

Kenapa itu bisa timbul? Karena kita mengalami langsung dan kita punya pengetahuan tentang itu. Pendek kata, itu semua adalah hal kongkrit.

Lalu bagaimana dengan hal yang abstrak, kalau Stanilavski memberi contoh misalnya hak dan hukum, kita tidak mampu menggambarkan secara baik (fisik) apa itu hukum. Namun, stanilavski mencoba membangkitkan imajinasi kita kearah hukum dan hak  lalu mempersonifikasikan segala bentuk ide hukum dan hak. Yang mampu menggerakkan kesadaran dan pengalaman batin. Alam telah mengatur begitu rupa supaya ketika kita sedang melakukan komunikasi kata dengan orang lain, pertama- tama kita melihat kata itu di mata pikiran, kemudian kita katakan apa yang kita lihat itu.

Ketika sedang mendengarkan orang lain, pertama – tama kita menerima dengan telinga apa yang dikatakannya, kemudian kita menggambar di dalam pikiran apa yang kita dengar[13]

4. Ingatan Emosi


Istilah ingatan emosi ( emotional memory) diadaptasi oleh Stanislavski dari seorang psikolog asal prancis yang bernamaTheodule Armand Ribot, yang semula bernama affective memory. Ingatan yang membuat kau menghayati kembali perasaan yang pernah kau rasakan, ingatan seperti itulah yang kita sebut ingatan emosi. Seperti halnya ingata visual, yang dapat menggambarkan kembali secara batiniah sesuatu yang sudah dilupakan, tempat atau orang, begitu juga ingatan emosi dapat mengembalikan perasaan yang pernah kita rasakan.mula- mula rasa itu mungkin tidak bisa diingat, tapi tiba- tiba sebuah kesan, sebuah fikiran, sebuah benda yang kita kenal mengembalikannya dengan kekuatan penuh. Kadang- kadang emosi itu sama kuatnya dengan yang dulu, kadang- kadang agak kurang dan kadang- kadang perasaan yang sama dalamnya kembali, tapi dalam bentuk yang agak berbeda .

Setiap manusia memiliki arsip ingatan, sesuatu yang kita sebut bawah sadar itu tersimpan rapi dalam ingatan kita, ia bisa muncul ketika ada yang menyentuhnya, memanggilnya. Bagi seorang aktor cara memanggil ingatan emosi bukan satu hal yang teknis, tapi ia akan timbul pada perasaan paling dasar si aktor yang kemudian berkelindan dengan perasaan tokoh, artinya aktor harus sadar dalam permainannya di atas panggung dan mampu menegndalikan tindakan itu tanpa membatasi kreatifitas batinnya.


Prinsip pokoknya, yaitu : mencapai bawah- sadar dengan cara disadari . Perasaan itu harus jadi milik si aktor, dalam beragam kombinasi itu sudah kita persiapkan secara matang, untuk mengindari jenis laku yang mekanis yaitu sesuatu yang berlebihan karena aktor tidak menciptakan tokoh secara baik, karena ia tercerabut dari kesadarannya dan hanya nampak sebuah usaha yang sia- sia, baik secara perasaan maupun gerak laku.


Bahan Bacaan:


Chemers, Michael Mark. 2010. Ghost light An Introductory Handbook For Dramaturgy Southren Illionis University Press
Ledwin, David, Joe and Robin Stockadale. 2008, The Architecture Of Drama Plot Character Theme Genre And Style, Plymouth: The Scarecrow Press, Inc
Stanilavsky, Constantin. 2006. My Life in Art, terjemahan. Max Arifin Malang: Pustaka Kayutangan
------------. 1936. An Actor Prepares, trans. Elizabeth Reynolds Hapgood  NewYork:Theatre Arts Books
------------. 1980. Persiapan Seorang Aktor, terjemahan. Asrul Sani Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
------------. 2008. Membangun Tokoh, terjemahan. B Verry Handayani Jakarta: KPG
Soemanto, Bakdi. 2001, Jagad Teater Yogyakarta: Media Pressindo

Ads